TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Pendidikan kita di masa depan menghadapi tantangan yang cukup berat. Daya saing yang cukup ketat, dunia yang semakin cosmopolitan, dan juga masa depan manusia yang semakin kompleks. Seorang yang berhasil di masa depan adalah yang merencanakan hari ini, begitulah seorang bijak bestari berujar.
Dunia pendidikan di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan internal seperti krisis karakter anak-anak kita, persoalan perundungan di sekolah, juga kualitas pendidikan dan minimnya literasi. Di tengah tantangan pendidikan yang kompleks itulah, Kemendikdasmen meluncurkan gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (27/12/2024).
Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat itu ialah bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat.
Gerakan ini terinspirasi dari Steven R. Covey dengan bukunya yang terkenal The Seven Habits of Highly Effective People. Dalam gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat bangun pagi menjadi prioritas pertama kali. Sebab kegagalan bangun pagi akan berefek pada kegagalan kegiatan atau pembiasaan selanjutnya.
Apa yang menjadi gerakan Kemendikdasmen ini menjadi gerakan yang menyadarkan kita kembali tentang pentingnya memperkuat karakter dan budaya positif bagi anak Indonesia.
Persoalan pendidikan karakter yang belum terinternalisasi dengan baik di kalangan masyarakat kita membuat anak didik kita mengalami permasalahan yang kompleks.
Pengaruh arus teknologi dan dunia digital yang menggerus waktu dan dunia anak-anak kita. Pengaruh teknologi yang begitu cepat tidak hanya membawa anak kita kepada dunia yang lebih cepat, tetapi juga runtuhnya ikatan sosial, norma dan juga etika yang diabaikan. Akibatnya, kekerasan dan krisis mental anak anak kita menjadi kasus yang marak dalam dunia pendidikan kita.
Dalam kasus perundungan misalnya, PISA di tahun 2022 mencatat 25 persen anak perempuan dan 30 persen anak laki-laki menjadi korban perundungan beberapa kali dalam sebulan.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 2.133 kasus keluhan perlindungan anak pada 2024 dengan kejahatan seksual dan kekerasan fisik/psikologis menjadi masalah yang paling dominan [Kompas, 22/1/2025].
Sebagai sebuah gerakan, 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat ini memerlukan peran dan juga partisipasi dari semua elemen masyarakat, terutama di lingkungan keluarga. Gerakan penguatan pendidikan karakter akan dirasa percuma, bila keluarga sebagai penggerak utama justru terkesan abai.
Tantangan Internalisasi
Program penguatan pendidikan karakter yang ada di Kementrian Pendidikan sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010-an. Di masa Pemerintahan Presiden SBY, pemerintah melalui program Pendidikan karakter mencoba mengintegrasikan program tersebut pada mata pelajaran terutama berkaitan dengan pendidikan moral. Program tersebut seperti penanaman nilai-nilai gotong royong, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.
Di tahun 2016, pemerintah meluncurkan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang masuk dalam program Kurikulum 13 (K-13). PPK ini mencakup lima dimensi diantaranya ; Religiusitas, Kemandirian, Gotong royong, Integritas, dan Semangat Kebangsaan.
Sementara itu, di tahun 2017, pemerintah menerapkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang bertujuan membangun dan menguatkan literasi dengan gerakan cinta buku dan menulis di sekolah. Di masa kurikulum Merdeka, pemerintah meluncurkan program Merdeka Belajar dengan program andalan profil pelajar pancasila.
Dalam profil pelajar pancasila, anak-anak didik kita diharapkan memiliki 6 nilai utama diantaranya: Pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Kedua, memiliki karakter mandiri. Ketiga, suka bergotong-royong. Keempat, memiliki karakter berkebinekaan global. Kelima memiliki nalar kritis, dan terakhir memiliki sikap kreatif.
Apa yang diprogramkan pemerintah selama hampir sepuluh tahun lebih pada kenyataannya belum mampu mencegah arus dan krisis yang terjadi di dunia pendidikan kita. Apa yang kita sebut sebagai tiga dosa besar dunia pendidikan yaitu, perundungan, kekerasan seksual, dan juga intoleransi masih terjadi di dunia pendidikan kita.
Program pemerintah dalam upaya penguatan pendidikan karakter harus dilihat sebagai usaha yang berkelanjutan dalam membentuk karakter manusia Indonesia masa depan.
Jangan sampai gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat sebatas jargon dan kampanye semata. Guru dan juga pelaku di dunia pendidikan mesti memberi keteladanan tentang kebiasaan efektif di dunia pendidikan ini.
***
*) Oleh : Arif Yudistira, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Pendidik di PPM MBS Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |