https://malang.times.co.id/
Opini

Birokrasi yang Sibuk Menyalin

Selasa, 23 Desember 2025 - 23:21
Birokrasi yang Sibuk Menyalin Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Birokrasi modern seharusnya menjadi mesin pelayanan publik yang adaptif, kreatif, dan solutif. Namun dalam praktiknya, banyak aparatur justru terjebak dalam rutinitas administratif yang mekanis. Hari-hari dihabiskan untuk mengisi formulir, menyusun laporan, dan menyalin dokumen lama yang diberi sampul baru. Kreativitas tergeser oleh kebiasaan copy-paste.

Fenomena ini bukan semata soal kemalasan individu, tetapi cermin dari kultur birokrasi yang salah arah. Sistem lebih menghargai kepatuhan prosedural ketimbang keberanian berpikir. Aparatur didorong untuk “aman” daripada inovatif. Akibatnya, pekerjaan selesai secara administratif, tetapi persoalan publik tetap berulang.

Budaya copy-paste tumbuh subur karena birokrasi terlalu menekankan keseragaman. Standar operasional dijadikan kitab suci yang tidak boleh disentuh, meskipun konteks lapangan berubah. Inisiatif sering dianggap menyimpang, sementara mengikuti pola lama dipuji sebagai kedisiplinan. Kreativitas pun mati perlahan.

Lebih ironis lagi, digitalisasi birokrasi yang diharapkan mempercepat kerja justru sering memperkuat budaya ini. Teknologi hanya dipakai untuk memindahkan tumpukan kertas ke layar, tanpa mengubah cara berpikir. Laporan tinggal menyalin file lama, mengganti tanggal, dan menyesuaikan istilah. Efisiensi tercapai di atas kertas, tetapi inovasi nihil.

Dalam kondisi seperti ini, aparatur tidak dilatih menyelesaikan masalah, melainkan menyelesaikan dokumen. Orientasi kerja bergeser dari dampak ke output administratif. Selama laporan selesai dan arsip lengkap, pekerjaan dianggap tuntas, meski pelayanan publik tidak membaik.

Masalah mendasarnya adalah birokrasi kita belum sepenuhnya memanusiakan SDM-nya. Aparatur diperlakukan sebagai pelaksana perintah, bukan sebagai pemikir kebijakan. Ruang diskusi sempit, hierarki kaku, dan kesalahan kecil bisa berujung sanksi. Dalam iklim seperti ini, siapa yang berani mencoba ide baru?

Kreativitas membutuhkan ruang aman untuk gagal. Namun birokrasi justru alergi terhadap kegagalan. Setiap penyimpangan dari kebiasaan dianggap risiko, bukan peluang. Aparatur belajar bahwa menyalin lebih aman daripada mencipta. Akhirnya, birokrasi berjalan, tetapi tidak bergerak maju.

Dampaknya terasa langsung oleh publik. Kebijakan sering tidak kontekstual, program tidak menyentuh akar masalah, dan pelayanan terasa kaku. Masyarakat berubah cepat, tetapi birokrasi tertinggal karena terikat pada dokumen lama yang terus direproduksi.

Ironisnya, tuntutan terhadap birokrasi semakin kompleks. Era disrupsi membutuhkan aparatur yang adaptif, mampu membaca data, dan berani berinovasi. Namun sistem penilaian kinerja masih bertumpu pada kuantitas laporan, bukan kualitas gagasan. Aparatur yang rajin menyalin bisa lebih dihargai daripada yang berpikir kritis.

Perubahan tidak cukup dimulai dari pelatihan teknis semata. Pelatihan tanpa perubahan budaya hanya akan menghasilkan aparatur yang lebih rapi menyalin. Yang dibutuhkan adalah reformasi cara pandang: dari birokrasi sebagai mesin administrasi menjadi birokrasi sebagai pusat solusi.

Pemimpin birokrasi memegang peran kunci. Selama pimpinan hanya menuntut kepatuhan dan kelengkapan administrasi, aparatur tidak akan berani kreatif. Kepemimpinan yang mendorong dialog, memberi ruang eksperimen, dan melindungi inisiatif akan melahirkan SDM yang hidup.

Selain itu, sistem penghargaan perlu diubah. Inovasi harus diakui dan dilindungi, bukan dicurigai. Aparatur yang mampu menghadirkan solusi kontekstual perlu diberi ruang naik, bukan justru dipinggirkan karena dianggap “berbeda”.

Birokrasi tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan keberanian struktural untuk berpikir. Selama copy-paste dianggap normal, birokrasi akan terus sibuk tanpa progres. Pelayanan publik membutuhkan ide, bukan sekadar arsip.

Reformasi birokrasi bukan soal mengganti aplikasi atau memperbanyak aturan, tetapi soal membebaskan pikiran aparatur dari ketakutan. Ketika aparatur diberi kepercayaan untuk berpikir, kreativitas akan muncul. Dan ketika kreativitas hidup, birokrasi tidak lagi sekadar menyalin masa lalu, tetapi mampu merancang masa depan.

 

***

 

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.