TIMES MALANG, MALANG – Deklarasi Djuanda, yang dicanangkan pada 13 Desember 1957, adalah salah satu tonggak sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Melalui deklarasi ini, Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung utama antar pulau, bukan pemisah.
Prinsip ini tidak hanya relevan untuk mempertahankan kedaulatan, tetapi juga menjadi dasar untuk merancang strategi pembangunan nasional, termasuk dalam sektor pendidikan. Namun, tantangan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau sering kali menghadirkan hambatan serius dalam penyediaan pendidikan berkualitas.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyediakan pendidikan yang merata. Lebih dari 8.500 sekolah di pelosok tidak memiliki akses listrik, dan lebih dari 42.000 sekolah tidak terhubung dengan jaringan internet. Situasi ini lebih memprihatinkan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), di mana 71 persen sekolah tidak memiliki listrik, dan 83 persen tidak memiliki koneksi internet.
Selain itu, kekurangan tenaga pendidik menjadi masalah utama. Banyak guru harus menempuh perjalanan lebih dari 140kilometer untuk mencapai sekolah, yang sering kali berada di daerah dengan infrastruktur jalan yang minim. Tantangan ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan pendidikan konvensional sulit diterapkan di Indonesia, dan inovasi berbasis lokal sangat diperlukan.
Deklarasi Djuanda, yang berakar pada kesadaran akan keunikan geografis Indonesia, seharusnya menjadi jangkar untuk mendesain ulang sistem pendidikan nasional. Pendidikan yang relevan harus mampu menjawab kebutuhan spesifik masyarakat di wilayah kepulauan, termasuk mempertimbangkan distribusi sumber daya lokal.
Misalnya, teknologi berbasis energi terbarukan, seperti energi bayu dan surya, dapat digunakan untuk menyediakan listrik di sekolah-sekolah terpencil. Selain itu, pendekatan pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi, seperti pembelajaran daring dan blended learning, dapat menjangkau siswa di pulau-pulau kecil dan daerah pedalaman tanpa harus bergantung pada kehadiran fisik guru.
Salah satu solusi yang dapat diadopsi adalah pendekatan berbasis sumber daya lokal terdistribusi, sebagaimana diusulkan dalam buku Deklarasi Djuanda: Makna dan Implikasinya dalam Berteknologi dan Berindustri. Konsep ini menekankan pentingnya memanfaatkan potensi lokal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini dapat diterjemahkan ke dalam pengembangan bahan ajar yang relevan dengan budaya lokal dan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, sehingga siswa dapat belajar dengan cara yang sesuai dengan lingkungan mereka.
Selain itu, penting untuk membangun kolaborasi lintas sektor dalam menyediakan infrastruktur pendidikan. Listrik dan internet gratis untuk sekolah-sekolah di daerah terpencil harus menjadi prioritas nasional. Kolaborasi antara kementerian terkait, perguruan tinggi, dan pihak swasta dapat menjadi kunci keberhasilan.
Program perpustakaan keliling dan pusat belajar komunitas juga perlu diperkuat untuk menjangkau anak-anak yang tidak memiliki akses ke sekolah formal. Dengan cara ini, pendidikan tidak hanya menjadi hak istimewa bagi mereka yang tinggal di kota, tetapi juga hak dasar bagi semua warga negara, termasuk di wilayah 3T.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Student Faculty of Teacher Training and Education, English Education Department Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |