https://malang.times.co.id/
Opini

Eksploitasi Politik dan Kerusakan Ekosistem Lingkungan

Sabtu, 18 Januari 2025 - 16:21
Eksploitasi Politik dan Kerusakan Ekosistem Lingkungan Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.

TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Tulisan ini akan menguraikan dosa sistemik yang dilakukan dalam Nawacita Jokowi terhadap desa, yang meliputi berbagai aspek seperti politisasi Dana Desa, dominasi pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan nilai budaya lokal, ketimpangan sosial yang makin melebar, disintegrasi sosial, eksploitasi ekonomi berkelanjutan, dan kerusakan ekosistem. 

Dalam praktiknya, berbagai program Nawacita Jokowi justru mengarahkan desa menjadi alat politik yang sistematis untuk memenangkan kepentingan kekuasaan tertentu. Keterlibatan kepala desa dalam mendukung calon tertentu, seperti yang terjadi pada momentum Pilkada 2024, semakin memperlihatkan betapa otonomi desa tergerus oleh pendekatan yang sentralistik dan pragmatis. 

Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 yang seharusnya menjadi landasan penguatan otonomi desa justru sering kali disalahgunakan, menciptakan ketimpangan, dan merusak ekosistem sosial budaya desa.

Dalam Nawacita Jokowi, desa tidak hanya berperan sebagai entitas administratif, tetapi juga sebagai alat politik yang digunakan untuk memperkuat kepentingan kekuasaan tertentu. Politisasi Dana Desa yang massif menciptakan ketimpangan antar desa, di mana desa-desa yang berdaya secara politik lebih mendapatkan alokasi yang besar, sementara desa-desa kecil semakin terpinggirkan. 

Dominasi pembangunan infrastruktur juga menghapus nilai-nilai budaya lokal yang selama ini menjadi kekuatan desa, menciptakan fragmentasi sosial yang sulit diatasi. Selain itu, pendekatan pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan hanya memperburuk ketergantungan ekonomi masyarakat desa pada proyek-proyek besar yang tidak memperhatikan kebutuhan jangka panjang.

Upaya membangun desa yang berkelanjutan seharusnya didasarkan pada prinsip otonomi dan partisipasi masyarakat yang kuat. Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 telah memberikan landasan hukum yang cukup kuat, namun implementasinya sering kali disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik pragmatis. 

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah ke depan untuk mengembalikan fokus pada pemberdayaan desa yang berorientasi pada keadilan sosial, penguatan nilai-nilai lokal, dan keberlanjutan lingkungan. Hanya dengan pendekatan ini, desa akan mampu menjadi pusat penguatan demokrasi yang sejati, bukan hanya sebagai alat politik kekuasaan semata.

Politisasi Dana Desa sebagai Awal Proses Sistemik

Proses awal dari dosa sistemik dalam Nawacita dimulai dengan politisasi Dana Desa yang luas. Sejak program Dana Desa diperkenalkan, alokasi anggaran sering kali dikendalikan oleh partai politik tertentu, yang mengarah pada penggunaan dana untuk kepentingan politik semata, bukan untuk pembangunan berkelanjutan desa. 

Hal ini mengakibatkan desa kehilangan otonomi dan kontrol atas pengelolaan sumber daya mereka sendiri. Dalam konteks ini, Jürgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action menekankan bahwa komunikasi yang tidak melibatkan partisipasi penuh masyarakat dapat menciptakan disfungsi sosial yang parah. 

Politisasi Dana Desa menciptakan kesenjangan antara masyarakat dan pemerintah, di mana rakyat hanya berperan sebagai objek yang menerima keputusan yang sudah diputuskan secara sepihak.

Selain itu, politisasi ini mengakibatkan ketimpangan antar desa, di mana desa yang memiliki kekuatan politik lebih besar mendapatkan alokasi dana yang lebih besar, sementara desa-desa kecil atau kurang berdaya menjadi korban marginalisasi. Dalam hal ini, aspek otonomi desa yang seharusnya menjadi esensi pembangunan justru tersisihkan demi kepentingan politik jangka pendek. 

John Rawls dalam A Theory of Justice menegaskan bahwa keadilan tidak hanya berbicara mengenai distribusi ekonomi yang merata, tetapi juga penghormatan terhadap otonomi komunitas lokal yang beragam. Ketika desa kehilangan otonomi, maka kesenjangan antar desa akan semakin melebar, menciptakan ketidakadilan sosial yang sulit diperbaiki.

Dominasi Infrastruktur dan Marginalisasi Budaya Lokal

Dominasi pembangunan infrastruktur dalam Nawacita Jokowi turut berkontribusi pada marginalisasi budaya lokal yang sistemik. Dalam praktiknya, pembangunan yang hanya berfokus pada fisik mengabaikan aspek-aspek penting seperti nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan tradisi yang telah menjadi akar kehidupan masyarakat desa selama bertahun-tahun. 

Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures menekankan bahwa budaya adalah tatanan yang terbentuk dari hubungan sosial yang kompleks dan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan. Ketika infrastruktur lebih diutamakan tanpa memperhatikan budaya lokal, masyarakat desa kehilangan identitas mereka dan ekosistem sosial yang selama ini terbentuk menjadi rapuh. 

Lebih jauh lagi, pembangunan yang tidak berimbang ini memperburuk disintegrasi sosial di desa. Desa-desa kehilangan harmoni sosial yang selama ini menjadi pondasi kehidupan bersama. Emile Durkheim dalam The Division of Labour in Society mengingatkan bahwa solidaritas sosial sangat penting untuk menjaga keseimbangan sosial di tengah berbagai perubahan modernisasi. 

Ketika pembangunan hanya berfokus pada aspek ekonomi dan fisik, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, maka tatanan sosial yang telah lama terbentuk akan runtuh, dan fragmentasi sosial menjadi tak terhindarkan.

Ketimpangan Sosial yang Terjadi Secara Sistemik

Ketimpangan sosial yang muncul dalam Nawacita juga semakin dalam akibat pendekatan pembangunan desa yang sentralistik dan tidak inklusif. Program pembangunan yang terlalu terpusat pada kepentingan politik membuat desa-desa kecil semakin sulit mengakses sumber daya yang sama dengan desa-desa yang lebih besar atau lebih berdaya. 

Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century mencatat bahwa ketimpangan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi sering kali memperburuk kesenjangan antar daerah. Dalam konteks desa, ketimpangan ini terlihat dalam pembagian dana yang tidak merata, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial yang menciptakan kesenjangan ekonomi yang melebar. 

Selain itu, pendekatan top-down yang diterapkan dalam Nawacita ini menciptakan jurang antara desa dan kota. Desa-desa yang seharusnya menjadi pusat penguatan ekonomi lokal justru kehilangan peran tersebut, karena kebijakan yang berfokus pada pembangunan besar-besaran tidak mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi mikro yang ada di lapangan. 

David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism memperingatkan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan antara wilayah kota dan desa hanya akan memperbesar ketimpangan sosial yang mengancam stabilitas demokrasi. 

Akibatnya, desa-desa kehilangan kapasitas untuk berkembang secara mandiri dan menghadapi stagnasi ekonomi yang menjerat masyarakat pada ketergantungan terhadap bantuan dari luar.

Disintegrasi Sosial dan Fragmentasi Ekosistem

Dosa sistemik Nawacita juga menciptakan disintegrasi sosial yang mengarah pada fragmentasi ekosistem sosial di desa. Ketika desa kehilangan nilai-nilai kolektif yang selama ini menjadi identitasnya, masyarakat terjebak dalam konflik yang merusak harmoni sosial. 

Dalam hal ini, Emile Durkheim kembali menyoroti pentingnya solidaritas sosial untuk menjaga kestabilan masyarakat. Pembangunan yang tidak memperhitungkan aspek sosial kultural justru memperlemah kohesi masyarakat, sehingga fragmentasi sosial menjadi tak terhindarkan. 

Masyarakat desa yang sebelumnya memiliki nilai-nilai bersama yang kuat kini menghadapi kesulitan dalam membangun kesatuan, karena birokrasi yang terlalu dominan membuat partisipasi masyarakat berkurang.

Lebih lanjut, fragmentasi ini mengarah pada kerusakan ekosistem budaya yang selama ini menjadi kekuatan desa. Ketika pembangunan hanya berfokus pada hasil fisik semata, seperti pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan kekayaan budaya, maka masyarakat kehilangan akar dan makna dari identitas mereka. 

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan pentingnya pendidikan kritis untuk menjaga kesadaran kolektif masyarakat dalam proses pembangunan. Jika masyarakat hanya menjadi obyek pembangunan tanpa memahami tujuan sosial dan budaya di baliknya, maka desa akan kehilangan harmoni dan tatanan sosial yang selama ini menjadi landasan kehidupan bersama.

Lingkup Ekspoitasi yang Berkelanjutan
Eksploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dalam Nawacita Jokowi menciptakan kerusakan yang jauh lebih dalam, terutama dalam aspek ekonomi desa. Pembangunan desa yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hanya memperbesar ketergantungan masyarakat pada sumber daya yang akhirnya habis tanpa pengelolaan yang bijak. 

David Harvey mengingatkan bahwa model pembangunan yang terlalu mengandalkan ekspansi ekonomi tanpa memperhatikan dampak jangka panjang akan berujung pada kerusakan lingkungan yang merugikan generasi mendatang. Dalam konteks desa, eksploitasi ini terlihat dalam penebangan hutan yang tidak terkendali, pembangunan proyek yang mengorbankan lingkungan, dan pengabaian terhadap keberlanjutan ekonomi lokal.

Selain itu, kerusakan ekosistem ekonomi ini mengarahkan pada eksploitasi tenaga kerja lokal yang semakin parah. Desa-desa kehilangan daya saing karena tidak memiliki ruang untuk berkembang secara mandiri. Ketimpangan yang terus melebar ini mengakibatkan fragmentasi sosial yang semakin sulit dikendalikan. 

Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks menegaskan pentingnya peran masyarakat sipil untuk menjaga demokrasi dari dominasi politik yang berlebihan. Dalam konteks desa, eksploitasi yang berkelanjutan hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan sosial, dan masyarakat desa kehilangan ruang untuk mendefinisikan masa depan mereka sendiri.

Esensi Demokrasi dan Partisipasi

Mengatasi dosa sistemik Nawacita membutuhkan solusi yang berfokus pada kembalinya esensi demokrasi yang inklusif dan partisipatif. Prabowo sebagai penantang memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan otonomi desa yang telah hilang akibat dominasi politik. 

Jean Jacques Rousseau dalam The Social Contract menekankan bahwa pembangunan yang sehat hanya dapat terjadi jika melibatkan kehendak kolektif dan partisipasi aktif dari masyarakat. Desa tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi subjek yang menentukan arah dan tujuan dari setiap kebijakan yang diambil.

Langkah selanjutnya adalah menciptakan model pembangunan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat desa secara holistik. Ini berarti mengintegrasikan aspek budaya, ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam setiap program pembangunan. Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan kritis harus menjadi bagian inti dari proses pemberdayaan masyarakat. 

Dalam konteks desa, pendidikan kritis ini membantu masyarakat memahami bagaimana mereka dapat berperan aktif dalam menjaga integritas budaya, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, dan membangun harmoni sosial yang kuat.

Dosa sistemik dalam Nawacita Jokowi telah menciptakan kerusakan yang kompleks di berbagai aspek kehidupan desa, mulai dari ketimpangan ekonomi, disintegrasi sosial, hingga kerusakan lingkungan. 

Proses sistemik ini harus dihentikan dan digantikan dengan pendekatan yang berorientasi pada partisipasi aktif masyarakat, otonomi desa, dan keseimbangan antara modernisasi dan tradisi. 

Prabowo dan kelompok pengawal demokrasi Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan desa kembali menjadi pusat penguatan identitas, budaya, dan pembangunan yang berkelanjutan.

***

*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.