TIMES MALANG, JEMBER – Pola hidup masyarakat modern telah dihadapkan dengan pesatnya perkembangan teknologi digital. Aktivitas kesehariannya semakin dipermudah dan bisa menjangkau khalayak luas. Cara mengakses dan menawarkan barang dagangan pun jadi lebih gampang.
Meskipun proses yang demikian tidak lepas dari liciknya corak produksi kapitalisme. Di mana identik dengan masyarakat barang dagangan (komoditas). Apapun yang ada di masyarakat, baik itu berupa barang, maupun jasa bahkan tubuh manusia bisa jadi barang dagangan. Maka jangan heran kalau tubuh perempuan dianggap memiliki daya tawar dan nilai lebih.
Eksistensi perempuan dalam masyarakat kapitalis telah terancam. Pemilik modal di industri dengan mudahnya memberdayakan privilege perempuan sebagai komoditas. Secara terus terang, demi produk industri dapat terjual cepat, perempuan dijadikan iklan atau sponsor yang ditampilkan pada billboard. Jika di media digital, kemunculannya terpampang pada beranda situs website dan konten media sosial.
Praktik tersebut sering kali dilakukan oleh perempuan yang memiliki beauty privilege. Suatu hak istimewa pada perempuan yang ditandai dengan tampilan fisik lebih menarik dibanding perempuan lain. Beberapa faktor pendukungnya, seperti bentuk wajah, warna kulit dan bentuk rambut. Sialnya, keistimewaan ini dijadikan standar kecantikan oleh budaya yang terdapat pada masyarakat.
Bagi perempuan-perempuan yang masih belum mencapai standar, akan berlomba-lomba membeli produk kecantikan untuk merubah bentuk fisiknya. Padahal dalam hal ini secara tidak langsung, seorang perempuan sudah menjadi korban dari industri bercorak kapitalis di era digital.
Liciknya Kapitalisme
Dari adanya industri di Indonesia sudah ada yang pernah memanfaatkan peran perempuan untuk strategi pemasaran. Bukan lagi sekadar iklan yang menayangkan produk kebutuhan perempuan seperti kosmetik, melainkan juga yang digunakan oleh kalangan laki-laki.
Sistem kerja di industri bercorak kapitalis sangat licik. Pekerja perempuan dituntut untuk mempromosikan produk industri, dengan nilai tawar bentuk fisik yang dimilikinya. Sehingga perempuan yang memiliki fisik menarik dijadikan pengikat konsumen.
Seperti contoh yang terdapat pada industri rokok. Bertahannya industri ini dengan cara mengandalkan strategi pemasaran dan iklan. Termasuk menjadikan perempuan sebagai sasaran objek iklannya.
Apalagi di era digital, pasar yang dijangkau lebih luas. Tanpa daya pikat yang demikian, proses penjualan akan sulit meningkat. Jelasnya ada korban yang dieksploitasi untuk menaikkan keuntungan.
Berlakunya sistem tersebut, perempuan jadi terbelenggu atas kuasa dirinya sendiri. Sedangkan perempuan perlu bebas dalam menjalani aktivitas apapun. Sebab, sesuai dengan pemikiran Simone de Beauvoir mengenai peran perempuan dan pembebasan di ranah ekonomi serta industri dalam karya terkenalnya The Second Sex.
Simone berargumen bahwa perempuan sejak lama telah dijadikan objek (Beauvoir, 1956: 15). Diposisikan sebagai “yang liyan” (the other), yang tidak sepenuhnya memiliki kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri.
The Power of Economic sebagai Pembebasan dari Kapitalisme
Perempuan yang bekerja dalam industri tidaklah cukup untuk mencapai pembebasan. Kebebasan perempuan saat dapat menentukan nasib dan memilih peran hidupnya sendiri.
Namun, perempuan di sektor ekonomi tidak hanya berpartisipasi saja. Tetapi juga memiliki kekuatan untuk mendefinisikan ulang posisi mereka dalam berperan di sektor ekonomi tersebut. Dalam konteks ini, jalan pembebasan yang perlu diambil oleh perempuan ialah “the power of economic” (kekuatan ekonomi).
Adapun perempuan yang memiliki kekuatan ekonomi bermula dari kemandiriannya secara finansial. Melalui keuangan yang otonom, perempuan dapat bebas membuat keputusan hidup, baik untuk pribadinya sendiri maupun sosial.
Hanya saja, perempuan hingga kini terus berjuang untuk berdaya di sektor ekonomi, harus berhadapan dengan prosedur kerja yang masih mempercayai bahwa kecantikan jadi indikator prioritas.
Pada akhirnya, industri bercorak produksi kapitalisme di era digital akan terus mengeksploitasi perempuan. Menjadikan kecantikan sebagai standar utama. Dengan begitu, percuma bicara kesetaraan, kalau kecantikan masih menjadi standarnya.
Bahkan di dunia kerja, fisik lebih dihargai daripada kompetensi. Oleh karena itu, pembebasan perempuan harus dimulai dari kemandirian finansial, agar memiliki kuasa atas dirinya sendiri, terlebih perannya untuk masyarakat.
***
*) Oleh : Nafa Latif Vani P, Ketua Kopri PMII Rayon Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |