https://malang.times.co.id/
Opini

Nasionalisme yang Berjalan Kaki

Selasa, 23 Desember 2025 - 19:19
Nasionalisme yang Berjalan Kaki Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Setiap upacara bendera, lagu kebangsaan dinyanyikan dengan penuh khidmat. Di buku pelajaran, nasionalisme diajarkan sebagai cinta tanah air, pengorbanan, dan kebanggaan menjadi bagian dari bangsa. 

Namun di banyak daerah terpencil dan pinggiran, nasionalisme tidak hanya dihafalkan ia dijalani dengan tubuh dan tenaga. Ia berjalan kaki, menyeberang sungai, melewati jalan berlumpur, dan menantang cuaca demi sebuah ruang bernama sekolah.

Bagi sebagian siswa di daerah pinggiran, berangkat sekolah bukan rutinitas sederhana. Perjalanan bisa memakan waktu berjam-jam, melalui jalan setapak yang rusak, jembatan darurat, atau perahu kecil yang bergantung pada pasang surut. Ketika hujan datang, akses terputus. Ketika musim kemarau, debu dan panas menguji daya tahan. Namun di tengah keterbatasan itu, semangat belajar tetap menyala.

Ironisnya, negara sering memaknai nasionalisme secara seremonial, sementara praktik keseharian siswa di daerah terpencil justru menunjukkan makna nasionalisme yang paling nyata. Mereka tidak hanya mencintai tanah air, mereka berjuang di atasnya. Pertanyaannya, sejauh mana negara hadir membalas pengorbanan itu?

Setibanya di sekolah, tantangan belum berakhir. Banyak bangunan sekolah berdiri dalam kondisi memprihatinkan: dinding retak, atap bocor, lantai tanah, dan ruang kelas yang minim pencahayaan. 

Fasilitas dasar seperti toilet layak, air bersih, dan listrik masih menjadi kemewahan. Di beberapa tempat, buku pelajaran terbatas, laboratorium hanya nama, dan perpustakaan sekadar lemari berdebu.

Ketimpangan ini bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi soal keadilan. Ketika siswa di perkotaan menikmati ruang kelas nyaman, internet cepat, dan fasilitas penunjang belajar, siswa di pinggiran dipaksa bertahan dengan apa adanya. Mereka dituntut memiliki daya saing yang sama, tetapi berangkat dari garis start yang jauh berbeda.

Guru di daerah terpencil pun berada dalam posisi dilematis. Dedikasi tinggi sering kali tidak sebanding dengan dukungan yang diterima. Akses pelatihan terbatas, insentif tidak selalu memadai, dan beban administratif tetap menumpuk. 

Banyak guru harus merangkap peran: pengajar, tenaga administrasi, bahkan penjaga sekolah. Namun dari merekalah nasionalisme itu diajarkan, bukan dengan retorika, melainkan dengan keteladanan.

Lebih menyedihkan lagi, teknologi yang digadang-gadang sebagai solusi ketimpangan justru memperlebar jurang. Pembelajaran digital sulit diterapkan ketika jaringan internet tidak stabil atau bahkan tidak tersedia. 

Program pendidikan berbasis teknologi sering dirancang dari perspektif kota, tanpa memahami realitas geografis pinggiran. Akibatnya, siswa di daerah terpencil kembali tertinggal dalam perlombaan yang tidak adil.

Di sinilah jerit nasionalisme itu terdengar lirih. Siswa diminta mencintai negara, tetapi negara belum sepenuhnya mencintai mereka. Kurikulum menuntut capaian yang seragam, sementara fasilitas dan akses sangat timpang. Nasionalisme seolah menjadi kewajiban sepihak: rakyat diminta setia, negara belum tentu hadir.

Padahal, pendidikan adalah wajah paling jujur dari komitmen kebangsaan. Negara yang serius membangun nasionalisme seharusnya memulai dari memastikan setiap anak, di mana pun ia lahir, memiliki akses pendidikan yang layak. Bukan sekadar gedung berdiri, tetapi lingkungan belajar yang manusiawi.

Nasionalisme siswa di daerah terpencil adalah modal sosial yang luar biasa. Mereka memiliki daya juang, disiplin, dan ketangguhan yang tidak mudah ditemukan. Namun jika semangat itu terus diuji tanpa dukungan, ia bisa berubah menjadi kelelahan, bahkan apatisme. Ketika mimpi terasa terlalu jauh, cinta tanah air bisa berubah menjadi rasa ditinggalkan.

Sudah saatnya pembangunan pendidikan tidak lagi berpusat pada angka dan laporan. Akses perjalanan, kondisi sekolah, dan kesejahteraan guru harus menjadi indikator utama keberhasilan. Membangun sekolah di daerah terpencil bukan proyek belas kasihan, tetapi kewajiban konstitusional.

Nasionalisme tidak lahir dari slogan, tetapi dari keadilan. Selama siswa di pinggiran harus mempertaruhkan keselamatan demi belajar, selama fasilitas sekolah masih jauh dari layak, selama guru berjuang sendiri tanpa dukungan memadai, maka nasionalisme kita sedang diuji.

Dan jika negara gagal menjawab jerit sunyi itu, maka yang retak bukan hanya dinding sekolah, tetapi juga rasa percaya generasi muda terhadap bangsanya sendiri.

 

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.