TIMES MALANG, JAKARTA – Setelah mengusulkan relokasi sebagian warga Gaza ke Indonesia, kali ini Donald Trumph (Presiden Amerika Serikat) kembali mengusulkan relokasi warga Gaza ke Yordania dan Mesir. Upaya itu disebut Trumph sebagai solusi jangka panjang atas konflik berkepanjangan di Palestina.
Usulan Trumph mendapat reaksi keras. Di Mesir terjadi gelombang aksi unjuk rasa menolak usulan tersebut. Sementara itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menentang keras usulan tersebut dan menyebut sebagai bentuk pelenggaran hukum internasional dan hak asasi manusia.
Begitu juga dengan negara-negara Eropa, termasuk Jerman, Prancis yang menyebut bahwa rencana pemindahan paksa tersebut tidak akan membawa perdamaian, justru semakin memperburuk situasi. Sebab yang dibutuhkan warga Gaza adalah kembali membangun hidup mereka di tanah mereka sendiri.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI juga menolak keras rencana relokasi sebagian warga Gaza ke Indonesia. Penolakan juga disampaikan Majelis Ulama Indonesia. Menurut penulis, penolakan Kemenlu terhadap usulan tersebut sudah tepat.
Penolakan tersebut bukan artinya mengabaikan sisi kemanusiaan, justru penolakan tersebut merupakan bentuk dukungan Palestina merdeka. Singkatnya, bukan warganya yang dipindahkan dari tanah airnya sendiri, melainkan kemerdekaan Palestina lah yang harus diperjuangkan. Inilah point pentingnya.
Indonesia sejak era Presiden Soekarno hingga sekarang konsisten mendukung Palestina merdeka. Bagi Indonesia, mendukung Palestina merdeka sama dengan melaksanakan Amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Alinea Pertama tegas menyebut, Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dalam kaitannya dengan cita-cita Palestina merdeka, bangsa Indonesia wajib mengambil teladan dari perjuangan Presiden Soekarno. Bung Karno dalam mendukung Palestina tidak hanya sebatas retorika belaka, melainkan menunjukkan dengan aksi nyata. Inilah yang disebut satunya kata dengan perbuatan.
Teladan Perjuangan Bung Karno untuk Palestina Merdeka
Bung Karno teguh memegang spirit anti kolonialisme. Baginya kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, oleh karena itulah segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dilenyapkan.
Beragam cara dilakukan, mulai dari tidak mengakui legalitas Israel, membuka hubungan diplomatic dengan Israel hingga menggunakan olahraga sebagai mediumnya.
Jejak langkah perjuangan dan konsistensi Bung Karno hingga kini masih bisa dilacak. Sigit Aris Prasetyo dalam bukunya berjudul Dunai Dalam Genggaman Bung Karno (2017: 312-315) menjelaskan hal tersebut.
Ketika Israel memproklamirkan kemerdekaan pada 14 Mei 1948, Bung Karno dan para pemimpin bangsa sama sekali tidak mengakui legalitas kemerdekaan Israel. Bagi Bung Karno Israel bukanlah negara yang sah sebab merampas tanah rakyat Palestina.
Begitu juga ketika Presiden Israel, Chaim Weismann dan Perdana Menteri Israel David Ben Gurion pada tahun 1950 memberikan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia dari Belanda dan berniat hendak membangun hubungan diplomatic dengan Indonesia, baik Bung Karno dan Bung Hatta meresponnya dengan dingin. Bung Hatta yang ketika itu sebagai Perdana Menteri hanya mengucapkan terima kasih atas surat-surat diplomasi dari Israel.
Selanjutnya, ketika Indonesia menjadi tuan rumah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung-Jawa Barat pada tahun 1955, sejarawan Ricklefs (2008:516) menyebut Israel menjadi negara yang tidak diundang.
Dari 29 negara-negara Asia-Afrika yang hadir, hanya Palestina saja yang statusnya belum merdeka. Grand Mufti Palestina, Amin Husaini hadir mewakili Palestina ketika itu.
Dalam Pidato pembukaan pada 18 September 1955 berjudul Let a New Asia and New Africa be Born” (Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru) sebagaimana dikutip Iman Toto K. Rahardjo (2001: 36-37), Bung Karno tanpa ragu menyebut bahwa kolonialisme merupakan hal yang sangat jahat dan harus dilenyapkan dari muka bumi.
Selain itu, Bung Karno juga menyebut bahwa kolonialisme belum mati. Ia hanya berganti rupa saja. “Orang sering mengatakan kepada kita bahwa kolonialisme sudah mati. Janganlah kita tertipu! Saya berkata kepada tuan-tuan, kolonialisme belum mati. Ia hanya berganti rupa. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelejtual dan penguasaan materiil yang nyata-nyata,” kata Bung Karno.
Pasca peristiwa KAA, semangat anti kolonialisme terus menggema dan menyebar ke negara-negara Asia Afrika. Begitu juga Bung Karno yang terus dan konsisten mendukung Palestina dan negara-negara Asia-Afrika lainnya untuk merdeka.
Kali ini, dukungan Bung Karno kepada Palestina diwujudkan melalui medium olahraga. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1957, dikisahkan oleh Maulwi Saelan, salah seorang ajudan Bung Karno. Ketika itu, Indonesia hanya tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Indonesia berhasil mengalahkan Tiongkok.
Indonesia hanya tinggal melawan Israel sebagai juara wilayah Asia Barat. Namun, Bung Karno melarang Indonesia bertanding dengan Israel. Sebab bertanding dengan Israel sama saja mengakui Israel sebagai negara merdeka dan beradulat. "Itu sama saja mengakui Israel," kata Maulwi menirukan ucapan Bung Karno. Sigit Aris Prasetyo (2017: 317).
Begitu juga ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV pada tahun 1962. Pemerintah Indonesia secara resmi tidak memberikan visa kepada delegasi Israel dan Taiwan.
Aswi Warman Adam (2010:64) menjelaskan, pada 24 Agustus 1962, event olahraga tersebut dibuka tanpa kehadiran Israel dan Taiwan. Keputusan Indonesia tersebut dianggap bentuk diskriminasi.
Kegiatan olahraga itu tidak diakui sebagai Asean Games, melainkan hanya sekedar Jakarta Games. Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tidak ditentukan.
Bung Karno marah dan menjawab tudingan itu dengan membentuk Ganefo (Games of New Emerging Forces). Dan pada November 1963, tercatat ada 3.000 atlet dari 48 negara berpartisipasi dalam Ganefo.
Hingga saat akhir kekuasaannya, Prsiden Soekarno tetap pada pendiriannya dalam hal perjuangan terhadap Rakyat Pelestina melawan Israel. Dalam Pidatonya pada HUT RI pada 17 Agustus 1966 berjudul Jangan Sekali-Kali Meninggal Sejarah (Never Leave History).
Bung Karno menegaskan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itulah penjajahan di atas dunia harus dikapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Itulah sebabnya maka kita dalam politik yang bebas aktif tidak netral. Itulah sebabnya pula kita tidak mau mengakui Israel”.
Hingga tahun 1965, tercatat telah banyak negara-negara Asia-Afrika yang bebas dari belenggu kolonialisme. Diantaranya adalah, Ghana (merdeka tahun 1957), Ghuyana (merdeka tahun 1958), Tahun 1959 banyak negara-negara Asia -Afrika merdeka, yakni: Mauritania, Mali, Niger, Togoland, Nigeria, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Somali, Senegal, Pantai Gading, Gabon.
Tahun 1963 Kenya merdeka. Tahun 1964 Zambia dan Malawi merdeka dan Tahun 1965 Gambia Merdeka. “Sudah banyak jumlah negara yang memperoleh kemerdekaannya semenjak Bandung dan sekali suatu negara telah mengambil nasibnya ke tangannya sendiri,” tegas Bung Karno sebagaimana dikutip dari Iman Toto K. Rahardjo (2001: 354-356).
Begitulah teladan perjuangan Bung Karno dalam mendukung Palestina merdeka.
Kristalisasi Anti Kolonialisme dalam Pembukaan UUD
Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya paham betul dengan pahit dan getirnya kolonialisme. Sejarah juga mencatat, bahwa Bung Karno merupakan pembentuk negara, perumus-penggali dan pencipta Pancasila.
Bung Karno juga tercatat sebagai Ketua Panitia Perancang Hukum Dasar. Para pendiri bangsa sepakat melegalkan spirit anti kolonialisme dalam Pembukaan UUD tahun 1945.
Alinea Pertama Pembukaan menegaskan bahwa bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri-keadilan.
Konsistensi Bung Karno dalam mendukung Palestina dan negara-negara Asia-Afrika merdeka tentu saja memiliki pijakan kuat.
Menurut Ridwan Lubis (2010:190), kerangka pemikiran politik Bung Karno bertumpu pada tiga hal yakni, yaitu antielitisme, antikapitalisme dan antiimperialisme. Berangkat dari pemikiran anti kapitalisme dan anti imperialisme itulah, Bung Karno konsisten mendukung penuh kemerdekaan Palestina.
Bangunan ketatanegaraan kita menempatkan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sebagai norma hukum tertinggi, dalam bahasa Hans Nawiasky disebut Staatsfundamentalnorm, diterjemahkan pertama kali oleh Notonagoro sebagai Kaedah Pokok Fundamental Negara.
Notonagoro (1983: 76-77) menjelaskan bahwa pada hakikatnya Pembukaan UUD terpisah dari Pasal-Pasal UUD (dahulu disebut Batang tubuh) dan memiliki kedudukan lebih tinggi, serta tidak bisa diubah melalui mekanisme hukum, sebab Pembukaan memiliki kedudukan tetap melakat pada kelangsungan negara.
Jimly Asshiddiqie (2021:160) menjelaskan bahwa masing-masing alinea Pembukaan mengandung cita-cita luhur filosofis bangsa Indonesia. Bahwa keseluruhan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara dasar negara (Pancasila).
Dengan demikian lanjut Jimly, Pembukaan sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dan dalam ilmu politik, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Oleh karena itulah mendukung Palestina merdeka sama dengan melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945. Dan dalam konteks kekininian konsistensi perjuangan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina dan melenyapkan segala bentuk penjajahan di atas muka bumi harus terus dilaksanakan.
Upaya ini penting. Tidak hanya untuk melaksanakan amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 semata, melainkan juga menjaga perdamaian dunia.
***
*) Oleh : Bahaudin Marcopolo, Pemikir Konstitusi dan Ketatanegaraan Pusat Kajian Konstitusi dan Demokrasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |