TIMES MALANG, SURABAYA – Arsip, dalam studi ilmu-ilmu sosial, khususnya sejarah merupakan hal yang paling mendasar. Siapa yang menguasi arsip dan mampu menarasikan dialah yang akan menentukan perjalanan suatu bangsa ke depan.
Termasuk, siapa yang mampu memalsukan arsip (yang itu kemudian diyakini oleh para pecintanya), dari situlah sejarah suatu bangsa juga akan berjalan sesuai dengan narasi baru. Arsip bukan semata-mata sebagai sumber informasi untuk penulisan suatu laporan kerja.
Lebih jauh dari itu, arsip juga baik digunakan untuk proses perencanaan, analisa suatu peristiwa sosial, perumusan kebijakan, serta pengambilan keputusan. Dan yang paling penting dari itu semua, arsip merupakan pengejawantahan dari rasa tanggung jawab satu generasi pada generasi yang akan datang.
Oleh karena itu, jika ingin melihat kemajuan suatu bangsa lihatlah tata kelola bagaimana suatu negara melakukan pengarsipan. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masih minim perhatiannya terhadap proses pengarsipan.
Hal itu tampak jelas pada politik anggaran terhadap tata kelola arsip yang jauh dari harapan. Arsip hanya dianggap sebagai pelengkap dari proses administrasi yang lebih luas.
Bahkan proses pengarsipan belum melibatkan partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Padahal proses kerja mengumpulkan dokumen apapun bentuknya kemudian menatanya adalah tindakan yang sangat signifikan untuk tata kelola bernegara. Terlebih jika tindakan tata kelola pengarsipan tersebut dilakukan oleh seorang individu dan mandiri tanpa dukungan negara. Hanya merupakan kesadaran pribadi saja.
Tindakan mengarsipkan semua dokumen oleh individu tersebut, tidak bisa hanya dinyatakan bahwa individu tersebut sedang merekam satu proses perjalanan suatu masyarakat dalam bentuk arsip, tapi juga menyimpan satu collective memory yang ada pada suatu kurun zaman. Ini adalah satu proses yang nantinya melahirkan kesadaran sejarah.
Di Indonesia, tidak banyak individu yang mengabadikan dirinya untuk melakukan tindakan sadar mengumpulkan dokumen tertulis, rekaman suara, coretan, gambar/foto, film dan lain sebagainya. Terlebih lagi tindakan ini dilakukan tanpa dukungan negara, sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab pada pengelolaan arsip. Adalah Kyai Sholeh Hayat, seorang kyai sederhana yang tinggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Beliau hingga akhir hayatnya, Kyai Sholeh Hayat masih mengabdikan dirinya menjadi pengurus PWNU Jawa Timur. Beliau seorang aktifis politik yang memiliki perhatian pada perkembangan NU, dari sejak belia. Kendati begitu menjadi pribadi yang unik karena dikenal sebagai tokoh NU yang memiliki perhatian pada menyimpan semua dokumen dan berita tentang NU. Kyai yang arsiparis swasta.
Perhatian pada arsip yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Hayat pada dasarnya adalah menangkap kekuatan sosial yang sedang bekerja dari berbagai “ritus” peristiwa yang menopang proses sejarah, yang itu direkamnya dalam tindakan pengarsipannya.
Bisa jadi yang dilakukan tidak sebesar itu, sekedar collect and record (mengumpulkan dan mencatat) karena memang beliau adalah seorang wartawan. Mengumpulkan semua peristiwa khususnya NU kemudian mencatatannya belum tahu untuk kepentingan apa?
Kerja jurnalistik yang beliau emban kemudian ditingkatkan menjadi penyimpanan arsip, dengan berbagai memori yang ada didalamnya. Tentu saja tidak mudah, karena Kyai Sholeh Hayat hidup di dalam komunitas NU dan Pesantren yang terkenal dengan tradisi membaca kitab kuning dan oral story-nya.
Komunitas ini untuk menarasikan peran dan tindakannya dalam kehidupan masyarakat masih sangat minim. Sehingga banyak peristiwa yang tidak tercatat dengan baik peran komunitas ini dalam Historiogra Indonesia.
Proses kerja pengarsipan yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Hayat ini, sayangnya tidak diikuti kegiatan lanjutan, yakni menarasikan ulang dokumen-dokumen yang telah tersedia dengan baik. Banyak peristiwa masa lampau yang membutuhkan sentuhan narasi berdasar atas dokumen yang tersedia di Kyai Sholeh Hayat.
Bukankah sejarah merupakan proses interaksi secara terus menerus, antara masyarakat dengan fakta-faktanya, dialog tanpa akhir antara masa kini dengan masa lampau, dalam rangka mengetahui keadaan masyarakatnya di masa lampau dan proses evolusinya. Pada titik ini sejarah telah memberi pelajaran untuk bertindak lebih baik di masa depan.
Memang tradisi literasi yang berbasis sastra di komunitas nahdliyyin bisa dikatakan masih terus berkembang pesat. Hal ini merupakan kelanjutan dari kajian-kajian di Pesantren yang banyak mempelajari karya sastra. Penyajian teks di pesantren bahasanya sedikit banyak lebih nyastra, ketimbang narasi yang berbasis pada ketersediaan arsip dan dokumen.
Peranan santri dalam pertempuran 10 Nopember 1945 hampir hanya sebatas oral story (cerita lisan). Buku wartawan senior Des Alwi yang menarasikan peristiwa pertempuran di Surabaya pada November 1945 dan bagaimana terbunuhnya Jenderal Mallaby tidak sedikit pun menyinggung peranan santri dalam peristiwa yang melahirkan hari Pahlawan itu, terlebih lagi adanya peranan Fatwa Resolusi Jihad.
Mengenai isu nation state, demokrasi serta hubungan antara negara dan agama, keterlibatan dari kalangan santri NU tidak bisa dinafikan. Bahkan di pesantren-pesantren berbagai isu tersebut juga menjadi “makanan” yang dibahas oleh santri.
Di level elit NU kita mengenal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi media darling dalam mengawal isu-isu di atas. Akan tetapi ada banyak kyai lokal yang membicarakan hal itu hingga di level pesantren kampong. Karenanya kalangan pesantren sudah bisa menerima berbagai pemikiran yang konon dari barat itu, padahal sudah menjadi kajian dalam berbagai kitab kuning.
Begitu juga dengan isu-isu yang terkait dengan kesejahteraan petani, buruh dan nelayan. Hampir semua isu tersebut tercatat dengan rapi di berbagai media dan dokumen yang diarsipkan dengan baik oleh Kyai Sholeh Hayat. Dengan demikian seharusnya, membangun tradisi literasi dikalangan anak muda NU tidak bisa dipisahkan oleh peranan Kyai Sholeh Hayat.
Sebagaimana disebutkan di atas, apa yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Hayat adalah semacam menata “artefak” sebagai perwujudan memori kolektif suatu masyarakat. Upaya yang dilakukan Kyai Sholeh Hayat (walau hanya berupa menyimpan dokumen dan lain-lain) merupakan satu bangunan yang bisa dijadikan ingatan bersama masyarakat pada zamannya.
Catatan-catatan yang disimpan rapi itu merupakan gambaran yang komprehensif dan orisinil, serta tidak bias dengan berbagai kepentingan hari ini. Evolusi suatu masyarakat santri dari periode ke periode bisa dibaca dari kumpulan arsip yang tersimpan di Bangil tersebut. Harapannya adalah arsip adalah kumpulan tulisan yang harus dibaca lagi, bukan betul-betul menjadi artefak yang kecenderungannya menjadi tempat wisata.
Kendati begitu, berbagai dokumen yang tersimpan di rumah Kyai Sholeh Hayat tersebut membutuhkan sentuhan kreatif dari kalangan santri untuk rekonstruksi dan narasi ulang, tentu saja sesuai dengan tema yang beragam. Tidak hanya dibaca dan diceritakan bahwa terdapat arsip NU yang dikumpulkan secara individual dan mandiri. Berbagai dokumen tersebut harus ditata ulang, diinterpretasikan, dikritik dan ditulis ulang.
