TIMES MALANG, MALANG – Generasi anak hari ini tumbuh dalam lanskap yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Jika dulu masa kanak-kanak diisi oleh permainan fisik, interaksi sosial langsung, dan proses mengenali dunia secara bertahap, kini sebagian besar pengalaman itu berpindah ke layar. Media sosial tidak lagi menjadi ruang hiburan tambahan, melainkan ruang utama pembentukan identitas, emosi, dan cara berpikir anak.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi perubahan psikologis yang mendalam. Anak-anak belum memiliki kematangan emosi dan nalar kritis yang cukup untuk menyaring arus informasi yang datang tanpa henti. Namun pada saat yang sama, mereka dipaksa berhadapan dengan standar sosial yang keras: popularitas, validasi, penilaian publik, dan perbandingan tanpa akhir.
Media sosial bekerja dengan logika algoritma, bukan logika perkembangan anak. Konten diproduksi untuk menarik perhatian, memicu emosi, dan memperpanjang durasi interaksi. Dalam proses itu, rasa senang, sedih, marah, bahkan harga diri anak, perlahan dikendalikan oleh jumlah “like”, komentar, dan tayangan. Psikologi anak dibentuk oleh respons digital, bukan oleh relasi nyata.
Kecenderungan ini melahirkan paradoks. Anak terlihat lebih terhubung, tetapi secara emosional justru semakin rapuh. Mereka cepat merasa cemas ketika tidak mendapat respons, mudah merasa tidak cukup baik ketika membandingkan diri dengan citra sempurna di layar, dan kehilangan kemampuan menikmati proses tanpa pengakuan publik. Rasa percaya diri berubah menjadi ketergantungan pada validasi eksternal.
Lebih dari itu, media sosial mempercepat kedewasaan semu. Anak-anak dipaparkan pada isu, gaya hidup, dan konflik orang dewasa sebelum waktunya. Akibatnya, muncul kelelahan psikologis yang tidak disadari. Mereka tampak dewasa dalam bahasa dan ekspresi, tetapi rapuh dalam mengelola tekanan. Emosi yang seharusnya dipelajari secara bertahap dipaksa matang secara instan.
Masalahnya tidak berhenti pada aspek emosi. Perhatian anak juga terfragmentasi. Pola konsumsi konten yang serba singkat dan cepat membentuk kebiasaan berpikir dangkal. Anak sulit fokus dalam waktu lama, mudah bosan, dan cenderung mencari stimulasi instan. Proses belajar yang membutuhkan kesabaran terasa melelahkan karena otak telah terbiasa dengan dopamin cepat dari layar.
Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi mengganggu pembentukan karakter. Anak belajar menampilkan diri, bukan mengenali diri. Mereka lebih sibuk membangun citra daripada memahami nilai. Ketika popularitas menjadi ukuran keberhasilan, empati dan kejujuran perlahan terpinggirkan. Dunia maya menjadi panggung, sementara dunia nyata kehilangan makna.
Ironisnya, orang dewasa sering kali terjebak dalam sikap ambivalen. Di satu sisi, media sosial dianggap berbahaya bagi kesehatan mental anak. Di sisi lain, ia juga dijadikan alat hiburan, pengasuhan instan, bahkan kebanggaan ketika anak terlihat “aktif” dan “kreatif” di dunia digital. Ketidakkonsistenan ini membuat anak tumbuh tanpa batas yang jelas.
Padahal, anak tidak membutuhkan larangan total, tetapi pendampingan yang sadar. Media sosial bukan musuh mutlak, tetapi ia bukan ruang netral. Tanpa literasi digital dan pendampingan emosional, anak dibiarkan menghadapi dunia yang dirancang bukan untuk kepentingannya. Ini bukan soal teknologi, melainkan soal tanggung jawab.
Sekolah pun sering kali tertinggal dalam merespons perubahan ini. Kurikulum masih berfokus pada capaian akademik, sementara kesehatan mental dan literasi media dianggap pelengkap. Anak diajari menghafal, tetapi tidak diajari mengelola emosi. Diajar menggunakan teknologi, tetapi tidak dibekali etika dan kesadaran psikologis dalam menggunakannya.
Yang paling mengkhawatirkan adalah normalisasi kondisi ini. Kecemasan, kelelahan mental, dan krisis kepercayaan diri pada anak dianggap sebagai hal biasa. Padahal, generasi yang tumbuh dengan tekanan psikologis sejak dini berisiko membawa luka tersebut hingga dewasa. Kita sedang membesarkan generasi yang terbiasa dinilai, tetapi tidak terbiasa memahami diri.
Sudah saatnya media sosial diperlakukan sebagai faktor serius dalam perkembangan psikologis anak, bukan sekadar isu gaya hidup. Kesehatan mental anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada algoritma dan pasar perhatian. Ia membutuhkan kehadiran orang dewasa yang sadar, sistem pendidikan yang adaptif, dan kebijakan publik yang berpihak.
Anak-anak berhak tumbuh dengan emosi yang sehat, identitas yang utuh, dan ruang aman untuk menjadi diri sendiri bukan sekadar menjadi tontonan. Jika kita terus abai, media sosial bukan hanya membentuk kebiasaan anak, tetapi juga membentuk luka yang akan diwariskan ke masa depan.
***
*) Oleh : Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |