https://malang.times.co.id/
Opini

Pagar Laut, Siapa Untung, Siapa Buntung?

Kamis, 30 Januari 2025 - 20:24
Pagar Laut, Siapa Untung, Siapa Buntung? Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif sebagai Penggiat Hukum di Distrik Institute.

TIMES MALANG, JAKARTA – Pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang yang dimulai pada Agustus 2024 tanpa izin resmi telah memicu polemik di ruang publik. Proyek ini tidak hanya melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tetapi juga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat nelayan setempat. 

Keberadaan pagar laut ini menjadi simbol ketidakadilan spasial dan ketimpangan kuasa antara korporasi, pemerintah, dan masyarakat lokal. Fenomena ini mengungkap kegagalan tata kelola ruang di Indonesia yang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat dan lingkungan.

Pagar laut tersebut telah menghambat akses nelayan ke area penangkapan ikan, menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan kerugian ekonomi yang signifikan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa pagar laut ini merupakan struktur awal untuk proyek reklamasi yang akan berdampak buruk pada ekosistem pesisir. 

Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan penyegelan pada 9 Januari 2025 karena pembangunan pagar laut tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). KKP memberikan waktu 20 hari kepada pihak yang bertanggung jawab untuk membongkar pagar secara sukarela. 

Namun, penyelesaian teknis seperti ini tidak cukup untuk mengatasi akar masalah yang lebih dalam, yaitu ketidakadilan spasial dan ketimpangan kuasa dalam tata kelola ruang.

Konflik yang muncul dari pembangunan pagar laut ini merupakan refleksi nyata dari konflik ekonomi politik ruang yang melibatkan berbagai aktor, mulai dari korporasi, pemerintah, hingga masyarakat lokal. Henri Lefebvre dalam bukunya The Production of Space (1991) menjelaskan bahwa ruang bukan hanya wadah fisik, melainkan produk sosial yang dibentuk oleh interaksi kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. 

Dalam konteks ini, pagar laut dapat dipahami sebagai simbol hegemoni kekuasaan terhadap ruang publik, yang mengubah ruang milik bersama (commons) menjadi ruang yang dikuasai oleh kepentingan korporasi. Logika ini sejalan dengan kritik David Harvey (2009) terhadap neoliberalisme, di mana kapitalisme modern mengandalkan proses accumulation by dispossession perampasan ruang publik untuk diubah menjadi aset privat.

Kasus ini juga mengungkap ketidakadilan struktural dalam tata kelola ruang di Indonesia. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur, termasuk reklamasi, jalan tol, kawasan industri, dan bandara udara, sering kali mengorbankan ruang-ruang publik seperti pesisir, hutan, dan tanah adat. 

Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digelorakan oleh pemerintah Jokowi, meskipun bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, sering kali mengabaikan keadilan spasial dan menciptakan ruang-ruang eksklusif yang hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu. Hal ini mencerminkan ketidakseimbangan antara kepentingan pembangunan nasional dengan hak-hak masyarakat lokal atas ruang yang mereka diami dan manfaatkan.

Keadilan ruang (spatial justice) menjadi konsep kunci dalam menyelesaikan persoalan ini. Edward Soja dalam Seeking Spatial Justice (2010) menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan pembangunan untuk memastikan proyek yang dirancang selaras dengan kebutuhan mereka. 

Keadilan ruang bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga tentang redistribusi manfaat dan pengakuan terhadap keberagaman kebutuhan ruang. Dalam konteks pagar laut Tangerang, nelayan sebagai kelompok yang paling terdampak harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Keterlibatan mereka akan membantu mengurangi ketimpangan kekuasaan antara korporasi dan masyarakat pesisir.

Reformasi tata kelola ruang juga diperlukan untuk mengatasi ketidakadilan struktural yang terakumulasi. Reformasi ini tidak hanya sekadar pembaruan regulasi dan prosedur teknis-administratif, tetapi juga harus mencakup redistribusi kekuasaan dalam produksi ruang. Pemerintah sebagai regulator harus menempatkan ruang laut sebagai lived space yang dihidupi oleh masyarakat nelayan melalui aktivitas sosial-ekonomi mereka. 

Ruang laut bukan hanya ekosistem alam, tetapi juga “rumah dan dapur” bagi kehidupan nelayan. Oleh karena itu, penting untuk membangun konsep bersama tentang penataan ruang yang deliberatif dan inklusif, yang melibatkan nelayan sebagai subjek aktif dalam proses produksi ruang.

Secara keseluruhan, kasus pagar laut mengungkap kompleksitas konflik ekonomi politik ruang yang melibatkan ketimpangan kuasa, eksklusi sosial, dan ketidakadilan struktural. Penyelesaian masalah ini membutuhkan langkah-langkah strategis berbasis keadilan ruang, termasuk redistribusi hak, penegakan hukum, dan partisipasi masyarakat lokal. 

Hanya dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan spasial dalam tata kelola ruang, konflik seperti ini dapat dikelola secara lebih inklusif dan berkeadilan.

***

*) Oleh : Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif sebagai Penggiat Hukum di Distrik Institute.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.