https://malang.times.co.id/
Opini

Smart Land Governance dan Ulayat yang Terpinggirkan

Minggu, 13 April 2025 - 16:49
Smart Land Governance dan Ulayat yang Terpinggirkan Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta

TIMES MALANG, PADANG – Di tengah semangat digitalisasi layanan pertanahan, Sumatera Barat menyajikan realitas yang tak mudah dijinakkan oleh algoritma. 

Ambisi pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mewujudkan smart land governance-sistem pertanahan cerdas berbasis digital-berhadapan langsung dengan warisan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau tanah ulayat.

Di daerah lain, digitalisasi berarti efisiensi. Di Sumatera Barat, itu bisa berarti pengaburan hak-hak adat.

Tanah Tak Sekadar Sertifikat

Hampir 74 persen tanah di Sumatera Barat berstatus tanah ulayat. Ini bukan sekadar klaim adat, tapi sistem hukum yang hidup dan diakui dalam berbagai peraturan perundangan, termasuk dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. 

Tanah ulayat dikuasai secara kolektif oleh kaum atau suku, diatur oleh ninik mamak, dan dijaga berdasarkan hukum adat yang diwariskan turun-temurun.

Masalahnya, sistem pertanahan nasional yang dibangun BPN belum mampu sepenuhnya mengakomodasi hak kolektif ini dalam struktur hukum formal dan sistem digital nasional. 

Aplikasi pertanahan berbasis individual ownership tidak cocok dengan skema kepemilikan komunal. Tanah ulayat tidak bisa dipetakan hanya berdasarkan satu nama pemilik, melainkan berdasarkan struktur sosial dan nilai kultural yang hidup.

Digitalisasi dan Risiko Penghilangan Hak Adat

Upaya percepatan digitalisasi sertifikat tanah yang tidak melibatkan komunitas adat berpotensi menyingkirkan hak ulayat secara sistematis. Di Kabupaten Solok Selatan dan Tanah Datar, sejumlah tanah ulayat yang selama ini dikuasai kaum telah didaftarkan sebagai tanah negara karena tidak terdata dalam sistem formal. 

Proyek redistribusi lahan yang dibungkus dalam agenda reforma agraria pun berisiko mengubah tanah komunal menjadi tanah pribadi, membuka celah konflik internal dan eksternal.

Teknologi, jika tidak dibarengi dengan sensitivitas budaya, bisa menjadi alat eksklusi. Data tanah yang dipetakan tanpa konsultasi dengan pemangku adat atau masyarakat lokal dapat merampas hak dalam sunyi, tanpa perlawanan formal karena tidak terlihat secara kasatmata. Hasilnya: tanah dijual, masyarakat tercerabut, dan adat kehilangan akar.

Tumpang Tindih Kewenangan, Data Tidak Sinkron

Sumatera Barat adalah contoh nyata dari tumpang tindih kewenangan antara negara dan masyarakat adat. BPN mengklaim wilayah sebagai "tanah negara tidak bertuan" karena belum bersertifikat, sementara masyarakat adat menyebutnya sebagai ulayat yang dijaga secara turun-temurun. Ketidaksinkronan ini menjadi bom waktu konflik agraria yang terus membara.

Beberapa kasus tumpang tindih dengan izin tambang, HGU sawit, atau proyek strategis nasional (PSN) terjadi di atas tanah yang secara historis adalah ulayat. Tanpa basis data yang inklusif dan peta partisipatif, digitalisasi hanya menjadi jalan pintas untuk legalisasi penguasaan pihak luar atas tanah masyarakat lokal.

Teknologi Harus Berbasis Komunitas

Reformasi digital pertanahan harus dimulai dari pengakuan terhadap sistem lokal. Di Sumatera Barat, itu berarti penguatan hak ulayat dalam sistem informasi pertanahan yang resmi. 

BPN perlu menyusun skema registrasi tanah yang berbasis kolektif, bukan individual, agar tanah ulayat bisa tercatat tanpa harus dikorbankan menjadi tanah perorangan. Sistem seperti ini membutuhkan partisipasi aktif dari komunitas lokal, terutama dari struktur adat seperti ninik mamak dan wali nagari.

Upaya pemetaan harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan masyarakat adat sejak awal proses. Peta-peta ulayat yang dihasilkan oleh nagari, LSM, dan akademisi seperti yang dilakukan di Kabupaten Agam dan Lima Puluh Kota bisa menjadi rujukan penting.

BPN mesti membuka ruang dialog dan legalisasi formal atas peta-peta komunitas tersebut agar masuk ke dalam basis data pertanahan nasional.

Ketertutupan Data Memelihara Mafia Tanah

Masalah lainnya adalah soal transparansi. Ketiadaan akses publik terhadap data pertanahan menyulitkan masyarakat nagari untuk mengetahui apakah tanah mereka telah terdaftar, atau diam-diam sudah diklaim oleh pihak lain. Ketertutupan ini menjadi celah bagi mafia tanah yang bersenjata akta notaris dan relasi kekuasaan. 

Di sejumlah wilayah pinggiran Kota Padang, Payakumbuh, dan Pesisir Selatan, warga kehilangan tanah adat karena terbitnya sertifikat atas nama perseorangan atau badan usaha tanpa persetujuan pemangku ulayat.

Digitalisasi yang sehat seharusnya membuka akses bagi masyarakat untuk mengakses dan memverifikasi data kepemilikan tanah. Jika transparansi tidak dijaga, maka teknologi justru akan melanggengkan praktik-praktik manipulatif dalam wajah yang lebih rapi.

Perlu Komitmen Politik dan Anggaran

Untuk itu, negara perlu mengambil sikap tegas dalam pengakuan terhadap tanah ulayat sebagai fondasi tata kelola pertanahan di Sumatera Barat. Ini bukan sekadar urusan teknis BPN, tapi juga kebijakan lintas sektor yang menyangkut agraria, budaya, hukum, dan keuangan. 

Pemerintah perlu menyediakan anggaran khusus untuk pemetaan partisipatif, pelatihan digitalisasi berbasis komunitas, dan konsultasi berkelanjutan dengan lembaga adat.

Kerja sama antara BPN, pemerintah daerah, universitas, dan tokoh adat harus dijadikan pilar dari sistem pertanahan nasional yang inklusif. Tanpa komitmen ini, digitalisasi akan berjalan cepat tapi timpang. Sertifikat mungkin tercetak, tetapi konflik bisa menyala di akar rumput.

Keadilan Agraria di Era Digital

Digitalisasi tidak akan menyelesaikan masalah pertanahan jika hanya berfokus pada kecepatan layanan dan efisiensi birokrasi. Di tanah Minangkabau, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas, martabat, dan kesinambungan sosial. 

Smart land governance hanya akan berhasil jika ia menghormati logika lokal dan berani keluar dari pendekatan seragam. Jika tidak, maka proyek digital hanya akan mempercepat pemutusan masyarakat dari sejarah dan tanahnya sendiri.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.