TIMES MALANG, MALANG – Ratusan perempuan dari berbagai komunitas budaya dan seni memeriahkan Parade Berkebaya dan Berkain Wastra yang digelar di Malang Town Square (Matos), Selasa (23/12/2025). Kegiatan ini menjadi bagian dari peringatan Hari Ibu 2025 sekaligus ruang ekspresi kreativitas perempuan dalam merawat budaya Nusantara.
Dengan mengenakan kebaya dan kain wastra beragam gaya, para peserta tampil meliak-liuk di atas panggung catwalk. Tidak hanya menampilkan pakem tradisional, parade ini juga memberi ruang pada interpretasi modern, mulai dari peserta berhijab, gaya nonpakem, hingga sentuhan busana kontemporer yang tetap berpijak pada unsur budaya.
Marcomm Manager Matos, Sasmita Rahayu, mengatakan kegiatan ini digelar untuk mengangkat makna Hari Ibu melalui pendekatan budaya yang inklusif dan meriah. Acara tersebut terselenggara atas kolaborasi Matos dengan Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) Cabang Malang Raya.
“Ini dalam rangka peringatan Hari Ibu. Momen ini penting untuk kita angkat. Kami bekerja sama dengan KCBI Malang Raya untuk mengumpulkan massa dari berbagai komunitas, khususnya komunitas wanita dan pecinta seni budaya,” kata Sasmita.
Ia menjelaskan, sedikitnya 16 komunitas terlibat dalam kegiatan ini, mulai dari komunitas pecinta kain dan kebaya, pecinta sanggul, angklung, hingga organisasi perempuan seperti IWAPI dan KKI. Total peserta yang terlibat mencapai sekitar 250 orang.
Menurut Sasmita, parade berkebaya dan berkain tidak dipakemkan secara ketat agar setiap peserta bisa menampilkan kreativitas masing-masing. Dari parade tersebut, panitia memilih 10 penampilan terbaik berdasarkan keserasian busana, keluwesan berjalan, serta kekuatan visual penampilan.
“Di sini tidak dipakemkan. Ada yang pakai jarit pakem, ada yang nonpakem, ada yang berhijab. Sanggulnya juga bermacam-macam. Yang penting mereka nyaman dan percaya diri,” ujarnya.
Selain parade busana, rangkaian acara juga diisi dengan pertunjukan seni, salah satunya Nusantara Menari yang menampilkan tarian daerah dari Sabang hingga Merauke. Menariknya, penari dalam segmen ini seluruhnya merupakan ibu-ibu.
“Mereka keren. Tarian-tariannya luwes dan penuh energi,” kata Sasmita.
Acara juga dimeriahkan oleh penampilan generasi muda, seperti tarian bantengan modern dari komunitas Athena Flame, yang memperlihatkan pertemuan tradisi dan kreativitas masa kini.
Sementara itu, Ketua KCBI Malang Raya, Siska Sayekti, menuturkan kegiatan ini menjadi ruang temu lintas komunitas budaya dan seni di Malang Raya. Menurutnya, parade kebaya dan kain bukan semata ajang fashion show, melainkan sarana memperkuat jejaring dan solidaritas antar komunitas.
“Kami memberikan kesempatan kepada komunitas untuk mengisi acara. Ada tarian, lagu, hingga fashion show. Parade kebaya ini menjadi sarana untuk mengumpulkan semua komunitas agar bisa saling mendukung dan bekerja sama,” ujar Siska.
Ia menambahkan, KCBI secara aktif mengajak perempuan dan laki-laki untuk mengenakan kain dalam aktivitas sehari-hari, baik untuk acara formal maupun nonformal.
“
Kain bisa dipakai untuk berbagai kesempatan. Tidak harus selalu kebaya. Bisa disesuaikan dengan kegiatan, bahkan dipadukan dengan kaos untuk acara santai,” jelasnya.
Terkait tren penggunaan kebaya dan kain di Kota Malang, Siska menilai kesadaran masyarakat mulai meningkat. Ia kerap menjumpai penggunaan kebaya dan kain dalam berbagai undangan dan acara resmi.
“Sekarang sudah mulai banyak. Mudah-mudahan lewat peringatan Hari Ibu ini, para ibu bisa menularkan kecintaan pada budaya kepada anak cucunya,” pungkasnya. (*)
| Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |