TIMES MALANG, JAKARTA – Manuver politik DPR dan pemerintah yang berusaha menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyisakan residu persoalan bagi pembentukan rancangan undang-undang (RUU) di luar program legislasi nasional (Prolegnas).
Pasalnya, seringkali mekanisme tersebut digunakan untuk agenda legislasi konfrontatif yang membonceng kepentingan politik di belakangnya.
Pembentukan RUU di luar Prolegnas memang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU 15/2019. Pasal itu memberikan wewenang kepada DPR atau Pemerintah mengusulkan RUU di luar Prolegnas jika terdapat kebutuhan khusus sepanjang mencakup; (a) keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam, dan; (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional.
Jika dibaca secara sistematis, ketentuan norma pada bagian huruf b dimaksud tidak memuat syarat identifikasi yang jelas bagaimana konsep rumusan norma serta konteks penerapannya dalam sistem dan mekanisme pembentukan undang-undang.
Akibatnya, norma sepanjang frasa “keadaan tertentu lainnya” dalam kaitannya dengan frasa “urgensi nasional” pada bagian huruf b menjadi tidak berkepastian secara hukum.
Disebut tidak berkepastian hukum karena tidak memunuhi asas kejelasan rumusan pembentukan UU, memuat frasa yang ambigu dan menibulkan berbagai macam interpetasi, serta tidak memuat syarat keterpenuhan suatu kondisi yang jelas.
Pasal 5 huruf f UU 12/2011 telah menyebutkan secara ekplisit bahwa asas ‘kejelasan rumusan’ menjadi bagian integral dari asas yang harus terpenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika dibaca dalam konteks ini, ketentuan pada bagian huruf b tidak memberikan kejelasan rumusan karena memuat suatu frasa dengan banyak interpretasi.
Secara sistematis, frasa “keadaan tertentu lainnya” membutuhkan adanya suatu keterpenuhan syarat untuk mengukur kondisi semacam apa yang dapat dibenarkan untuk membentuk RUU.
syarat keterpenuhan “keadaan tertentu lainnya” itu kemudian dijelaskan dengan frasa “urgensi nasional”. Akan tetapi, frasa “urgensi nasional” justru tidak menjelaskan adanya ukuran yang baku dalam kedudukannya sebagai syarat keterpenuhan kondisi tertentu.
Alih-alih demikian, justru frasa tersebut juga membutuhkan syarat keterpenuhan lain bagi terpenuhinya satu kondisi dapat dikategorikan urgensi nasional.
Dengan demikian, norma a quo sejatinya memuat suatu ketentuan kondisi yang membutuhkan syarat keterpenuhan (in casu frasa “keadaan tertentu lainnya”) justru disandarkan pada ketentuan yang juga membutuhkan syarat keterpenuhan yang lain (in casu frasa “urgensi nasional”).
Ketika suatu ketentuan norma yang tidak berkepastian disandarkan pada norma yang tidak berkepastian pula yang terjadi adalah ketidakpastian hukum baru akibat norma yang terus berulang dan tanpa ujung (daur/tasalsul).
Menurut Peneliti Indonesia Parlemen Center (IPC), Muhammad Ichsan, pengajuan RUU di luar Prolegnas memang bukanlah pelanggaran. Kewenangan tersebut memang diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Peraturan DPR No.1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Hanya saja, pengajuan RUU di luar Prolegnas harus memenuhi syarat kejelasan hukum bagaimana norma “keadaan tertentu lainnya yang memastikan urgensi nasional” dapat dimaknai dalam koridor yang konstitusional. Frasa tersebut perlu mendapat parameter dan tafsir yang jelas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir.
Pada konteks pemberlakuan norma, frasa “keadaan tertentu lainnya” yang termuat dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b UU 15/2019 kemudian menjadi problematik. Sebab, kehadiran frasa “keadaan tertentu lainnya” seakan-akan memberi pembenaran bagi DPR dan Pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan di luar prolegnas tanpa adanya kondisi khusus atau darurat yang dapat dibernarkan.
Dugaan ini menjadi semakin masuk akal mengingat pembentukan norma hukum tidak bisa dilepaskan dari kepentingan, atau setidaknya selera dan kemauan pembentuk undang-undang.
Tidak dipungkiri jika norma tersebut alih-alih dimanfaatkan untuk mengatasi adanya urgensi nasional yang semestinya, justru keberadaannya dijadikan sebagai alat untuk mengakomodasi kepentingan politik faksional tertentu.
Oleh karena itu, tak ayal bila undang-undang yang dibentuk di luar prolegnas, yang pembentukannya atas nama urgensi nasional kerap memicu kontroversi dan penolakan tetap mengendap dalam koridor yang konstitusional.
Praktik pengajuan RUU di luar Prolegnas telah dilakukan DPR pada periode 2014-2019. Misalnya, RUU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) yang direvisi sebanyak dua kali. RUU tersebut tidak memenuhi adanya urgensi nasional dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, serta objek yang bakal diatur.
Bahkan, dalam konteks RUU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang kemudian gagal disahkan, sangat kentara apa yang hendak dilakukan DPR bersama Pemerintah dalam menganulir putusan MK.
Satu-satunya alasan yang tampak pada upaya revisi UU Pilkada tersebut adalah kepentingan politik semata, yakni menganulir Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan calon kepala daerah (cakada) oleh parpol dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon gubernur (cagub).
Dugaan tentang penyalahgunaan norma mekanisme RUU di luar prolegnas juga menemukan relevansinya tatkala melihat capaian pengesahan undang-undang prolegnas selama dua periode berturut-turut.
Dalam periode 2014-2019, DPR dan Pemerintah hanya mampu mengesahkan 26 RUU dari 189 RUU yang masuk dalam prolegnas. Sementara dalam periode 2019-2024, DPR dan Pemerintah hanya bisa mengesahkan 48 RUU dari 248 RUU yang terdaftar dalam prolegnas.
Jika dirinci kinerja legislasi DPR dalam rentang periode 2020-2023, misalnya, tampak capaian kinerja legislasi Prolegnas DPR menunjukkan tren yang melempem. Setidaknya capaian legislasi DPR periode 2020 hanya 6 persen dari target RUU Prolegnas.
Sementara di 2021 hanya 24,2 persen. Kemudian 2022 hanya 22,5 persen. Sedangkan 2023 tercatat hanya 12,9 persen dari target RUU Prolegnas yang ditentukan (diolah dari data sumber website DPR).
Artinya, dapat dikatakan DPR dan Pemerintah cenderung mengesampingkan RUU yang telah disepakati menjadi Prolegnas, dan memprioritaskan RUU MD3 yang tidak memenuhi syarat urgensi hukum dan RUU Pilkada di mana materi perubahannya berusaha menganulir poin-poin putusan MK dengan menjadikan ketentuan pada norma a quo sebagai dasar kewenangan yang konstitusional.
Dengan demikian, dibutuhkan adanya satu rumusan yang utuh dan berkepastian secara hukum tentang syarat keterpenuhan mekanisme pembentukan RUU di luar prolegnas.
Perumusan tersebut dengan memaknai ulang ketentuan frasa “keadaan tertentu lainnya” yang memastikan “adanya urgensi nasional” pada bagian huruf b yang tak lain adalah apa yang dimaksud pada bagian huruf a, yakni suatu kondisi tertentu lainnya yang mencakup keadaan luar biasa, konfik, dan bencana alam.
Setidak-tidaknyanya, perumusan dimaksud dapat mengurangi intensifikasi manuver-manuver politik legislasi ke depan. (*)
***
*) Oleh : Fahrur Rozi, Pegiat Demokrasi dan Konstitusi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |