TIMES MALANG, MALANG – Fenomena investasi emas kembali mencuat di masyarakat Indonesia. Di berbagai media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan unggahan yang membahas betapa ‘menguntungkannya’ berinvestasi emas.
Ada yang membagikan pengalaman membeli rumah dari hasil cuan emas, ada juga yang membuat konten edukasi ringan yang membujuk warganet khususnya anak muda untuk mulai menabung logam mulia dari sekarang dari sosial media.
Fenomena ini bisa disebut sebagai “demam emas” yaitu kondisi ketika banyak orang secara masif dan cepat mulai tertarik pada suatu hal karena dipengaruhi oleh informasi atau tren sosial khususnya penyebaran yang cepat di media sosial.
Sebagai bagian dari masyarakat akademik, kita perlu mempertanyakan: mengapa begitu banyak orang tiba-tiba ingin beli emas? Apakah keputusan itu lahir dari pertimbangan logis dan personal, atau hanya hasil dari arus informasi sosial yang begitu kuat?
Untuk menjawab hal tersebut, mari kita coba bahas teorinya dari sudut pandang psikolog sosial Robert S. Wyer, Jr. yang dikenal dengan Theory of Social Information Processing.
Teori ini menjelaskan bahwa manusia memproses informasi sosial melalui beberapa tahapan: perhatian, penafsiran, penyimpanan dalam memori, dan pemanggilan kembali saat dibutuhkan.
Dalam proses ini, informasi yang kita terima dari lingkungan sosial, media sosial, influencer, berita, hingga tokoh pun dapat secara signifikan membentuk cara kita berpikir dan bertindak.
Kita Tidak Netral, Kita Sosial
Salah satu poin penting dari teori Wyer adalah bahwa kita bukan penerima informasi yang pasif. Ketika kita melihat seorang teman sukses berinvestasi emas, hal itu tidak hanya menjadi sebuah cerita saja tetapi otak kita menangkapnya, mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, lalu menyimpannya dalam memori sebagai referensi keputusan di masa depan.
Jika suatu saat kita punya uang lebih dan sedang berpikir untuk berinvestasi, maka informasi tadi akan muncul kembali. Bahkan jika kita tidak paham betul tentang fluktuasi harga emas atau strategi investasi jangka panjang, memori tentang keberhasilan orang lain bisa cukup kuat untuk mendorong kita mengambil keputusan serupa.
Narasi Sosial Mengalahkan Logika Pribadi
Informasi sosial seringkali datang dalam bentuk cerita yang emosional dan mudah diingat ini yang membuatnya lebih kuat dalam memengaruhi keputusan.
Contohnya seperti viralnya kisah seorang ibu di Medan beli emas Rp 6 juta terjual Rp 52 juta. Ketika narasi-narasi ini terus diulang di media sosial, kita mulai membentuk skema sosial di kepala: bahwa emas adalah investasi terbaik, aman, dan pasti menguntungkan.
Padahal, dalam kenyataannya, tidak semua orang sukses karena emas. Ada juga yang menjual di harga rendah karena terpaksa, atau yang menyimpan emas bertahun-tahun tapi hasilnya tak seberapa.
Informasi semacam ini jarang diangkat karena tidak “menjual” secara naratif. Wyer menjelaskan bahwa manusia cenderung memperkuat informasi yang sudah sesuai dengan skema atau kepercayaannya, dan mengabaikan yang bertentangan.
Efek Media Sosial
Di era kemajuan digital, informasi sosial datang dari berbagai arah dan dalam jumlah yang sangat masif. Media sosial menjadi ruang di mana narasi populer dibentuk dan diperkuat.
Ketika influencer, selebgram, atau teman-teman di timeline kita mulai memamerkan wujud emas atau cuplikan gambar trading emas, muncul tekanan sosial dan psikologis untuk ikut serta. Kita takut tertinggal. Fear of Missing Out (FOMO) menjadi pemicu kuat, mendorong kita membuat keputusan investasi dengan tergesa-gesa.
Dalam teori Wyer, ini adalah bentuk dari “pemanggilan kembali” informasi sosial dalam konteks keputusan aktual. Otak kita mengakses data dari memori sosial bukan dari logika analitis. Maka jangan heran jika kemudian banyak yang membeli emas tanpa tahu kapan waktu terbaik membeli atau menjual, hanya karena “semua orang juga sedang beli”.
Kritik Diri Sendiri untuk Filter Sosial
Apa yang bisa kita lakukan sebagai individu agar tidak terperangkap dalam tren sosial seperti demam emas? Kuncinya kita perlu memahami bahwa informasi yang kita simpan, baik secara sadar maupun tidak, bisa membentuk keputusan kita hari ini. Maka penting untuk menyaring informasi sosial dengan kacamata kritis.
Jika kita ingin berinvestasi, pastikan keputusan itu lahir dari pemahaman yang utuh, bukan hanya berdasarkan tren viral. Berdialoglah dengan diri sendiri: “Apakah saya paham risiko nantinya? Apakah keputusan ini cocok dengan kondisi keuangan saya saat ini dan mendatang? Atau saya hanya takut tertinggal tren dan dianggap gak gaul?”
Di tengah arus informasi yang tinggi, kesadaran diri menjadi filter yang paling bisa diandalkan. Kita tidak bisa menghindari informasi sosial, tapi kita bisa memilih bagaimana menanggapinya.
Bijak dalam Menyerap, Kritis dalam Menentukan
Demam emas adalah refleksi dari bagaimana masyarakat kita saat ini membentuk dan menyerap informasi. Dalam dunia yang semakin modern ini, kita dituntut bukan hanya untuk melek informasi, tapi juga melek cara kita memproses informasi itu.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Robert S. Wyer, informasi sosial akan selalu memengaruhi perilaku manusia. Tapi dengan kesadaran, refleksi, dan pengetahuan yang cukup, kita tetap bisa menjaga akal sehat agar tidak larut dalam euforia yang dibungkus narasi menggiurkan.
Karena dalam dunia investasi, keputusan terbaik bukanlah yang paling cepat atau paling ramai, melainkan yang paling tepat untuk kondisi diri sendiri. So, let’s be a smart people for the future life.
***
*) Oleh : Rara Lingga Mardiani Pragasiwi, S.Psi., Mahasiswa Magister Sains Psikologi, FISIP, Universitas Brawijaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |