TIMES MALANG, JAKARTA – Kebijakan Zonasi Pendidikan yang dihadirkan pemerintah bertujuan untuk meratakan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tujuan ideal ini tentu patut dihargai, namun implementasinya justru memunculkan berbagai masalah di lapangan yang menuntut perhatian serius.
Banyaknya keluhan dari para guru, orang tua, dan lembaga pendidikan, terutama terkait dengan penurunan jumlah siswa di beberapa sekolah, menunjukkan adanya ketidaksempurnaan dalam kebijakan ini. Di satu sisi, zonasi bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendidikan, tetapi di sisi lain, realitas yang muncul justru memperlihatkan kompleksitas yang lebih mendalam.
Salah satu dampak langsung dari kebijakan zonasi adalah turunnya jumlah siswa di beberapa sekolah tertentu. Hal ini terjadi terutama di sekolah-sekolah yang selama ini memiliki reputasi baik atau berkualitas tinggi. Dengan diterapkannya sistem zonasi yang membatasi penerimaan siswa hanya dari wilayah tertentu.
Banyak orang tua yang sebelumnya memilih sekolah tersebut terpaksa harus memilih sekolah lain yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka, meskipun kualitasnya mungkin tidak sebaik sekolah yang sebelumnya mereka pilih. Kondisi ini jelas memberikan dampak terhadap perkembangan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah tersebut.
Selain itu, dampak negatif lainnya adalah menurunnya semangat dan motivasi para guru di sekolah-sekolah yang jumlah siswanya berkurang. Kurangnya siswa di satu sekolah bisa berakibat pada berkurangnya anggaran operasional yang diterima sekolah tersebut. Hal ini berimbas pada kurangnya fasilitas dan sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk pengajaran yang lebih baik.
Para guru yang seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan, justru terpaksa mengelola masalah administratif dan kekurangan fasilitas. Ini tentu bertentangan dengan tujuan awal kebijakan zonasi yang ingin meningkatkan kualitas pendidikan secara merata.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan zonasi juga menghadirkan permasalahan dalam hal ketimpangan antar daerah. Di daerah perkotaan yang padat penduduk, sekolah-sekolah dengan reputasi baik justru semakin sulit dijangkau oleh sebagian orang tua.
Meskipun terdapat sekolah-sekolah yang lebih baik di wilayah yang lebih jauh, jarak dan biaya transportasi menjadi kendala bagi sebagian orang tua. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam distribusi pendidikan berkualitas, yang seharusnya menjadi tujuan utama kebijakan ini.
Di sisi lain, kebijakan zonasi ini juga memperlihatkan bahwa sistem pendidikan kita belum mampu menanggulangi perbedaan kualitas pendidikan antar wilayah. Meski kebijakan ini dirancang untuk meratakan kualitas pendidikan, namun kenyataannya, banyak daerah yang masih kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kebijakan zonasi yang efektif, dibutuhkan investasi lebih besar dalam pengembangan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan kualitas tenaga pendidik, khususnya di daerah-daerah yang masih tertinggal.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kebijakan zonasi ini bisa memunculkan pola diskriminasi terselubung. Banyak orang tua yang merasa bahwa anak mereka tidak mendapatkan kesempatan yang adil untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik karena terhalang oleh batasan wilayah.
Hal ini bisa memperburuk kesenjangan sosial yang ada, karena mereka yang tinggal di wilayah yang kurang berkembang akan semakin terpinggirkan dari kesempatan pendidikan yang berkualitas. Kebijakan ini tidak hanya mengabaikan keberagaman kebutuhan dan harapan masyarakat, tetapi juga mengabaikan kenyataan bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan terbaik tanpa terhalang oleh batasan geografis.
Dalam perspektif yang lebih luas, kebijakan ini seharusnya lebih memperhatikan keberagaman karakteristik setiap daerah. Di banyak daerah, akses ke pendidikan yang berkualitas masih menjadi masalah besar, dan kebijakan zonasi semestinya dapat memperhatikan perbedaan tersebut.
Sebagai contoh, kebijakan ini seharusnya memberikan insentif atau dukungan lebih bagi sekolah-sekolah di daerah tertinggal agar dapat bersaing dengan sekolah-sekolah yang lebih maju secara kualitas. Tanpa itu, kebijakan ini justru bisa memperburuk ketimpangan yang ada di sistem pendidikan kita.
Kebijakan ini juga memunculkan tantangan baru bagi lembaga pendidikan swasta. Dengan adanya zonasi, banyak siswa yang sebelumnya memilih sekolah swasta yang memiliki kualitas lebih tinggi, sekarang terpaksa beralih ke sekolah negeri yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini membuat lembaga pendidikan swasta kehilangan potensi siswa, yang pada gilirannya memengaruhi pendapatan dan kelangsungan hidup sekolah-sekolah tersebut.
Lembaga pendidikan swasta yang telah memiliki standar tinggi dan fasilitas lengkap kini harus berjuang mempertahankan eksistensinya. Sementara sekolah-sekolah negeri yang jaraknya lebih dekat dengan rumah justru mendapat lebih banyak siswa meskipun kualitasnya tidak sebanding.
Selain itu, sistem zonasi juga memberikan dampak terhadap para guru yang merasa dipaksa untuk menerima siswa yang tidak memiliki minat atau kemampuan yang sesuai dengan sekolah tersebut. Para guru yang selama ini terbiasa mengajar siswa-siswa berkualitas tinggi atau memiliki minat khusus, kini harus menghadapi tantangan baru dalam mengelola keberagaman siswa yang masuk ke sekolah mereka. Hal ini tentu menyulitkan mereka dalam merancang metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan siswa yang lebih heterogen.
Melihat berbagai masalah ini, penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan zonasi pendidikan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan fleksibilitas lebih besar dalam penerimaan siswa di sekolah-sekolah yang memiliki kualitas unggul, sambil tetap menjaga prinsip pemerataan.
Kebijakan zonasi harus disertai dengan upaya lain untuk memperbaiki kualitas pendidikan di seluruh wilayah, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Hanya dengan cara ini, kebijakan zonasi pendidikan dapat benar-benar mencapai tujuannya dalam mewujudkan pemerataan pendidikan yang berkualitas di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, kebijakan zonasi pendidikan memang merupakan langkah positif untuk meratakan akses pendidikan. Namun, pelaksanaannya harus disertai dengan perhatian lebih terhadap kondisi dan kebutuhan setiap daerah. Tidak ada satu kebijakan pun yang bisa dianggap sempurna tanpa adanya penyesuaian dengan realitas di lapangan.
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat diperlukan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan lebih baik dan memberikan manfaat yang nyata bagi seluruh anak bangsa.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |