https://malang.times.co.id/
Opini

Kabut Pendanaan Iklim di Indonesia 2025

Jumat, 24 Januari 2025 - 06:40
Kabut Pendanaan Iklim di Indonesia 2025 Muhamad Ferdy Firmansyah, Mahasiswa Pascasarjana dalam Environmental Science di Wageningen University & Research, Belanda.

TIMES MALANG, BELANDA – Bila kita membayangkan berkendara di persimpangan yang berkabut dengan banyak arah jalan, maka kita akan bingung menentukan jalan mana yang harus kita pilih. Bila kita salah jalan, maka akan ada dua kemungkinan, kita sampai di tujuan atau kita menghabiskan waktu dan harus putar balik ke titik awal. 

Kondisi ini yang mungkin dapat menggambarkan ketidakpastian pendanaan iklim Indonesia. Indonesia yang telah berkomitmen mengurangi emisi harus melawan kabut-kabut di persimpangan jalan dan harus membuat keputusan tepat diwaktu sempit. 

Negara maju telah lebih awal mengeksploitasi alam yang menimbulkan jejak ekologis dari rentetan penurunan kualitas lingkungan. Titik baru muncul sejak 2015 saat perjanjian paris disepakati.

Negara berkembang menghadapi tantangan dengan rendahnya performa ekonomi namun ditekan untuk ikut merubah struktur ekonominya. Nyatanya negara berkembang lebih rentan dalam akses sosial-ekonomi karena perbedaan struktur pembangunan dibandingkan negara maju.

Keterbatasan dana dan komitmen investasi teknologi masih menjadi kendala utama bagi negara berkembang. Lalu, mengapa kita tidak bisa berharap banyak pada dunia internasional saat ini? dan apa sumber pendanaan lain yang dapat kita andalkan?

Ketidakpastian Global

Persoalan yang dihadapi saat ini yaitu dinamika geopolitik yang tidak dapat diprediksi. Eskalasi konflik regional dibeberapa belahan dunia membuat konsentrasi dana di negara maju bergeser pada isu keamanan dan kebijakan proteksionis. 

Kondisi ekonomi global yang tidak stabil dimana IMF telah memangkas pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,2% pada 2025 mendatang. Angka ini lebih rendah 0,1% dari proyeksi sebelumnya. 

Peralihan pemerintah di beberapa negara turut andil. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat di bawah kepemimpinan baru Donald Trump telah tegas keluar dari Perjanjian Iklim Paris. 

Hal ini cukup signifikan karena AS adalah penghasil emisi terbesar kedua setelah China dan salah satu donatur pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang. 
Ketika peta geopolitik berubah, pencarian dana menjadi semakin sulit, sehingga diperlukan diversifikasi pendanaan. Kini pendanaan iklim harus bergeser kepada sumber domestik dan pendanaan alternatif lainnya. 

Investasi, Perdagangan dan Pajak Karbon Serta Potensi BRICs Bank
Indonesia saat ini memiliki komitmen kuat untuk menurunkan emisi GRK sesuai dengan Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang dilaporkan pada tahun 2022 lalu. 

Target ambisius yang ditawarkan meliputi penurunan emisi sebesar 31,89% secara unconditional dan berusaha mencapai 43,20% secara conditional. 

Untuk mencapai target NDC pada 2030, Indonesia memerlukan dana setidaknya 281 miliar dolar AS (sekitar 4.000-an triliun rupiah). 

Angka ini setara dengan 10-12 persen dari total nilai ABPN kita tiap tahunnya. APBN tidak mampu untuk memenuhi seutuhnya kebutuhan dana iklim Indonesia. 

Perlu untuk perhatian lebih daripada porsi pendanaan iklim jangan sampai terjerat pada utang hijau akibat proporsi pendanaan yang lebih besar kepada skema pinjaman daripada hibah.

Di tahun 2025 alternatif pendanaan iklim dapat melalui investasi swasta dan insentif perdagangan karbon dan pajak karbon patut untuk diperhitungkan. Selain itu Indonesia sebagai full member dari BRICS memungkinkan sumber pendanaan baru. 

Pertama, Investasi menjadi peluang yang paling fleksibel. Kita dapat bagi investasi ini menjadi investasi langsung maupun tidak langsung. Investasi swasta yang perlu kita sasar seperti teknologi ramah lingkungan, transisi energi dan efisiensi energi. 

Kedua, melalui pendapatan dari perdangangan karbon dan pajak karbon. Pemasukan yang didapatkan dari perdagangan emisi maupun pajak karbon dapat disalurkan sebagai dana abadi. Pajak karbon yang dirancang oleh pemerintah akan dialokasikan kembali untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta pengembangan Sistem Perdagangan Emisi.

Ketiga, potensi pendanaan baru melalui New Development Bank (NDB) atau BRICs Bank. NDB ini bertujuan untuk mengembangkan project bagi negara emerging countries dan isu perubahan iklim hanya menunggu waktu akan masuk dapat proyek pendanaan.

Potensi Arab Saudi menjadi anggota tetap BRICs membuat kekuatan NDB akan jauh lebih kuat bersama dengan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia ini. 

Peluang demi peluang memang perlu aktif dilakukan Indonesia untuk memenuhi target pendanaan iklim agar target adaptasi dan mitigasi Indonesia dapat tercapai. 

***

*) Oleh : Muhamad Ferdy Firmansyah, Mahasiswa Pascasarjana dalam Environmental Science di Wageningen University & Research, Belanda.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.