TIMES MALANG, MALANG – Ekonomi hari ini bergerak dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teknologi digital, media sosial, dan platform ekonomi berbasis algoritma mengubah cara orang bekerja, berproduksi, dan menilai nilai. Dalam situasi ini, kreativitas sering dipuja sebagai kunci bertahan. Namun pertanyaannya: kreativitas seperti apa yang benar-benar tumbuh, dan untuk kepentingan siapa?
Di satu sisi, ekonomi kekinian membuka ruang luas bagi ekspresi kreatif. Siapa pun bisa menjadi kreator, pengusaha, atau inovator hanya dengan gawai dan koneksi internet. Batas antara hobi dan profesi kian kabur. Anak muda didorong untuk “menjual diri”, membangun personal branding, dan mengubah ide menjadi komoditas. Kreativitas menjadi mata uang baru.
Namun di sisi lain, kreativitas juga mengalami penyempitan makna. Ia direduksi menjadi sesuatu yang cepat laku, mudah viral, dan mudah diukur dengan angka. Algoritma menjadi kurator selera publik. Ide yang kompleks dan mendalam sering kalah oleh konten instan yang memancing emosi. Kreativitas tidak lagi dinilai dari proses dan dampaknya, tetapi dari performa sesaat.
Inilah paradoks ekonomi kreatif hari ini. Ruang terbuka lebar, tetapi tekanannya juga besar. Banyak individu dipaksa kreatif bukan karena panggilan, melainkan karena tuntutan bertahan hidup. Kreativitas berubah menjadi kerja tanpa henti, tanpa batas waktu, dan tanpa jaminan. Kebebasan berekspresi bercampur dengan kecemasan ekonomi.
Dalam kultur seperti ini, potensi kreatif tidak tumbuh secara alami. Ia sering terdistorsi oleh logika pasar. Individu belajar menyesuaikan ide dengan tren, bukan mengembangkan gagasan dari nilai. Akibatnya, kreativitas menjadi reaktif, bukan reflektif. Orang sibuk mengikuti arus, bukan menciptakan arah.
Masalahnya bukan pada pasar itu sendiri, tetapi pada ketiadaan ekosistem yang sehat. Kreativitas membutuhkan ruang aman untuk gagal, waktu untuk bereksperimen, dan dukungan untuk berkembang.
Ekonomi kekinian justru cenderung menghukum kegagalan dan mengglorifikasi kesuksesan instan. Ini menciptakan budaya takut salah dan enggan mencoba hal baru.
Lebih jauh, ketimpangan akses juga memengaruhi potensi kreatif. Tidak semua orang memiliki modal, jaringan, dan literasi digital yang sama. Banyak talenta terjebak di pinggiran karena tidak mampu menembus pusat perhatian. Ekonomi kreatif yang digadang-gadang inklusif sering kali tetap elitis, hanya berganti wajah.
Di sinilah peran pendidikan dan kebijakan menjadi krusial. Mengembangkan potensi kreatif tidak cukup dengan slogan dan lomba inovasi. Ia membutuhkan pendidikan yang mendorong berpikir kritis, bukan sekadar adaptif. Kreativitas bukan hanya kemampuan mencipta, tetapi juga kemampuan mempertanyakan, menafsirkan, dan memberi makna.
Institusi pendidikan sering tertinggal dalam membaca perubahan ini. Kurikulum masih menekankan kepatuhan, bukan keberanian. Siswa dan mahasiswa diajarkan mengikuti standar, bukan membangun standar. Padahal, ekonomi kekinian membutuhkan individu yang mampu mengolah ketidakpastian, bukan sekadar mematuhi prosedur.
Di tingkat kebijakan, ekonomi kreatif kerap dipahami sebatas sektor industri dan angka pertumbuhan. Padahal, kreativitas juga soal keberlanjutan budaya, etika kerja, dan kesejahteraan pelaku. Tanpa perlindungan yang memadai, pelaku kreatif rentan dieksploitasi oleh platform dan pasar. Kreativitas akhirnya menguntungkan sistem, bukan manusianya.
Mengembangkan potensi kreatif berarti menempatkan manusia sebagai pusat ekonomi. Kreativitas harus diberi ruang untuk tumbuh sebagai proses jangka panjang, bukan hanya sebagai produk. Ini menuntut perubahan cara pandang: dari mengejar viralitas menuju membangun kualitas, dari kompetisi ekstrem menuju kolaborasi.
Ekonomi kekinian membutuhkan kreativitas yang berakar pada nilai dan konteks lokal. Bukan sekadar meniru tren global, tetapi mengolah kekayaan budaya, pengalaman sosial, dan realitas keseharian. Di situlah kreativitas menemukan relevansinya dan memiliki daya tahan.
Kreativitas tidak boleh menjadi beban baru bagi generasi muda. Ia seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan tekanan tambahan. Ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang memberi ruang bagi ide tumbuh tanpa kehilangan martabat manusia.
Jika ekonomi kekinian terus menuntut kreativitas tanpa menyediakan ekosistem yang adil, maka yang lahir bukan inovasi, melainkan kelelahan kolektif. Dan ketika kreativitas hanya dipahami sebagai komoditas, kita kehilangan maknanya sebagai kekuatan yang mampu mengubah kehidupan.
***
*) Oleh : Saipur Rahman, Mahasiswa Psikologi Pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |