TIMES MALANG, MALANG – Di tengah hiruk-pikuk zaman yang berlari kencang, ketika banyak orang memilih diam dalam kenyamanan dan lupa pada arti perjuangan, muncul sosok Ferry Hamid-sederhana dalam tutur, tapi menyala dalam laku. Namanya mungkin tak sering terpampang di layar kaca, namun jejaknya tertanam kuat di hati mereka yang pernah disentuh oleh kebaikan dan semangatnya.
Di usia 52 tahun, ia bukan hanya menginjak waktu, tapi menghidupi setiap detik dengan penuh makna. Dan uniknya, ulang tahunnya jatuh tepat di tanggal 20 Mei-hari yang bangsa ini tetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Sebuah kebetulan yang seolah telah ditulis takdir sebagai simbol dari perjalanan hidupnya: bangkit, berjuang, dan memberi harapan.
Ferry bukanlah tokoh yang muncul dari panggung instan. Ia lahir dari lorong-lorong keterbatasan yang menguji iman dan kesabaran. Jalan hidupnya tak pernah mulus, penuh tanjakan dan jurang ketidakpastian. Namun justru dari sanalah ia menempa diri menjadi pribadi yang tak mudah menyerah.
Ia bukan pahlawan dengan pedang di tangan, tapi pejuang sunyi yang mengubah luka menjadi cahaya, dan kegagalan menjadi pijakan. Dalam dirinya mengalir darah kebangkitan yang tak bisa dikalahkan oleh waktu ataupun sistem.
Hari Kebangkitan Nasional yang setiap tahun diperingati sebagai momentum kolektif bangsa, bagi Ferry adalah refleksi pribadi yang mendalam. Ia menyebutnya sebagai "hari untuk menegakkan kepala, meski pundak terasa runtuh."
Baginya, kebangkitan bukan hanya narasi sejarah, tapi sikap hidup yang harus terus diperjuangkan: dalam keluarga, dalam kerja sosial, dalam ekonomi, bahkan dalam diam. Kebangkitan adalah keberanian untuk melangkah, meski langkah itu hanya sejengkal; keberanian untuk peduli, meski tak ada yang memuji.
Dan pada usia ke-52 ini, Ferry Hamid datang bukan untuk meminta tepuk tangan, tapi ingin menyampaikan satu pesan penting: bahwa hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tahan dalam berjalan.
Ia ingin menjadikan ulang tahunnya bukan sebagai perayaan pribadi, tapi sebagai kado makna untuk anak-anak muda, untuk para pekerja senyap, untuk mereka yang nyaris menyerah. Karena Ferry percaya, selama semangat itu masih hidup di hati siapapun, maka kebangkitan akan terus menemukan jalannya.
Dari Keterbatasan Lahir Ketangguhan
Setiap tokoh besar selalu punya kisah sunyi yang tidak terlihat mata. Begitu pula Ferry Hamid. Sebelum dikenal sebagai sosok inspiratif yang kerap menjadi rujukan dalam gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat, ia hanyalah anak kampung yang lahir dari rahim keterbatasan.
Rumah kayu yang nyaris rebah saat dihantam angin menjadi saksi bisu tumbuhnya cita-cita yang terlalu besar untuk ditampung oleh desa kecil tempat ia dilahirkan. Ia tumbuh dengan seribu kekurangan, namun justru dari situ semangatnya menyala seperti api di tengah gelap.
Pendidikan formal tak selalu bersahabat. Ferry kecil harus berbagi waktu antara belajar dan membantu orang tuanya bekerja. Ia lakukan dengan ikhlas. Tapi satu hal yang tak pernah ia tanggalkan adalah buku. Ia percaya, ketika tangan tidak bisa menggenggam harta, maka isi kepala harus dipenuhi ilmu. Dari buku-buku bekas yang dikumpulkan, dari diskusi-diskusi liar di emperan warung kopi, Ferry membangun intelektualitasnya dengan cara yang tak lazim namun berdaya.
Langkah awal kariernya pun dimulai dari bawah. Sangat bawah. Ia bukan lulusan luar negeri atau anak dari dinasti pengusaha. Ia memulai semuanya dari titik nol. Bagi Ferry, semua itu adalah kampus kehidupan. Di setiap tempat, ia belajar bukan hanya keterampilan teknis, tapi juga memahami karakter manusia dan membangun jejaring sosial. Ia percaya bahwa setiap pertemuan punya nilai, dan setiap pengalaman adalah guru.
Ketika orang lain melangkah dengan modal besar, Ferry melangkah dengan keyakinan. Ketika orang lain membeli sukses, ia menabung kesabaran. Satu demi satu pintu terbuka, bukan karena keberuntungan, tetapi karena ketekunan yang tak mengenal kata berhenti.
Ia membuktikan bahwa untuk menjadi berarti, seseorang tak perlu datang dari keluarga berada, cukup memiliki keberanian untuk tetap berjalan saat yang lain memilih menyerah. Ia adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bukan akhir, melainkan pangkal dari daya tahan dan ketangguhan.
Kini, ketika orang memandang Ferry sebagai figur yang sukses dan dihormati, ia tak pernah lupa pada akar hidupnya. Setiap kali menoleh ke belakang, ia tak melihat penderitaan, melainkan sekolah kehidupan yang membentuknya menjadi pribadi seperti sekarang.
Dan dari sanalah muncul keyakinan Ferry yang paling mendasar: “Orang boleh tidak punya apa-apa, tapi tidak boleh kehilangan harapan.” Karena bagi Ferry, harapan adalah satu-satunya warisan yang bisa menyelamatkan anak manusia dari gelombang zaman yang keras.
Spirit Perjuangan: Ketika Hidup Menjadi Arena Pembuktian
Di zaman ketika banyak orang berjalan mengikuti arah angin, Ferry Hamid memilih melawan arus. Ia percaya bahwa hidup tidak sekadar rutinitas, melainkan medan tempur nilai. Baginya, setiap langkah harus mengandung keberanian untuk berdiri tegak di tengah keraguan, untuk berkata “tidak” pada ketidakadilan, dan untuk tetap melangkah meski sepi dukungan.
Ferry tidak menunggu perubahan datang dari atas. Ia justru turun ke bawah, ke tanah yang becek, ke ruang-ruang sunyi, di mana jeritan rakyat sering diabaikan. Di sanalah semangat perjuangannya lahir dan tumbuh, seperti pohon yang akarnya tertanam kuat dalam tanah penderitaan.
Ferry Hamid memandang perjuangan bukan sebagai agenda politik atau karier pribadi, melainkan sebagai tanggung jawab moral yang tak bisa diabaikan. Dalam catatan hidupnya, ia pernah ditolak, dikhianati, bahkan dianggap “terlalu idealis” oleh kawan seperjuangan sendiri.
Namun semua itu tidak pernah memadamkan kobaran jiwanya. Justru dari luka-luka itulah, ia menempa prinsip. Bahwa pejuang sejati bukan yang tak pernah jatuh, melainkan yang tetap tegak meski hatinya remuk. Ia tidak pernah menyesali jalan sunyi yang dipilihnya, karena dari sanalah makna sejati perjuangan menjadi terang.
Gerak langkah Ferry tidak dibangun dengan kekuatan massa, tapi dengan ketulusan yang mengalir dari hati. Ia tahu, dunia ini lebih sering memuja penampilan daripada kejujuran, lebih sering merayakan yang ramai daripada yang benar. Namun Ferry tetap kukuh memelihara integritas.
Dalam berbagai aksi sosial, pendampingan petani, advokasi pendidikan, atau gerakan ekonomi rakyat-ia hadir bukan sebagai tokoh utama yang ingin difoto, tapi sebagai pelayan yang ingin mendengar dan menyentuh langsung denyut kehidupan. Ia hadir untuk membantu, bukan untuk dilihat.
Spirit perjuangannya menjadi oase di tengah padang kemunafikan. Ia tidak berbicara lantang di podium, tapi membisikkan harapan di telinga mereka yang tertindas. Ia tidak menulis slogan di spanduk, tapi menulis kasih dalam tindakan nyata.
Ketika banyak orang berlomba mencari panggung, Ferry justru sibuk membangun fondasi. Baginya, lebih baik menjadi fondasi yang tak terlihat tapi menopang segalanya, daripada menjadi atap yang megah tapi rapuh saat diterpa badai.
Ketangguhan Ferry bukan berasal dari kekuasaan, melainkan dari keberpihakan yang tak pernah goyah. Ia berpihak pada yang kecil, yang sunyi, yang tak mampu bersuara. Dalam dunia yang semakin keras dan egois, kehadiran Ferry adalah napas panjang dari perjuangan kemanusiaan. Ia bukan hanya bergerak, tapi menggerakkan. Ia bukan hanya peduli, tapi membangkitkan. Ia adalah ruh dari semangat gotong royong yang kini mulai digerus zaman.
Dan ketika ditanya mengapa ia terus berjuang tanpa pamrih, Ferry hanya menjawab dengan lirih, “Karena aku tidak bisa tidur nyenyak saat tahu ada tetanggaku yang kelaparan. Karena aku tidak bisa menertawakan dunia ketika di sudutnya masih banyak yang menangis.”
Kalimat itu bukan sekadar ungkapan puitis, tapi kompas moral yang menuntunnya sepanjang jalan. Dalam Ferry Hamid, kita belajar satu hal penting: bahwa perjuangan bukan hanya milik para pahlawan dalam buku sejarah, tapi milik siapa saja yang berani hidup dengan nurani.
Bekerja Bukan Untuk Dikenang, Tapi Untuk Memberi Makna
Tidak semua orang bekerja dengan tujuan yang sama. Ada yang mengejar nama, ada yang mencari kuasa, dan ada pula yang sekadar menggugurkan kewajiban. Tapi Ferry Hamid berada di jalur yang berbeda. Ia bekerja bukan untuk dikenang, tapi untuk memberi makna.
Ia tidak pernah terobsesi pada popularitas atau jabatan. Yang ia kejar adalah kebermanfaatan. Ia ingin ketika suatu hari jasadnya telah hilang ditelan bumi, jejak langkahnya masih bisa dirasakan dalam denyut nadi kehidupan orang-orang kecil yang pernah disentuhnya.
Apa yang memotivasi seorang Ferry Hamid bukanlah sanjungan, melainkan kegelisahan. Ia gelisah melihat orang miskin harus meminta-minta, anak putus sekolah karena biaya, atau pemuda yang kehilangan arah karena kurangnya akses. Kegelisahan itu bukan membuatnya mengeluh, tapi membuatnya bergerak.
Ia memilih turun tangan, bukan angkat tangan. Setiap pagi ia bangun bukan hanya karena panggilan pekerjaan, tapi karena panggilan kemanusiaan. Itulah mengapa ia tak pernah kehabisan semangat-karena ia tidak digerakkan oleh dunia luar, tapi oleh suara nurani dari dalam.
Motivasinya ibarat mata air yang tak pernah kering. Ia mengambil peran-peran kecil yang sering diabaikan orang, namun dampaknya terasa jauh lebih besar. Di saat banyak orang berpikir soal proyek miliaran dan jabatan strategis, Ferry sibuk memikirkan bagaimana caranya menambah satu lapangan kerja lagi untuk anak muda di kampung. Di saat banyak bicara tentang ‘pembangunan’, Ferry memastikan bahwa pembangunan itu tidak sekadar beton dan aspal, tapi juga menyentuh hati, martabat, dan harapan manusia.
Ada banyak orang yang punya kemampuan. Tapi tidak semua orang punya kepedulian. Dan di situlah Ferry menambatkan dirinya—pada semangat untuk peduli, tanpa pamrih. Ia tidak menunggu momen besar, tidak menunggu panggilan lembaga, tidak menunggu applause. Ia bergerak saat diperlukan, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Karena bagi Ferry, yang sejati tidak harus terlihat, dan yang tulus tak perlu diumumkan.
Motivasi Ferry Hamid tak lahir dari keinginan menjadi istimewa. Justru ia ingin menjadi biasa yang berguna. Ia tahu, dunia ini seringkali mengabaikan yang senyap, dan menyanjung yang ramai. Maka ia tidak bersaing dalam sorotan, tapi dalam ketulusan.
Ia tidak tertarik menapaki karpet merah, lebih memilih berjalan di lorong-lorong sempit di kampung-kampung, di sekolah pinggiran, di ladang petani, di ruang-ruang kecil tempat orang-orang besar bermimpi.
Dan ketika orang bertanya, “Mengapa terus memberi, padahal tidak semua orang tahu apa yang kau lakukan?”, Ferry hanya tersenyum dan menjawab, “Aku tidak sedang membangun nama, aku sedang menanam amal.”
Kalimat itu mungkin sederhana, tapi menyimpan kedalaman filosofi yang luar biasa. Ia percaya, bahwa hidup yang paling indah adalah hidup yang diam-diam mengangkat derajat orang lain. Bukan dengan sorak-sorai, tapi dengan tindakan nyata yang menyentuh dan bertahan.
Dari Nol Menuju Mandiri
Tidak banyak yang tahu bahwa Ferry Hamid pernah memulai segalanya dari titik nol. Bukan nol biasa, tapi nol yang sunyi dan sepi-tanpa harta, tanpa koneksi, hanya berbekal keyakinan dan keberanian untuk bangkit.
Di saat orang lain sibuk mengejar kenyamanan dari pekerjaan mapan, Ferry memilih jalan penuh duri: membangun dari bawah, menyusun pondasi sendiri, mengelola usaha kecil yang kadang diremehkan orang. Namun dari titik nol itulah, ia menulis cerita besar tentang kemandirian ekonomi.
Perjalanan Ferry bukan tanpa rintangan. Ia pernah jatuh bangkrut, digulung utang, dikhianati rekan bisnis, bahkan ditertawakan karena idenya yang dinilai “tidak masuk akal.” Tapi dalam kamus Ferry Hamid, kegagalan bukan akhir.
Ia menjadikannya batu loncatan, bukan batu sandungan. Setiap kegagalan adalah ruang belajar. Setiap kerugian adalah ladang perenungan. Dan setiap luka finansial justru membuatnya lebih kuat dan matang. Ia bukan hanya membangun usaha, tapi membangun karakter.
Lambat laun, Ferry menemukan pola: bahwa kunci ekonomi bukan pada besarnya modal, tapi pada keberanian mencoba dan kemampuan mengelola. Ia mulai memberdayakan masyarakat sekitar. Dan dari situ, perlahan tapi pasti, lahirlah ekosistem mandiri yang menghidupi, bukan sekadar menggaji.
Yang membuat ekonomi Ferry berbeda adalah jiwa kolektif yang menyertainya. Ia tidak serakah. Baginya, keuntungan sejati bukan ketika laba menumpuk di satu tangan, tapi ketika manfaat tersebar ke banyak keluarga. Ia memutus lingkaran ketergantungan dan menciptakan rantai nilai yang adil.
Ferry tidak sekadar mendirikan usaha, ia menciptakan ruang pemberdayaan. Tidak heran jika banyak pemuda yang menjadikannya mentor, banyak warga kecil yang menyebutnya sebagai “penyambung hidup.”
Kini, dari usaha yang dulu kecil dan dipandang sebelah mata, Ferry Hamid telah menjadi inspirasi. Namun ia tak berubah. Ia tetap sederhana, tetap rendah hati, tetap hadir di tengah masyarakat. Bahkan ketika usahanya mulai berkembang, ia tidak sibuk memperkaya diri. Bagi Ferry, kaya bukan ketika kita memiliki segalanya, tapi ketika kita bisa membuat orang lain merasa cukup.
Dalam dunia di mana uang sering menjadi ukuran segalanya, Ferry Hamid menghadirkan wajah ekonomi yang penuh nurani. Ia membuktikan bahwa ekonomi bukan hanya soal angka, tapi soal nilai.
Ia menanamkan satu prinsip yang tak lekang oleh waktu: “Berbisnislah dengan hati, karena keuntungan sejati adalah ketika kita meninggalkan jejak kebaikan, bukan hanya jejak kekayaan.” Dan hari ini, jejak itu bisa kita temui di banyak tempat, di banyak senyum yang kembali merekah, di banyak hidup yang kembali bergairah.
Sebuah Kado Ulang Tahun: Untuk Negeri, Untuk Anak Bangsa
Di ulang tahunnya yang ke-52 ini, Ferry Hamid tak meminta pesta megah atau ucapan bombastis. Yang ia inginkan sederhana: “biarkan kisah ini menjadi nyala kecil bagi mereka yang sedang gelap, biarkan jejak ini menjadi arah bagi mereka yang sedang bingung arah”.
“Kalau hidupku bisa jadi pelajaran, maka biarlah aku terus berjalan. Bukan untuk disanjung, tapi agar mereka yang tertatih bisa melihat: bahwa bangkit itu mungkin. Bahwa hidup, tak pernah benar-benar selesai, sebelum kita memberi makna,” tuturnya.
Di tengah arus pragmatisme yang makin merajalela, Ferry Hamid adalah monumen kesadaran bahwa hidup masih bisa dijalani dengan keberanian, kejujuran, dan ketulusan. Ia adalah sosok yang patut dikenang bukan hanya karena siapa dirinya, tapi karena apa yang telah ia berikan.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |