https://malang.times.co.id/
Opini

Mengapa Rokok Ilegal Tak Pernah Mati?

Rabu, 09 Juli 2025 - 08:34
Mengapa Rokok Ilegal Tak Pernah Mati? Thaifur Rasyid, Pengurus Komunitas Kretek Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Setiap kali aparat bea cukai merazia rokok ilegal, media ramai memberitakan seolah negara sedang menegakkan hukum demi kebaikan rakyat. Triliunan kerugian negara disebut-sebut akibat peredaran rokok ilegal. 

Tapi jarang sekali ada yang bertanya: kenapa rokok ilegal itu bisa tetap hidup? Apa benar hanya soal keserakahan pelaku bisnis gelap? Atau justru karena kebijakan negara sendiri yang menciptakan ruang bagi rokok ilegal berkembang?

Sebagai masyarakat awam sekaligus perokok aktif (meski sekarang ngurang-ngurangin), saya mencoba jujur melihat realitas ini. Kita tak bisa memandang persoalan rokok ilegal hanya dari satu sisi. Ada faktor ekonomi, sosial, bahkan politik yang saling terkait. Dan di tengah semua itu, harga cukai dan harga jual rokok legal memegang peran penting.

Mari kita buka datanya. Tahun 2024 lalu, pemerintah kembali menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar rata-rata 10%. Artinya, harga jual rokok legal di pasaran ikut naik. Sekarang, untuk membeli sebungkus rokok merek nasional ternama, butuh Rp30.000-Rp40.000. Di daerah-daerah miskin dan pedesaan, angka ini jelas berat.

Padahal, tembakau adalah budaya yang mendarah daging di masyarakat kita, khususnya di Jawa, Madura, dan Sumatera. Ada relasi sosial di sana, dari ritual minum kopi sambil merokok, upacara adat, hingga bentuk solidaritas di warung-warung kecil. Ketika harga rokok resmi makin mahal, otomatis masyarakat kelas bawah mencari alternatif. Di sinilah rokok ilegal masuk.

Rokok tanpa pita cukai atau dengan cukai palsu bisa dijual setengah harga dari rokok legal. Bentuk, rasa, dan bungkusnya kadang menyerupai merek ternama. Bagi masyarakat kecil yang dompetnya pas-pasan, pilihan itu masuk akal. Buat apa memaksakan beli rokok legal kalau ada yang lebih murah dan tetap bisa ngebul?

Pertanyaan berikutnya, apakah kondisi ini sepenuhnya kesalahan pelaku bisnis ilegal? Tentu tidak. Mereka hanya membaca celah dari kebijakan cukai yang timpang. Bea cukai rokok di Indonesia tergolong tinggi dibanding negara-negara ASEAN lain. Tahun 2023, kontribusi cukai hasil tembakau terhadap APBN bahkan tembus Rp218 triliun. Dari angka itu, sekitar 60%-70% ditopang oleh pabrikan besar.

Sayangnya, pabrik-pabrik besar itu sebagian besar sudah dimiliki asing atau konglomerasi tertentu. Mereka bisa bertahan karena skala produksi besar dan kekuatan modal. Sementara pabrikan kecil di daerah tak sanggup bersaing. Saat ingin memproduksi legal, harga cukainya sudah mencekik. Belum lagi regulasi yang ketat soal pita cukai, pengawasan produksi, hingga sanksi administrasi.

Akhirnya, banyak pabrik kecil memilih jalan pintas: memproduksi tanpa cukai. Bukan semata ingin menantang hukum, tapi karena sistem yang ada memang tak memberi ruang hidup bagi industri lokal skala kecil-menengah.

Celakanya, pemerintah lebih senang memburu pabrik-pabrik kecil ketimbang membenahi akar masalahnya. Setiap ada razia, puluhan ribu batang rokok ilegal disita, pekerja kecil ditangkap, lalu diumumkan di media. Tapi soal kenapa harga cukai begitu tinggi dan sistem perizinan begitu menyulitkan, jarang jadi bahan diskusi publik.

Pemerintah berdalih bahwa cukai tinggi demi menekan angka perokok dan menjaga kesehatan masyarakat. Dalih ini masuk akal di atas kertas. Tapi mari kita jujur, faktanya penerimaan negara dari cukai tembakau terus naik tiap tahun. 

Artinya, rokok tetap laku keras. Kesehatan masyarakat jadi alasan moral yang dipakai untuk menjustifikasi kebijakan ekonomi yang sebenarnya berpihak ke pabrik besar.

Kebijakan cukai tinggi secara tidak langsung menciptakan monopoli terselubung. Pabrikan besar bisa bayar cukai, punya izin lengkap, dan kuat modal. Pabrikan kecil megap-megap. Alhasil, pasar rokok nasional didominasi segelintir perusahaan besar, sedangkan pabrik kecil hanya bisa bertahan di pasar gelap alias ilegal.

Dalam situasi ini, yang diuntungkan jelas pabrikan besar dan negara. Negara dapat cukai, pabrikan besar dapat pasar. Yang dirugikan? Masyarakat kecil yang harus beli rokok makin mahal, buruh pabrik kecil yang kehilangan pekerjaan, dan pabrik-pabrik tradisional yang akhirnya terpaksa ilegal demi bertahan.

Persoalan ini sebenarnya bisa diurai kalau pemerintah mau jujur. Misalnya, dengan menerapkan tarif cukai bertingkat yang lebih adil, bukan sekadar pro-pabrik besar. Pabrikan kecil yang kapasitas produksinya terbatas seharusnya diberi ruang hidup legal dengan cukai lebih ringan. Atau beri insentif pajak bagi industri kecil-menengah tembakau lokal agar bisa bersaing di pasar.

Selain itu, pengawasan terhadap pita cukai palsu harus benar-benar menyasar pemasok dan pembuatnya, bukan sekadar pengecer dan pekerja kecil. Kalau benar negara ingin berantas rokok ilegal, tangkap bandar pita cukai palsu, bongkar jaringan distribusi gelapnya, bukan sekadar gebyar-gebyar di lapangan.

Kita harus paham, rokok ilegal itu bukan penyakit, tapi gejala dari sistem ekonomi yang tidak adil. Selama harga rokok legal terus melonjak, sementara pendapatan rakyat stagnan, selama cukai terus dinaikkan tanpa memperhatikan daya beli masyarakat, selama kebijakan cukai hanya menguntungkan pemain besar, selama itu pula rokok ilegal akan selalu hidup.

Dan selama negara lebih sibuk menyalahkan rakyat kecil ketimbang memperbaiki sistemnya, kita tak perlu heran kalau bisnis gelap ini tetap laris di kampung-kampung. Karena kadang, rakyat kecil cuma ingin bisa merokok tanpa harus memilih antara bayar listrik, beli beras, atau sebungkus rokok.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, Pengurus Komunitas Kretek Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.