TIMES MALANG, TANGERANG – Kurikulum pendidikan dan kebijakan pemerintah sangat menentukan masa depan bangsa. Kurikulum berfungsi mencetak generasi yang akan datang melalui sistem pendidikan. Sedangkan kebijakan menentukan arah segalanya.
Kurikulum pendidikan pasca reformasi sangat lemah pada penekanan literasi. Tidak ada kontrol membaca dari pemerintah, guru dan orang tua. Hal itu melahirkan generasi Z malas baca. Minat bacanya sangat jika dibandingkan dengan generasi milenial.
Sebagian generasi milenial masih merasakan pendidikan era orde baru. Mereka masih merasakan wajib baca, menghafal, dan pendisiplinan keras.
Meskipun banyak dari generasi milenial yang hanya membaca menjelang ulangan ataupun ujian. Perpustakaan dan koridor sekolah dipenuhi siswa yang membaca menjelang ujian. Siswa giat belajar karena takut dengan hasil ujian yang buruk.
Ia bisa terancam tidak naik kelas bahkan tidak lulus. Belum lagi siswa yang mendapat nilai buruk akan berhadapan dengan orang tua di rumah. Nilai ujian, guru, dan orang tua menjadi momok siswa untuk belajar.
Berbeda dengan generasi milenial, generasi Z menjadi awal generasi manja di sekolah. Memasuki pertengahan tahun 2000-an. Guru mulai dibatasi ruang geraknya. Ia tidak bisa mendisiplinkan siswa karena aturan perlindungan anak dan hak asasi manusia (HAM). Siswa menjadi raja di sekolah. Guru tidak boleh menghukum siswa yang tidak disiplin. Hal in iyang membuat kemrosotan akhlak menjadi-jadi.
Pada masa tersebut, sekolah sudah mulai menerapkan koordinator kelas, komite sekolah, dan wali kelas. Semua kebijakan dan tugas sekolah melalui tiga elemen tersebut. Siswa tidak dituntut membaca. Tugas sekolah bukan lagi dikerjakan siswa melainkan dikerjakan oleh wali murid.
Dalih sayang anak dan tidak ingin membebani anak membuat bencana di kemudian hari. Pengetahuan sosialnya sangat buruk. Begitu juga dengan daya kritisnya dan kreativitasnya karena tidak dilatih sejak kecil.
Hal ini yang menyebabkan generasi Z menjadi generasi manja dan tidak memiliki kemampuan problem solving. Tingkat membacanya sangat lemah. Kemauan menulisnya juga buruk. Sedikit sekali generasi ini yang memiliki tulisan tangan rapi. Saat ini, generasi ini sudah merambah dunia kerja namun secara mental belum siap terjun di dunia kerja.
Pemanjaan siswa generasi Z dimatangkan oleh generasi Alpha. Dicabutnya ujian nasional membuat siswa generasi Alpha memiliki minat belajar yang sedikit. Kurikulum merdeka belajar yang tidak jelas menjadikan siswa tambah jauh dari literasi. Dunia pendidikan dasar dan menengah dipenuhi kegiatan yang sifatnya euforia.
Mereka tidak dilatih berpikir logis, kreatif, dan gemar membaca. Sama seperti generasi Z, tugas siswa lebih difokuskan oleh wali murid. Segala informasi disampaikan melalui koordinator kelas.
Siswa tidak belajar mengatasi masalahnya sendiri. Pemanjaan siswa dalam jangka panjang akan berakibat fatal. Generasi ini akan memasuki dunia kerja di era 2030-an. Perusahaan dipimpin generasi Z dan karyawannya generasi Alpha. Tentunya bisa dibayangkan hal apa saja yang akan terjadi.
Baik generasi Z maupun generasi Alpha, keduanya tidak memiliki kreatifitas dan kemampuan bernalar yang logis. Pengetahuan umum yang dimilikinya juga jauh di bawah normal. Anak SMA tidak tahu nama-nama negara, nama pahlawan, dan sebagainya.
Berbeda dengan generasi milenial dan sebelumnya yang terbiasa dituntut menghafal pengetahuan sosial, matematika, dan sebagainya. Perlu adanya perubahan nyata pada sektor pendidikan agar visi Indonesia emas tercapai.
Dampak buruk di masa depan menanti bangsa ini akibat rendahnya minat baca generasi muda. Generasi Z dan generasi Alpha merupakan usia produktif pada tahun 2040 dan setelahnya. Generasi Z akan mengisi jabatan penting pemerintahan pada tahun tersebut.
Segala kebijakan akan lahir dari tangan generasi Z mulai dari tingkat yudikatif, eksekutif, bahkan legislatif. Akan dipenuhi pengambilan keputusan dari generasi yang malas membaca. Tentunya ini akan membawa risiko buruk yang sangat besar bagi masa depan bangsa.
Generasi yang ringkih dalam menanggung risiko dan juga generasi yang lemah dalam penyelesaian masalah karena pendidikan problem solving dan pemanjaan sejak balita membuat pemerintah kita di masa yang akan sangat lemah. Baik itu dari pendirian, kemandirian, maupun pertahanan.
Perlu adanya upaya menumbuhkan minat baca pada generasi Z yang dilakukan oleh semua kalangan. Dari pemerintah, melalui kementerian pendidikan baik pendidikan dasar-menengah maupun pendidikan tinggi perlu membuat kebijakan untuk melahirkan kemauan membaca.
Siswa dan mahasiswa wajib membaca buku yang difasilitasi melalui perpustakaan sekolah maupun perguruan tinggi. Pihak lembaga pendidikan melalui guru perlu membuat monitoring dan pengawasan berjalannya kebijakan membaca di sekolah. Orang tua berperan dalam melakukan pengawasan dan pemantauan di lingkungan keluarga.
Pimpinan daerah kabupaten kota melalui desa/ kelurahan memantau masyarakat dengan membuat jam malam agar anak fokus belajar malam. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu giat mengkampanyekan dan memberikan contoh pentingnya membaca.
***
*) Oleh : Rerin Maulinda, M.Pd., Dosen Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |