TIMES MALANG, PONOROGO – Kesetaraan Gender selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, bagaimana tidak? Dalam berberapa literatur sejarah perempuan selalu dianggap rendah, bahkan melahirkan anak perempuan merupakan sebuah aib.
Perempuan sering dianggap tidak layak menempati posisi-posisi penting dalam kehidupan, tidak diberi ruang untuk ikut berkopetisi, dalam konteks sosial, mereka sering dilupakan, dipinggirkan, dan tidak memperoleh hak-hak yang layak.
Dalam budaya masyarakat juga sering terdengar istilah 3 M, macak, masak, manak, sebuah bentuk ketidakadilan gender dalam bentuk patriarki.
Didalam Konteks Islam, diskursus tentang gender seringkali terjebak dalam sebuah pemahaman konvensional yang menganggap peran perempuan adalah tetap serta tidak dapat diubah.
Seiring berjalanya kajian-kajian dalam dunia keislaman seperti Fikih Mubadalah, pemahaman dunia Islam mengenai kesetaraan gender berangsur-angsur mengalami perubahan.
Fikih Mubadalah tidak hanya menawarkan prespektif baru mengenai hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi juga memberikan solusi dan cara yang lebih adil dan setara dalam memandang hak dan peran masing-masing gender sekaligus mengaplikasikan ajaran Agama.
Gagasan Konsep Fikih Mubadalah
Fikih Mubadalah merupakan suatu pendekatan baru dalam hukum Islam yang menekankan pentingnya kesetaraan serta keadilan gender. Mubadalah diambil dari kata arab ba-da-la, yang memiliki arti mengganti, mengubah, dan menukar.
Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab mengartikan kata mubadalah dengan tukar menukar yang bersifat timbal balik antara dua pihak, hal serupa dengan arti mubadalah dalam kamus Mu’jam al-Wasith.
Dalam kedua kamus ini, kata badala-mubadalatan digunakan dalam ungkapan ketika seseorang mengambil sesuatu dari orang lain dan menggantikanya dengan suatu yang lain.
Dalam gagasan Fikih Mubadalah yang melatarinya ada dua hal. Pertama, dari faktor sosial, yang terkait dengan cara pandang masyrakat yang lebih banyak menggunakan pengalaman laki-laki dalam memaknai agama.
Kedua,dari struktur bahasa Arab, sebagai bahasa berbagai teks sumber Islam yang terdapat pembedaan dalam berbagai penyebutan laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya, tauhid yang merupakan ajaran paling fundamental dalam islam merupakan basis gagasan mubadalah. Kalimat la ilaha illallah merupakan sebuah proklamasi tentang keesaan Allah SWT sekaligus sebagai Dzat yang patut disembah serta ditaati secara mutlak.
Memproklamasikan ketauhidan berarti mennyatakan dua hal sekaligus, yaitu pengakuan atas keesaan Allah SWT sekaligus pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya.
Sedang dalam kosmologi Al-Quran menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi yang mengemban tugas untuk menjaga, merawat, dan melestarikan segala isinya.
Amanah ini berada di pundak manusia baik laki-laki maupun perempuan, bukan berada pada salah satunya. Sehingga keduanya harus bekerja sama, saling menopang, serta tolong menolong untuk melakukan dan menghadirkan segala kebaikan demi kemakmuran bumi dan seisinya.
Hal ini menununjukkan adanya kesalingan yang menegaskan bahwa salah satu jenis gender ini tidak diperkenankan melakukan kedzaliman dengan mendominasi dan menghegemoni yang lain, karena bertentangan dengan amanah kekhalifahan yang diemban bersama.
Tidak adanya kesalingan akan menyulitkan mengemban amanah kekhalifahan yang diemban bersama, menyulitkan tugas memakmurkan bumi jika tanpa ada kerjasama dan tolong menolong. Selaindaripada hal-hal tersebut konsep kesalingan juga terdapat pada berbagai teks-teks hadits.
Prinsip-Prinsip Fikih Mubadalah dalam Kesetaraan Gender
Fikih Mubadalah memiliki prinsip-prinsip dasar yang berfokus pada nilai keadilan, kesalingan, dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Prinsip ini menekankan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki posisi setara di hadapan Allah SWT, sehingga hak dan tanggung jawab mereka harus didasarkan pada prinsip timbal balik. Prinsip ini mencakup berbagai aspek dalam kehidupan, baik dalam ranah privat maupun publik.
Dalam Fikih Mubadalah menggaris bawahi bahwa memaknai teks-teks agama secara kontekstual sesui perkembangan zaman dan kebutuhan umat. Deangan adanya prinsip ini mendorong adanya penafsiran agama yang inklusif dan tidak merugikan salah satu pihak.
Dengan demikian, relasi antara laki-laki dan perempuan dapat tercipta secara harmonis sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamiin.
Model endekatan ini mengajarkan bahwa peran gender dalam Islam tidak bersifat kaku melainkan fleksibel, tergantung pada situasi dan kemampuan individu. ini prinsip yang relevan untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, di mana setiap pihak memiliki kesempatan yang setara dalam kontribusi maupun pengambilan keputusan.
Implementasi Fikih Mubadalah
Fikih Mubadalah dapat diimplementasikan mulai lingkup terkecil dalam kehidupan. Yang terkecil dalam lingkungan keluarga yaitu prinsip kesalingan deterapkan dalam suatu hubungan suami istri.
Kerjasama dalam hubungan suami istri tidak perlu membedakan gender tertentu dalam membagi hak, tugas dan tanggung jawab. Kemudian dalam pendidikan anak, juga tidak membeda-bedakan hak, tugas, dan tanggung jawab antar gender.
Fikih Mubadalah juga mendukung partisipasi perempuan secara aktif di berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, dan politik.
Misalnya, perempuan yang berprofesi sebagai pemimpin, berorganisasi atau pekerja profesional tidak dianggap bertentangan dengan ajaran Islam selama mereka tetap menjunjung nilai-nilai moral dan prinsip yang ada dalam Fikih Mubadalah.
***
*) Oleh : Muhdhori Ahmad, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ponorogo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |