TIMES MALANG, MALANG – Dalam suasana kebangsaan yang tengah menghangat akibat gelombang kerusuhan dan chaos di beberapa kota dalam beberapa hari terakhir, TIMES Indonesia melakukan wawancara eksklusif dengan Ir. R. Agoes Soerjanto, MT, Wakil Ketua Umum GM FKPPI dan Ketua GM FKPPI Jawa Timur. Sebagai bagian dari keluarga besar TNI-Polri, suara GM FKPPI (Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri TNI-Polri) menjadi penting dalam meredakan suasana dan menanamkan kembali nilai-nilai kebangsaan yang kini diuji.
Bagaimana GM FKPPI mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali kepada akar identitas bangsa, Pancasila dan UUD 1945, sebagai “algoritma kebangsaan”? Dalam percakapan mendalam ini, Agoes Soerjanto menegaskan pentingnya kepercayaan terhadap pemerintah, Presiden, TNI, dan Polri, serta menyerukan semangat gotong royong untuk menjaga keutuhan negeri.
Berikut wawancara lengkap TIMES Indonesia dengan Ir. R. Agoes Soerjanto.
Pak Agoes, dalam tiga hari terakhir ini kita menyaksikan berbagai kekacauan sosial di beberapa kota. Bahkan aksi massa sampai membakar gedung milik negara. Bagaimana GM FKPPI menyikapi hal ini?
Kami mengamati dengan sangat prihatin. Ini bukan hanya gejala sosial biasa, tapi ada dinamika yang sangat kompleks. Di balik aksi-aksi itu, kita bisa lihat ada potensi adu domba dan manipulasi informasi. Patut diduga ada pihak-pihak yang ingin mengguncang stabilitas nasional. Mereka tidak ingin melihat bangsa ini menjadi baik.
Di mana posisi GM FKPPI dalam masalah ini?
GM FKPPI tentu berdiri tegak pada prinsip untuk menjaga keutuhan NKRI bersama orang tua kami, TNI dan Polri. Dalam suasana seperti ini, kami tentu terus mengajak semua elemen masyarakat untuk kembali ke akar kita sebagai bangsa.
Apa yang Anda maksud “akar bangsa” di sini?
Akar itu adalah Pancasila dan UUD 1945. Ini bukan sekadar dokumen konstitusional. Keduanya merupakan algoritma kehidupan berbangsa. Dari situlah algoritma Indonesia lahir. Yakni cara kita berpikir, bertindak, dan bermasyarakat dalam satu semangat (spirit). Spirit gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial.
Apa kaitannya algoritma dengan situasi chaos seperti sekarang?
Saat ini kita hidup dalam dunia yang dikendalikan algoritma digital. Tapi penting diingat, bahwa bangsa ini sudah punya algoritma jauh sebelum itu, yakni Pancasila. Ia adalah algoritma kebangsaan yang menyaring emosi menjadi empati, konflik menjadi musyawarah, dan kekacauan menjadi ketertiban. Kalau kita lupa algoritma ini, maka kita akan mudah terseret oleh algoritma lain, seperti algoritma media sosial yang penuh kebencian, ilusi, dan adu domba.
Artinya, algoritma Indonesia adalah “jiwa” bangsa?
Benar sekali. Dan jiwa itu harus dijaga. Jangan sampai kita menyerahkan arah hidup kita pada algoritma buatan luar, yang tidak mengenal nilai-nilai luhur kita. Pancasila itu bukan hanya dasar negara, tapi juga kompas etik. Di dalamnya terkandung prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi yang beradab, dan keadilan sosial. Lima sila itu adalah lima pilar dari algoritma bangsa Indonesia ini.
Percayakan Semua Kepada Pemerintah
Bagaimana GM FKPPI membaca pernyataan Presiden Prabowo Subianto setelah kondisi chaos terjadi?
Presiden sudah menyampaikan dengan jernih dan tegas. Bahwa rakyat harus tetap percaya pada pemerintah, dan beliau juga bicara saatnya kita bergotong royong.
Artinya apa menurut Anda?
Beliau tidak defensif. Tidak menyerang. Itu mencerminkan jiwa Pancasila. Dan, kami, GM FKPPI, menegaskan kembali, bahwa gotong royong bukan sekadar slogan, tapi sebuah metode berpikir bangsa ini. Ini harus dihidupkan kembali, terutama di tengah derasnya narasi-narasi destruktif yang terjadi.
Sebelum jauh, sebenarnya apa makna gotong royong dalam konteks saat ini?
Begini. Gotong royong adalah algoritma sosial paling kuat yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Ketika dunia bicara tentang AI (artificial intelligence), kita punya AI juga, authentic intelligence. Authentic intelligence itu berupa budaya saling bantu, saling peduli. Gotong royong itu bukan saja simbol, ia adalah advanced social code yang harus diintegrasikan dalam cara kita berinteraksi di era sekarang ini. Bahkan kalau perlu harus menjadi default mode bangsa ini.
Apa pandangan GM FKPPI terhadap respons TNI-Polri dalam situasi ini?
TNI dan Polri bekerja dalam koridor konstitusi. Mereka tidak boleh diseret-seret dalam pusaran politik praktis. Mereka adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. GM FKPPI adalah anak kandungnya, keluarga besar mereka. Dan kami tahu betul bagaimana mereka bekerja menjaga republik ini. Saat rakyat terpancing, TNI-Polri harus tetap menjadi pagar, bukan bara.
Ada kekhawatiran tentang menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah. Apa respons Anda?
Kepercayaan adalah modal sosial utama dalam demokrasi. Kalau hilang, bukan hanya pemerintah yang runtuh, tapi negara bisa bubar. Saya mengajak publik untuk tidak terjebak dalam narasi nihilistik. Pemerintah itu bukan entitas asing. Mereka adalah bagian dari rakyat juga. Presiden, DPR adalah representasi suara rakyat. Kalau ada kekurangan, kita bisa sampaikan. Tapi jangan kita rusak rumah sendiri karena emosi sesaat.
Makna Algoritma Kebangsaan Indonesia
Pak Agoes, Anda sempat menyebut soal “algoritma kebangsaan”. Bisa dijelaskan lebih filosofis?
Tentu. Saya ingin mengajak kita semua berpikir ulang. Selama ini kita bicara teknologi, bicara data, bicara AI. Tapi kita lupa bahwa bangsa ini juga punya sistem kecerdasan komunal sejak dulu. Kita punya musyawarah sebagai sistem pengambilan keputusan. Kita punya kearifan lokal sebagai sistem mitigasi sosial. Dan kita punya Pancasila sebagai sistem etika. Inilah algoritma bangsa Indonesia. Algoritma yang sangat manusiawi, inklusif, dan visioner.
Apa yang perlu dilakukan generasi muda?
Jangan menjadi korban algoritma asing yang merusak mental bangsa. Media sosial boleh menjadi ruang aktualisasi, tapi jangan sampai menjadi arena kebencian. Kita butuh anak-anak muda yang bisa menjadi produsen narasi positif. Buat konten yang membangun. Bangun jejaring kebajikan. Dan di atas semua itu, hidupi Pancasila sebagai identitas digital, bukan hanya sebagai hafalan upacara. Kibarkan merah putih di hati, bukan hanya di kantor dan jalan.
Baiklah, kembali ke situasi sekarang. Bagaimana GM FKPPI melihat peran masyarakat sipil dalam meredam situasi?
Masyarakat sipil adalah penopang demokrasi. Saat ini, suara-suara bijak sangat dibutuhkan. Ulama, tokoh adat, seniman, akademisi, semua punya tanggung jawab moral. Jangan hanya diam. Tapi juga jangan ikut membakar. Gunakan panggung masing-masing untuk menjadi peneduh, bukan provokator.
Sebagai organisasi yang punya akar historis kuat, apa refleksi GM FKPPI?
Kami lahir dari rahim sejarah republik ini. Kami tumbuh bersama TNI dan Polri. Kami tahu bahwa negara ini berdiri bukan karena kekerasan, tapi karena cita-cita luhur. GM FKPPI adalah garda yang akan menjaga warisan itu. Di tengah badai seperti saat ini, kami memilih berdiri tegak bersama rakyat, bukan ikut arus kerusuhan.
Ada pesan untuk elite politik?
Jangan menjadikan keresahan rakyat sebagai komoditas politik. Jangan bermain api. Jika elite hanya mengejar kekuasaan, maka rakyat akan jadi korban. Mari berkompetisi dengan ide, bukan dengan kebencian. Bangun narasi tentang masa depan, bukan masa lalu yang penuh dendam.
Untuk masyarakat umum?
Percayalah, bangsa ini sudah melewati banyak ujian. Kita pernah dijajah, pernah dikudeta, pernah dirongrong dari dalam. Tapi kita selalu bangkit. Kenapa? Karena kita punya fondasi yang kuat: Pancasila dan UUD 45. Mari kita bangun ulang kepercayaan kita. Mari kita viralkan Pancasila, kita tumbuhkan kembali kepercayaan, dan kita bentengi diri dari algoritma kebencian.
Maksud yang lebih lugas?
Algoritma Indonesia adalah cinta, gotong royong, dan persatuan—mari kita rawat bersama, bukan kita rusak bersama.
Saatnya Menjadi Bangsa Dewasa
Pak Agoes, saat trrjadinya chaos ini di bulan kemerdekaan, ini cukup ironi. Nah, kalau kita bicara ke depan, what’s next, apa yang harus jadi refleksi bersama?
Kita harus ingat, bangsa ini baru 80 tahun berdiri. Masih sangat muda dalam hitungan sejarah peradaban. Bahkan banyak negara adikuasa butuh ratusan tahun untuk membentuk identitasnya. Indonesia sedang tumbuh, sedang belajar. Wajar ada luka, wajar ada kegelisahan. Tapi jangan pernah kita lupa bahwa negara ini dibangun dengan darah, air mata, dan pengorbanan banyak generasi.
Bagaimana dengan sikap sebagian masyarakat yang mulai kehilangan kepercayaan?
Itulah yang harus kita sadari. Kalau kita runtuhkan kepercayaan publik kepada negara, pemerintah, TNI, Polri, presiden, gubernur, bupati dan seterusnya, maka kita sedang merobek tenun kebangsaan yang kita jahit sendiri sejak 1945. Saya ingin katakan dengan hati-hati, bahwa kekecewaan adalah hak, tapi ketidakpercayaan total adalah jalan menuju kehancuran.
Maksudnya?
Bangsa ini tidak akan kokoh kalau pondasi kepercayaannya retak. Jangan sampai kita mengulangi siklus bangsa-bangsa yang gagal karena kehilangan arah moral. Di saat banyak negara runtuh oleh konflik internal, kita harus menjaga Indonesia agar tetap utuh.
Apa refleksi moral yang ingin Anda sampaikan?
Refleksi moral saya sederhana; tidak semua ketidakadilan harus dibalas dengan kemarahan. Ada yang harus disikapi dengan sabar, dengan dialog, dengan kepercayaan. Kita ini bangsa besar, tapi kita tidak boleh besar kepala. Kita juga bangsa berdaulat, tapi kita harus rendah hati dalam merawatnya. Jika kita mewarisi negeri ini dari para pejuang, maka kita punya tanggung jawab yang sama besarnya untuk meneruskannya kepada generasi selanjutnya dalam keadaan utuh, damai, dan penuh harapan.
Apa bentuk “kepercayaan” yang Anda maksud?
Kepercayaan itu bukan membabi buta. Tapi kepercayaan yang lahir dari pemahaman filosofis, bahwa pemerintah itu bukan musuh, TNI-Polri itu bukan ancaman, presiden itu bukan penguasa absolut. Mereka semua adalah bagian dari kita. Kalau kita hancurkan mereka dengan kata-kata, hoaks, dan amarah, sama saja kita sedang menghancurkan cermin wajah kita sendiri.
Bagaimana kita meredam suasana yang sedang panas saat ini?
Dengan dua cara. Pertama, jangan terpancing. Kedua, jangan ikut memancing. Suasana hari-hari ini bisa sangat sensitif. Bahkan satu unggahan media sosial bisa berdampak besar. Maka kita butuh bijaksana. Mari kita kembali belajar dari filosofi Jawa: alon-alon asal kelakon, sabar narimo ing pandum, mikul dhuwur mendhem jero. Kita perlu meredam api dengan air, bukan menyiramnya dengan bensin.
Apakah ada pesan yang ingin disampaikan?
Dalam semua agama, kedamaian adalah nilai utama. Kalau kita menyebut diri sebagai bangsa religius, maka ekspresi kita juga harus religius. Penuh kasih, santun, dan tidak suka kekerasan. Jangan nodai keimanan kita dengan kemarahan tak berdasar.
Sebagai penutup, bagaimana Bapak ingin kita semua memandang bangsa ini ke depan?
Saya ingin bangsa ini punya kesadaran eksistensial. Kita ini bukan sekadar kumpulan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Kita adalah satu tubuh besar dengan banyak jiwa. Satu luka kecil di Papua bisa terasa sampai Aceh. Satu kegaduhan di Jakarta bisa menggetarkan kampung di pelosok. Kalau kita semua sadar bahwa kita saling terhubung, maka kita akan memilih menjadi penyembuh, bukan perusak. Maka mari kita rawat bangsa ini seperti kita merawat tubuh kita sendiri: dengan cinta, dengan sabar, dengan tekad untuk sembuh.
Ada pesan khusus Pak?
Algoritma Indonesia tidak akan pernah bisa ditulis oleh AI manapun di dunia. Ia hanya bisa ditulis dengan tangan dan hati bangsa ini sendiri. Tentu melalui gotong royong, ketulusan, dan kesediaan untuk percaya lagi, lagi, dan lagi pada tanah ini. Ingat, bangsa yang besar bukan yang tanpa luka, tapi yang mampu menyembuhkan dirinya sendiri dengan cinta dan keyakinan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: GM FKPPI: Mari Bersama-sama Menjaga Algoritma Bangsa
Pewarta | : Khoirul Anwar |
Editor | : Khoirul Anwar |