Pada akhirnya dokumen tersebut menunjukkan bagaimana identitas santri berperan aktif dalam setiap peristiwa sejarah masa lampau. Bahkan terdapat berbagai peristiwa peran santri bisa dikatakan paling menonjol. Dengan demikian berbagai bahan mentah yang disediakan oleh Kyai Sholeh Hayat itu merupakan perwujudan dari kalangan santri memandang diri dan dunianya.
Bagi santri ingatan sosial ini sangat penting karena membawa pada kesadaran tentang posisi identitas sosialnya dihadapan kelompok lain, baik di masa lampau maupun kini. Di sana terdapat nilai yang harus dipertahankan dan yang harus ditinggal.
Sebagaimana idiom yang diyakini oleh kalangan santri al muhafadhatu ‘ala qodimish sholih wal akhdzu bi jadidil ashlah (memelihara nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik). Sekali lagi, hal ini membutuhkan sentuhan proses kerja menarasikan berbagai dokumen yang telah tersedia tersebut, untuk kemudian bisa dibaca secara luas.
Gerakan literasi yang sudah diletakkan pondasinya oleh Kyai Sholeh Hayat dengan membangun kearsipan perlu diteruskan dan dikembangkan dengan memberinya interpretasi baru tentang masa lampau dan kini. Hal ini akan membawa kesadaran baru, mengingat santri hari ini sudah berdiaspora, tidak hanya dalam arti tempat, tapi juga pemikiran yang sudah semakin berkembang. Dan peranan santri di negeri ini perlu ditonjolkan ketimbang “terkubur” kembali dalam lipatan-lipatan ingatan masyarakat yang lama-kelamaan menjadi mitos. Imam Kusnin Ahmad.
Arsip, dalam studi ilmu-ilmu sosial, khususnya sejarah merupakan hal yang paling mendasar. Siapa yang menguasi arsip dan mampu menarasikan dialah yang akan menentukan perjalanan suatu bangsa ke depan. Termasuk, siapa yang mampu memalsukan arsip (yang itu kemudian diyakini oleh para pecintanya), dari situlah sejarah suatu bangsa juga akan berjalan sesuai dengan narasi baru.
Arsip bukan semata-mata sebagai sumber informasi untuk penulisan suatu laporan kerja. Lebih jauh dari itu, arsip juga baik digunakan untuk proses perencanaan, analisa suatu peristiwa sosial, perumusan kebijakan, serta pengambilan keputusan. Dan yang paling penting dari itu semua, arsip merupakan pengejawantahan dari rasa tanggung jawab satu generasi pada generasi yang akan datang.
Oleh karena itu, jika ingin melihat kemajuan suatu bangsa lihatlah tata kelola bagaimana suatu negara melakukan pengarsipan. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masih minim perhatiannya terhadap proses pengarsipan. Hal itu tampak jelas pada politik anggaran terhadap tata kelola arsip yang jauh dari harapan. Arsip hanya dianggap sebagai pelengkap dari proses administrasi yang lebih luas.
Bahkan proses pengarsipan belum melibatkan partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Padahal proses kerja mengumpulkan dokumen apapun bentuknya kemudian menatanya adalah tindakan yang sangat signifikan untuk tata kelola bernegara. Terlebih jika tindakan tata kelola pengarsipan tersebut dilakukan oleh seorang individu dan mandiri tanpa dukungan negara. Hanya merupakan kesadaran pribadi saja.
Tindakan mengarsipkan semua dokumen oleh individu tersebut, tidak bisa hanya dinyatakan bahwa individu tersebut sedang merekam satu proses perjalanan suatu masyarakat dalam bentuk arsip, tapi juga menyimpan satu collective memory yang ada pada suatu kurun zaman. Ini adalah satu proses yang nantinya melahirkan kesadaran sejarah.
Di Indonesia, tidak banyak individu yang mengabadikan dirinya untuk melakukan tindakan sadar mengumpulkan dokumen tertulis, rekaman suara, coretan, gambar/foto, film dan lain sebagainya. Terlebih lagi tindakan ini dilakukan tanpa dukungan negara, sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab pada pengelolaan arsip. Adalah Kyai Sholeh Hayat, seorang kyai sederhana yang tinggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Beliau hingga akhir hayatnya, Kyai Sholeh Hayat masih mengabdikan dirinya menjadi pengurus PWNU Jawa Timur. Beliau seorang aktifis politik yang memiliki perhatian pada perkembangan NU, dari sejak belia. Kendati begitu menjadi pribadi yang unik karena dikenal sebagai tokoh NU yang memiliki perhatian pada menyimpan semua dokumen dan berita tentang NU. Kyai yang arsiparis swasta.
Perhatian pada arsip yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Hayat pada dasarnya adalah menangkap kekuatan sosial yang sedang bekerja dari berbagai “ritus” peristiwa yang menopang proses sejarah, yang itu direkamnya dalam tindakan pengarsipannya.
Bisa jadi yang dilakukan tidak sebesar itu, sekedar collect and record (mengumpulkan dan mencatat) karena memang beliau adalah seorang wartawan. Mengumpulkan semua peristiwa khususnya NU kemudian mencatatannya belum tahu untuk kepentingan apa?
Kerja jurnalistik yang beliau emban kemudian ditingkatkan menjadi penyimpanan arsip, dengan berbagai memori yang ada didalamnya. Tentu saja tidak mudah, karena Kyai Sholeh Hayat hidup di dalam komunitas NU dan Pesantren yang terkenal dengan tradisi membaca kitab kuning dan oral story-nya.
Komunitas ini untuk menarasikan peran dan tindakannya dalam kehidupan masyarakat masih sangat minim. Sehingga banyak peristiwa yang tidak tercatat dengan baik peran komunitas ini dalam Historiogra Indonesia.
Proses kerja pengarsipan yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Hayat ini, sayangnya tidak diikuti kegiatan lanjutan, yakni menarasikan ulang dokumen-dokumen yang telah tersedia dengan baik. Banyak peristiwa masa lampau yang membutuhkan sentuhan narasi berdasar atas dokumen yang tersedia di Kyai Sholeh Hayat.
Bukankah sejarah merupakan proses interaksi secara terus menerus, antara masyarakat dengan fakta-faktanya, dialog tanpa akhir antara masa kini dengan masa lampau, dalam rangka mengetahui keadaan masyarakatnya di masa lampau dan proses evolusinya. Pada titik ini sejarah telah memberi pelajaran untuk bertindak lebih baik di masa depan.
Memang tradisi literasi yang berbasis sastra di komunitas nahdliyyin bisa dikatakan masih terus berkembang pesat. Hal ini merupakan kelanjutan dari kajian-kajian di Pesantren yang banyak mempelajari karya sastra. Penyajian teks di pesantren bahasanya sedikit banyak lebih nyastra, ketimbang narasi yang berbasis pada ketersediaan arsip dan dokumen.
Peranan santri dalam pertempuran 10 Nopember 1945 hampir hanya sebatas oral story (cerita lisan). Buku wartawan senior Des Alwi yang menarasikan peristiwa pertempuran di Surabaya pada November 1945 dan bagaimana terbunuhnya Jenderal Mallaby tidak sedikit pun menyinggung peranan santri dalam peristiwa yang melahirkan hari Pahlawan itu, terlebih lagi adanya peranan Fatwa Resolusi Jihad.
Mengenai isu nation state, demokrasi serta hubungan antara negara dan agama, keterlibatan dari kalangan santri NU tidak bisa dinafikan. Bahkan di pesantren-pesantren berbagai isu tersebut juga menjadi “makanan” yang dibahas oleh santri.
Di level elit NU kita mengenal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi media darling dalam mengawal isu-isu di atas. Akan tetapi ada banyak kyai lokal yang membicarakan hal itu hingga di level pesantren kampong. Karenanya kalangan pesantren sudah bisa menerima berbagai pemikiran yang konon dari barat itu, padahal sudah menjadi kajian dalam berbagai kitab kuning.
Begitu juga dengan isu-isu yang terkait dengan kesejahteraan petani, buruh dan nelayan. Hampir semua isu tersebut tercatat dengan rapi di berbagai media dan dokumen yang diarsipkan dengan baik oleh Kyai Sholeh Hayat. Dengan demikian seharusnya, membangun tradisi literasi dikalangan anak muda NU tidak bisa dipisahkan oleh peranan Kyai Sholeh Hayat.
Sebagaimana disebutkan di atas, apa yang dilakukan oleh Kyai Sholeh Hayat adalah semacam menata “artefak” sebagai perwujudan memori kolektif suatu masyarakat. Upaya yang dilakukan Kyai Sholeh Hayat (walau hanya berupa menyimpan dokumen dan lain-lain) merupakan satu bangunan yang bisa dijadikan ingatan bersama masyarakat pada zamannya.
Catatan-catatan yang disimpan rapi itu merupakan gambaran yang komprehensif dan orisinil, serta tidak bias dengan berbagai kepentingan hari ini. Evolusi suatu masyarakat santri dari periode ke periode bisa dibaca dari kumpulan arsip yang tersimpan di Bangil tersebut. Harapannya adalah arsip adalah kumpulan tulisan yang harus dibaca lagi, bukan betul-betul menjadi artefak yang kecenderungannya menjadi tempat wisata.
Kendati begitu, berbagai dokumen yang tersimpan di rumah Kyai Sholeh Hayat tersebut membutuhkan sentuhan kreatif dari kalangan santri untuk rekonstruksi dan narasi ulang, tentu saja sesuai dengan tema yang beragam. Tidak hanya dibaca dan diceritakan bahwa terdapat arsip NU yang dikumpulkan secara individual dan mandiri. Berbagai dokumen tersebut harus ditata ulang, diinterpretasikan, dikritik dan ditulis ulang.
Pada akhirnya dokumen tersebut menunjukkan bagaimana identitas santri berperan aktif dalam setiap peristiwa sejarah masa lampau. Bahkan terdapat berbagai peristiwa peran santri bisa dikatakan paling menonjol. Dengan demikian berbagai bahan mentah yang disediakan oleh Kyai Sholeh Hayat itu merupakan perwujudan dari kalangan santri memandang diri dan dunianya.
Bagi santri ingatan sosial ini sangat penting karena membawa pada kesadaran tentang posisi identitas sosialnya dihadapan kelompok lain, baik di masa lampau maupun kini. Di sana terdapat nilai yang harus dipertahankan dan yang harus ditinggal.
Sebagaimana idiom yang diyakini oleh kalangan santri al muhafadhatu ‘ala qodimish sholih wal akhdzu bi jadidil ashlah (memelihara nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik). Sekali lagi, hal ini membutuhkan sentuhan proses kerja menarasikan berbagai dokumen yang telah tersedia tersebut, untuk kemudian bisa dibaca secara luas.
Gerakan literasi yang sudah diletakkan pondasinya oleh Kyai Sholeh Hayat dengan membangun kearsipan perlu diteruskan dan dikembangkan dengan memberinya interpretasi baru tentang masa lampau dan kini.
Hal ini akan membawa kesadaran baru, mengingat santri hari ini sudah berdiaspora, tidak hanya dalam arti tempat, tapi juga pemikiran yang sudah semakin berkembang. Dan peranan santri di negeri ini perlu ditonjolkan ketimbang “terkubur” kembali dalam lipatan-lipatan ingatan masyarakat yang lama-kelamaan menjadi mitos.
***
*) Oleh : Dr. Tri Chandra Aprianto, Sejarawan Universitas Jember dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian (LPPNU) PBNU.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |