TIMES MALANG, JEMBER – Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang disahkan pada tahun 2019 mengundang kritik keras dari berbagai kalangan. Bagi banyak pihak, perubahan dalam UU No. 19 Tahun 2019 ini tidak hanya menjadi ancaman bagi efektivitas KPK dalam memberantas korupsi, tetapi juga mengarah pada politisasi hukum yang sangat berisiko merusak independensi lembaga antirasuah tersebut.
Besar indikasi bahwa KPK yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pemberantas korupsi, justru kini dapat digunakan sebagai alat politik yang diperuntukkan menggerogoti lawan politik para penguasa atau bahkan pemerintah yang berbeda pandangan alias memilih berposisi.
Penurunan kewenangan KPK dan potensi politisasi ini memberikan gambaran, betapa pentingnya menjaga keberlanjutan integritas lembaga yang sejak awal dibentuk untuk menanggulangi merebaknya budaya korupsi yang telah mengakar dalam sendi-sendi birokrasi di Indonesia.
Pelemahan KPK melalui Revisi UU KPK
Revisi UU KPK yang disahkan pada tahun 2019 lalu, menghadirkan sejumlah perubahan signifikan yang dipandang oleh banyak pihak sebagai langkah yang dekaden dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu perubahan yang paling disorot adalah pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) yang memiliki kewenangan mengawasi tindakan KPK, termasuk izin penyadapan.
Kritikus menyebutkan bahwa pembentukan dewas ini memberikan peluang bagi intervensi politik dalam proses hukum yang dijalankan oleh KPK. Menurut penilaian mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, langkah ini menjadi ancaman besar bagi independensi KPK. Menurutnya, "Dewan Pengawas ini tidak hanya mengurangi kekuatan KPK, tetapi juga membuka pintu bagi campur tangan pihak eksternal yang bisa menghambat penegakan hukum."
Lebih lanjut, perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) juga memicu kontroversi. Sebanyak 75 pegawai yang dianggap memiliki integritas tinggi dinyatakan tidak lolos dalam tes tersebut dan terancam diberhentikan.
Tindakan semacam ini dipandang sebagai upaya untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap "tidak sejalan", dengan kebijakan pemerintah. Hal ini kemudian memunculkan kekhawatiran bahwa KPK yang semula independen kini terancam menjadi lembaga yang lebih mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik yang ada.
Harun Al Rasyid, salah satu pegawai KPK yang disingkirkan melalui TWK mengungkapkan, bahwa tindakan tersebut seharusnya tidak dilakukan, karena tes ini tidak tercantum dalam UU No. 19 Tahun 2019. "Pelemahan terhadap KPK ini jelas bukan hanya masalah teknis, tetapi lebih kepada keinginan politik untuk membatasi ruang gerak KPK dalam memberantas korupsi," tegasnya.
Penurunan kewenangan KPK yang terjadi melalui perubahan-perubahan ini semakin memperburuk citra lembaga yang dulunya dianggap sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Banyak pihak menganggap bahwa revisi UU KPK ini lebih merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi kewenangan lembaga antikorupsi tersebut, ketimbang memperbaikinya.
Dilain hal, revisi UU KPK ini dilakukan dengan terburu-buru, tanpa diskusi yang cukup mendalam dengan masyarakat dan para ahli hukum. Menurut Yuliandre Darwis, pengamat hukum dan peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), "Pemerintah dan DPR seharusnya memberikan ruang lebih luas bagi publik untuk terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK. Tanpa itu, proses revisi ini hanya akan dianggap sebagai langkah yang tidak transparan dan politis."
KPK sebagai Instrumen Politik
Selain kekhawatiran mengenai pelemahan institusional, ada pula anggapan bahwa KPK kini berpotensi dijadikan sebagai alat politik untuk menggergaji lawan-lawan politik pemerintah. Kasus terbaru yang mendapat sorotan publik adalah penetapan Sekretaris Jenderal (Sekjend) PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pemilihan umum.
Penetapan ini disertai dengan banyak spekulasi mengenai adanya motif politik di balik keputusan penetapan tersebut. Banyak pihak menganggap bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka adalah bagian dari permainan politik yang bertujuan untuk melemahkan PDI-P, partai yang sampai hari ini belum bergabung dengan kabinet Prabowo-Gibran.
Menurut pengamat politik senior, Rocky Gerung, "Penyelidikan terhadap Hasto yang dilakukan oleh KPK tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik pasca pemilu. Ini adalah gambaran bagaimana hukum bisa dimanfaatkan untuk menekan lawan politik."
Melalui kasus ini semakin memperlihatkan bagaimana KPK bisa menjadi alat yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu, untuk mencapai tujuan politik. Penetapan Hasto sebagai tersangka juga memperlihatkan adanya hubungan antara politik dan hukum yang semakin sulit untuk dibedakan.
Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa KPK kini berada dalam pusaran politik praktis yang dapat mengarah pada polarisasi di tubuh partai politik. Menurut pengamat politik dari LIPI, Firman Manan, "KPK seharusnya tidak hanya bergerak berdasarkan keinginan politis, tetapi harus tegas dalam menegakkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan yang ada."
Dampak terhadap Pemberantasan Korupsi
Jikalau KPK terus menerus dipolitisasi dan dilemahkan seperti ini, dampaknya sangat serius terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai lembaga yang seharusnya bebas dari campur tangan politik, KPK kini terancam kehilangan kredibilitas dan efektivitasnya dalam mengungkap kasus-kasus besar.
Koruptor yang sebelumnya merasa terancam oleh tindakan tegas KPK kini dapat merasa lebih aman, selagi ia dekat dengan elit pemerintah atau penguasa. Karena mereka tahu bahwa lembaga yang seharusnya menjadi momok bagi praktik korupsi di Indonesia, kini berada di bawah tekanan politik yang kuat.
Dalam kondisi yang seperti ini, komitmen pemberantasan korupsi akan semakin sulit dilakukan. KPK yang semakin terikat oleh politik praktis hanya akan mempersulit penegakan hukum terhadap para koruptor kelas kakap. Keberanian pelaku korupsi dalam melakukan tindak pidana juga akan semakin besar, karena mereka merasa bahwa hukum tidak lagi berjalan tanpa kepentingan politik. Tentu ini akan mengarah pada semakin suburnya praktik korupsi yang selama ini telah merusak tatanan birokrasi di Indonesia.
Maka dimulai dari revisi UU KPK yang disahkan pada 2019, menjadi babak baru yang mencemaskan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Langkah-langkah yang diambil, seperti pembentukan Dewan Pengawas dan perubahan status pegawai KPK, justru dianggap lebih berpotensi melemahkan KPK daripada memperkuatnya.
Selain itu, politisasi hukum melalui penetapan tersangka terhadap tokoh politik seperti Hasto Kristiyanto semakin memperlihatkan bagaimana KPK bisa dimanfaatkan sebagai alat politik. Hal ini tentunya berisiko merusak integritas lembaga ini dan mengurangi kepercayaan publik terhadap keberpihakannya dalam pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi yang efektif hanya dapat terwujud jika KPK tetap memiliki kekuatan independen dan tidak terjerat dalam politik praktis. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk meninjau kembali revisi UU KPK, agar lembaga ini bisa bekerja sesuai dengan tugas utamanya tanpa adanya intervensi yang merusak tatanan kita berbangsa dan bernegara. (*)
***
*) Oleh : Bagaskara Dwy Pamungkas, Kabiro Advokasi, HAM, Riset dan Lingkungan PC PMII Jember 2022-2023.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |