https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Dear Ramadhan: Sebuah Catatan Sang Pencinta

Senin, 18 Mei 2020 - 19:42
Dear Ramadhan: Sebuah Catatan Sang Pencinta Edi Sugianto, Dosen dan Kaprodi KPI Institut Agama Islam Al Ghurabaa Jakarta.

TIMES MALANG, JAKARTABila panggilanmu sudah terdengar,
semua menjadi terabaikan
Tak peduli apa yang terjadi,
siapa yang menanti
‘Ku tetap berlari menyambutmu dengan senyum
Dear Ramadhan…

Begitu kira-kira kaum beriman merindukan Ramadhan. Bulan istimewa yang hanya diberikan Allah Subhanahu wata’ala kepada orang-orang istimewa (ءَامَنُوا). Seberat apapun permintaan, bila Sang Kekasih yang menyerukan, semuanya menjadi indah, dan tanpa beban. Hai orang-orang (kekasih-Ku) yang beriman!

Puasa menjadi indah, membaca Al-Qur’an terasa menyenangkan. Shalat malam pun menjadi waktu ‘curhat’ yang enggan diabaikan.

Haus dan lapar bukanlah ujian terberat bagi mukmin sejati, melainkan kejujuran takwa yang menentukan kemurnian imannya. Mungkin saja seseorang ‘setia’ (bertakwa) saat Ramadan, tapi ketika Ramadan pergi ia justru ‘mendua’, atau ‘menomorduakan’ kepentingan agama (Allah) di atas kepentingan-kepentingan yang lain. Padahal “hakikatul ibadah ma ba’dal ibadah”. Hakikat ibadah sejatinya apa terjadi setelah ibadah itu usai.

Pertanyaannya. Sejauh mana kesetiaan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala? Apakah Shahadat sudah menjadi janji sehidup-semati? Ataukah hanya janji palsu/pemanis buatan sesaat? Ataukah takwa kita kepada-Nya sekadar momentum saja (saat Ramadhan)?

Kata (kalimat) “تَتَّقُونَ” di akhir surat Al-Baqarah: 183, merupakan fi’il mudhari’ yang berarti ‘sekarang dan akan datang’. Hal ini mengisyaratkan, bahwa nilai-nilai puasa Ramadhan semestinya dijaga secara konsisten, baik dalam Ramadhan, dan di luar bulan Ramadhan (11 bulan lainnya).  

Para ulama menjelaskan, bahwa takwa berarti ‘menghindari’. Pertama, menghindari kekufuran dengan jalan beriman. Kedua, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, menghindari segala hal yang melalaikan pikiran dari mengingat Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam Surat Al-Baqarah, ayat 1-5 dijelaskan, bahwa orang-orang yang bertakwa,  memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) beriman kepada yang ghaib, (2) mendirikan shalat, (3) menafkahkan sebagian rezkinya, (4) beriman kepada Al-Qur'an, dan Kitab-kitab sebelumnya, (6) serta yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 

Kata beriman “يُؤْمِنُونَ”, memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekedar ‘percaya’. Beriman, objeknya abstrak, dan suprarasional. Metodenya, latihan-latihan spiritual (ar-Riyadah ar-Ruhiyyah). Ukuran kebenarannya ditentukan oleh rasa, dan keyakinan masing-masing. 

Begitu pun dalam Ramadhan, perintah puasa hanya diindahkan ‘orang-orang’ yang yakin, bahwa puasa memiliki manfaat besar dalam kehidupan spiritualnya. Bagi mereka yang tidak yakin, atau hanya setengah keyakinannya, seperti sabda Rasulullah Sallahu alaihi wasallam.,“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapat (manfaat) dari puasanya kecuali lapar dan haus saja”. (H.R. At-Thabroni) 

Menurut etimologi, Ramadhan berasal dari kata Ramidha-yarmadhu, artinya membakar, menjadi terbakar. Atau juga berasal dari kata Ar-Ramdu artinya batu yang panas karena terik matahari.

Menurut Al-Qurthubi, disebut Ramadhan, karena bulan ini bisa ‘membakar’ dosa dengan amal shalih. (Al-Qurthubi, 2/291). Selain pembakaran dosa, juga bisa pembakaran toksin dalam badan, dan sebagainya. Nabi Sallahu alaihi wasallam. bersabda: “Bagi tiap sesuatu itu ada zakatnya (pembersihan), dan zakatnya badan adalah puasa”. (H.R. Ibnu Majah). “Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat”. (H.R. Ahmad).

Namun terkadang, makna Ramadhan seakan kontradiktif dengan fakta yang ada. Semua bisa melihat dengan mata telanjang. Bila Ramadhan datang, makanan apa yang tak ada? Sehingga, Ramadhan seakan bukan lagi bulan penuh ampunan, melainkan ‘bulan penuh makanan, dan belanja’. 

Menjelang lebaran, masjid-masjid semakin sepi. Sedangkan antrean panjang kian mengular di pasar dan mal-mal. Semua pakaian serba baru menjadi tujuan utama Ramadhan, harga mahal bukan masalah. 

Apakah ini nilai-nilai Ramadhan yang dirindukan? Saya kira bukan. Jika itu terus terjadi, lalu di mana makna Ramadhan sebagai tarbiyatul iradah; kontrol diri terhadap kemauan-kemauan yang berlebihan. 

Mencari harta untuk kebutuhan hidup memang bukan sesuatu yang ‘haram’, bahkan menjadi perintah dalam Islam (QS. Al-Qashas [28]: 77). Tapi, hidup semata-mata menghamba kepada harta (tujuan utama hidup) sama sekali bukan sifat mukmin sejati. (QS. Al-Fajr [89]:20)

Bahkan dalam sebuah hadist pun Nabi bersabda, mengenai kerakusan manusia terhadap harta: “Kerusakan pada sekawanan kambing akibat dua serigala lapar yang dilepaskan padanya, tidak lebih parah dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang akibat kerakusannya terhadap harta  dan kemuliaan”. (H.R. Tirmidzi, Ahmad)

Maka benar apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Bahwa orang yang berpuasa terbagi menjadi tiga level:

Pertama, puasa umum (shaumul umum). 


أَمَّا صَوْمُ الْعُمُومِ: فَهُوَ كَفُّ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ عَنْ قَضَاءِ الشَّهْوَةِ
 

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat”.

Maksudnya, puasa ini bisa dilakukan kebanyakan orang (awam), bahkan anak kecil sekalipun. Puasa ini disebut juga ‘puasa biasa’, yaitu sekedar menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa (hubungan suami istri), sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Jika ditinjau dari ilmu fiqih, puasanya sah secara lahiriah. 

Kedua, puasa khusus (shaumul khusus).

وَأَمَّا صَوْمُ الْخُصُوصِ فَهُوَ كَفُّ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَاللِّسَانِ وَالْيَدِ وَالرِّجْلِ وَسَائِرِ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa”.

Level puasa ini lebih tinggi dari puasa awam. Selain menahan lapar, haus, dan hubungan suami istri, orang yang berpuasa juga menyingkirkan diri dari ucapan, penglihatan, dan perbuatan yang tidak baik, kurang pantas, dan sia-sia. (lihat QS. An-Nur [24]: 30-31, QS. Al-Maidah [5]: 42, Ali Imran [3]: 133-135). 

Ketiga, puasa paling khusus (khususil khusus). 

وَأَمَّا صَوْمُ خُصُوصِ الْخُصُوصِ: فَصَوْمُ الْقَلْبِ عَنِ الْهِمَمِ الدَّنِيَّةِ وَالْأَفْكَارِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَكَفُّهُ عَمَّا سِوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِالْكُلِّيَّةِ

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi, serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah Subhanahu wata’ala semata.” 

Puasa ini mencapai derajat tertinggi, mumtaz (istimewa), yaitu puasa khusus yang ditambah lagi dengan puasa hati; menghindar dari pikiran, dan khayalan yang bisa memalingkan diri dari zikir kepada Allah. Setiap hembus nafas hanyalah zikir, zikir, dan zikir (QS. Al-Baqarah [2]: 152, QS. Al-Ankabut [29]: 45, QS. Thaha [20]: 14, QS. Al-Baqarah [2]: 45-46).  

Dear Ramadhan, semoga kali ini menjadi momentum terbaikku bersamamu, dan kubawa pulang sebagai bukti cinta teragung di hadapan Saksi Robbul A’lamien.

***

*) Oleh: Edi Sugianto, Dosen dan Kaprodi KPI Institut Agama Islam Al Ghurabaa Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_________
*)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.