TIMES MALANG, JAKARTA – Isu mengenai pembangunan pagar laut yang kini tengah menggema di Tangerang harus segera mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, terutama pemerintah dan masyarakat. Di balik megahnya pagar laut itu yang diklaim sebagai tempat budidaya hasil tangkap nelayan, terdapat kisah pilu yang tak terhitung jumlahnya.
Para nelayan, seperti Kholid, yang menggantungkan hidup mereka pada laut, kini harus berjuang untuk mendapatkan hak mereka atas sumber daya yang telah mereka kelola selama berabad-abad. Pagar laut sepanjang 30 kilometer yang dibangun di sekitar perairan Tangerang bukan hanya sebuah struktur fisik, tetapi sebuah simbol dari ketidakadilan yang terjadi di depan mata kita.
Kholid, seorang nelayan dari Serang Utara, menjadi wajah dari perlawanan tersebut. Dalam forum Indonesia Lawyers Club (ILC), dengan berani ia menegaskan bahwa pagar laut tersebut telah merampas hak para nelayan kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari laut.
Bagi Kholid, bukan hanya soal kehilangan akses terhadap laut yang telah menjadi "dapur" mereka, tetapi juga soal keadilan yang seolah tidak berpihak kepada mereka yang tak punya suara. Ketika pelanggaran dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial, hukum sering kali berpihak pada mereka.
Sementara masyarakat kecil yang tidak mampu melawan justru dipersalahkan dan dihukum tanpa ampun. Pernyataan Kholid di ILC pun menggugah kesadaran banyak orang, termasuk mereka yang selama ini tak terlalu paham mengenai situasi nelayan kecil.
Pagar laut yang dibangun oleh pengusaha besar, yang diduga melibatkan tokoh-tokoh ternama seperti Aguan dan bawahannya, jelas menambah panasnya konflik ini. Tanpa izin yang sah, pembangunan pagar laut tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Namun, yang lebih mencolok adalah kenyataan bahwa hukum sering kali tumpul saat berhadapan dengan orang-orang berkuasa. Sebaliknya, bagi masyarakat kecil, hukum adalah pedang yang bisa dijatuhkan kapan saja.
Keberanian Kholid untuk mengungkapkan hal ini dengan tegas dan tanpa rasa takut menjadi simbol dari ketidakberdayaan masyarakat nelayan dalam menghadapi oligarki yang terus merambah dan menguasai ruang hidup mereka.
Keberanian Kholid juga menjadi sorotan di media sosial. Banyak warganet yang mengungkapkan dukungannya kepada Kholid, karena ia bukan hanya berbicara untuk dirinya sendiri, melainkan untuk ribuan nelayan lain yang terpinggirkan.
Meskipun begitu, dukungan yang datang juga tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak mengingatkan Kholid untuk berhati-hati, terutama dalam menyebut nama-nama yang diduga terlibat tanpa bukti yang kuat. Namun, Kholid dengan teguh menegaskan bahwa perjuangan ini lebih besar dari sekadar dirinya.
Ia mengingatkan kita semua bahwa laut bukanlah milik segelintir orang yang mampu membangun tembok tinggi, tetapi milik kita semua, milik rakyat kecil yang bergantung pada kekayaan alam tersebut.
Di satu sisi, publik mulai membuka mata tentang betapa banyaknya ketimpangan yang terjadi di sektor kelautan dan perikanan. Laut, yang seharusnya menjadi ruang bersama, kini telah dibatasi oleh pagar-pagar tinggi yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki modal besar.
Keberadaan pagar laut ini jelas menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan kehidupan nelayan, yang selama ini bekerja keras di tengah ganasnya ombak. Akses mereka terhadap laut semakin terbatas, dan sumber daya alam yang mereka kelola kini dikendalikan oleh segelintir orang yang hanya memikirkan keuntungan semata.
Tidak dapat dipungkiri bahwa para nelayan kini semakin terjepit oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Dengan semakin terbatasnya ruang gerak mereka di laut, tak sedikit nelayan yang terpaksa beralih profesi, mencari pekerjaan lain yang tak pasti.
Kholid, seperti banyak nelayan lainnya, merasakan sendiri dampak langsung dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan mata pencaharian mereka. Namun, yang membuat situasi ini semakin menyedihkan adalah ketidakpedulian dari pemerintah dan pihak berwenang.
Keputusan untuk membangun pagar laut tanpa melibatkan nelayan dalam diskusi atau mempertimbangkan dampaknya menunjukkan betapa pemerintah seringkali lebih berpihak pada pengusaha besar ketimbang rakyat kecil.
Ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib nelayan ini sangat jelas terlihat. Sementara para nelayan seperti Kholid berjuang untuk mendapatkan akses kembali ke laut, pihak berwenang tampak enggan mengambil tindakan yang berarti. Pernyataan Kholid yang mengatakan bahwa pemerintah "nunggu apa" menggambarkan betapa lambatnya respons yang diberikan terhadap masalah ini.
Sementara itu, publik dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin gencar mendesak pemerintah untuk segera menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjadi, namun tak ada langkah nyata yang diambil.
Perjuangan Kholid melawan pagar laut ini bukan hanya tentang mempertahankan hak-hak nelayan, tetapi juga tentang membela keadilan sosial. Laut adalah bagian dari warisan bangsa ini, dan hak atasnya seharusnya dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya oleh mereka yang berkuasa dan kaya.
Kholid, dengan segala keterbatasan dan keberaniannya, telah menunjukkan kepada kita bahwa perubahan itu mungkin, meskipun dimulai dari suara kecil. Kholid bukan hanya seorang nelayan biasa, ia adalah simbol perjuangan masyarakat kecil yang tidak takut untuk melawan ketidakadilan.
Kisah Kholid ini harus menjadi titik balik bagi kita semua. Kita tak bisa lagi membiarkan laut dikuasai oleh segelintir orang, sementara nelayan kecil terpinggirkan dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak mereka.
Jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, sudah saatnya bagi mereka untuk turun tangan dan memastikan bahwa kebijakan kelautan yang ada memberikan manfaat bagi semua, bukan hanya untuk kepentingan segelintir pengusaha. Sebab, laut bukan hanya milik mereka yang memiliki kekuasaan dan uang, tetapi milik kita semua, milik rakyat Indonesia.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |