TIMES MALANG, MALANG – Tulisan ini lahir dari renungan seseorang. penulis berdiskusi dengan seseorang yang punya cara pandang menarik tentang hidup bahwa uang, pekerjaan, dan pasangan hanyalah hadiah kecil. Bahwa hadiah yang sebenarnya bukan sesuatu yang bisa digenggam, melainkan diri kita sendiri. Dari obrolan itu, penulis belajar melihat hidup dari sudut yang lebih dalam.
Di tengah kehidupan modern yang begitu cepat, kita sering menilai keberhasilan dari hal-hal yang tampak, pekerjaan mapan, saldo rekening yang aman, atau hubungan yang terlihat harmonis di media sosial. Kita dididik untuk mengejar hasil, bukan proses. Tak heran jika banyak orang merasa kosong, bahkan ketika semua “target hidup” sudah tercapai.
Bagaimana kalau sebenarnya, yang paling berharga bukan apa yang kita miliki, tapi siapa kita, selama perjalanan itu? Mungkin uang, jabatan, atau pasangan hanyalah hadiah kecil, bonus yang menyenangkan, tapi bukan inti dari kebahagiaan. Karena hadiah yang sejati adalah diri kita sendiri karakter, pemikiran, dan kedewasaan yang tumbuh dari perjalanan panjang menghadapi hidup.
Viktor Frankl, psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menulis dalam Man’s Search for Meaning, “Ketika kita tak lagi mampu mengubah keadaan, kita ditantang untuk mengubah diri sendiri.” Pandangannya terasa relevan hari ini, ketika banyak orang terjebak dalam tekanan untuk selalu produktif, padahal kadang yang kita butuhkan hanyalah hening untuk memahami diri.
Hidup tidak pernah berjalan mulus, dan mungkin memang tidak seharusnya. Setiap masalah adalah batu pijakan menuju pemahaman baru. Setiap kegagalan membuka ruang untuk belajar tentang kerendahan hati.
Dalam psikologi modern, ini disebut post-traumatic growth, kemampuan untuk tumbuh setelah luka. Tapi jauh sebelum istilah itu muncul, Jalaluddin Rumi sudah menulis, “Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.”
Kita hidup di masa ketika kesuksesan diukur dari kecepatan. Padahal, kedewasaan butuh waktu. Karakter tidak tumbuh dari kemenangan, tapi dari keberanian untuk tetap berdiri saat hidup menolak rencana kita. Mungkin karena itu, banyak yang mulai lelah dengan perlombaan tanpa akhir dan diam-diam ingin menemukan kedamaian di dalam diri.
Dalam tradisi Islam, ada ayat yang begitu menenangkan: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6). Ia mengajarkan bahwa kemudahan bukan datang setelah kesulitan, tapi bersamanya. Artinya, dalam setiap ujian, selalu ada peluang untuk tumbuh, hanya saja, kadang mata kita terlalu sibuk mencari hasil, bukan makna.
Ketika kehilangan pekerjaan, gagal meraih target, atau hubungan berakhir, mungkin bukan hidup yang jahat, melainkan hidup sedang mengajak kita pulang ke dalam diri. Menemukan kembali nilai-nilai yang dulu kita tinggalkan saat sibuk mengejar pengakuan.
Kita bisa belajar dari mereka yang bangkit setelah kehilangan. Dari ibu tunggal yang memulai hidup dari nol, dari mahasiswa yang tetap bertahan meski beasiswanya dicabut, dari pekerja yang menolak menyerah meski tak kunjung diangkat tetap. Mereka adalah bukti bahwa hadiah sejati bukan datang dari dunia luar, melainkan dari kekuatan dalam diri.
Carl Jung pernah menulis, “Aku bukanlah apa yang telah terjadi padaku. Aku adalah apa yang kupilih untuk menjadi.” Kalimat ini sederhana tapi dalam. Ia mengingatkan kita bahwa manusia selalu punya ruang untuk menentukan arah, bahkan ketika hidup tampak sempit. Bahwa hadiah terbesar bukanlah keberhasilan, tapi kesadaran untuk terus bertumbuh.
Kini, di tengah kebisingan digital, kita justru perlu belajar diam. Belajar mengenali suara hati sendiri di antara bisingnya ekspektasi dunia. Karena di sanalah, perlahan, kita menemukan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada banyaknya hal yang kita kejar, melainkan pada seberapa tulus kita berdamai dengan diri.
Maka, berhentilah sejenak. Lihatlah ke dalam. Betapa jauh kamu telah berjalan, betapa banyak hal yang telah membentukmu hingga kini. Tidak ada perjalanan yang sia-sia jika kamu bersedia memetik maknanya.
Kamu adalah hadiah itu. Bukan yang dibungkus rapi dan diserahkan di akhir perjalanan, melainkan yang terus tumbuh, berubah, dan menyinari jalan setiap hari. Jadi, kalau esok kamu kembali merasa kurang, ingatlah, kamu sudah membawa hadiah terbaiknya sejak awal, dirimu sendiri.
***
*) Oleh : Azizah Zamzam, Ketua Yayasan Duta Pancasila.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |