https://malang.times.co.id/
Opini

QRIS dan GPN Pilar Kedaulatan Digital di Tengah Arus Globalisasi

Sabtu, 03 Mei 2025 - 08:21
QRIS dan GPN Pilar Kedaulatan Digital di Tengah Arus Globalisasi Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan

TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Digitalisasi dalam semua bidang telah menjadi era baru dunia termasuk kedaulatan ekonomi sebuah bangsa. Bukan lagi tentang barang fisik seperti wilayah maupun potensi alamnya, kedaulatan ekonomi mulai bergeser ke arah digital salah satunya sistem pembayaran digital. 

Amerika Serikat dalam laporannya secara terang-terangan mengajukan kritik dan keberatan sistem QRIS dan GPN yang diterapkan di Indonesia. Mereka menganggap dua mekanisme pembayaran tersebut sebagai bentuk proteksionisme dan menghambat perdagangan bebas dengan membatasi perusahaan asing seperti VISA dan MASTERCARD untuk bersaing. 

Melalui Laporan USTR (Office of the United States Trade Representative) Kedua sistem ini adalah bentuk diskriminasi terhadap perusahaan asing karena berakibat sulitnya perusahaan asing bersaing dengan QRIS dan GPN. Bagi mereka tidak sepatutnya Indonesia melakukan proteksionisme sehingga menghambat inovasi dan kompetisi yang menjadi ruh dari perdagangan bebas.

Kita harus membaca bahwa kritik tersebut tidak bebas nilai. Amerika Serikat sejatinya memiliki kepentingan untuk mempertahankan dominasinya melalui perusahaan-perusahaan global miliknya terutama di bidang teknologi. Hal yang sangat wajar apabila mereka marah karena bisa kalah di bidang yang menjadi kebanggannya yaitu teknologi terlebih keuangan digital. 

Dalam konteks geoekonomi, siapa yang menguasai sistem pembayaran, artinya mereka juga memiliki data tentang arus uang, perilaku konsumen, kesehatan keuangan negara hingga kebijakan ekonomi negara tersebut. Sistem pembayaran digital bukan hanya tentang uang tetapi tentang data dan informasi  kondisi kesehatan keuangan negara. 

QRIS dan GPN bukan hanya tentang metode pembayaran digital yang bertujuan memudahkan konsumen domestik. Keduanya adalah bentuk usaha negara untuk membangun sovereign payment system. Pemerintah bertujuan membangun sistem pembayaran yang tidak bergantung pada infrastruktur dari luar negeri. 

Melalui QRIS, integrasi pembayaran digital lintas platform seperti bank konvensional, virtual bank, e-wallet bahkan marketplace bisa dimungkinkan melalui satu standar nasional. Sementara GPN menjadikan transaksi antar bank bisa dilakukan melalui jaringan domestik tanpa bergantung pada jaringan perusahaan asing seperti Visa maupun Mastercard. 

Bank Indonesia selaku regulator moneter Indonesia menyatakan bahwa dibangunnya QRIS dan GPN untuk dapat terciptanya efisiensi, inklusi keuangan, dan menjaga informasi transaksi tetap terjaga kerahasiaannya. Hal ini dimungkinkan karena infrastruktur yang dibangun berada dalam yurisdiksi dalam negeri. 

Berbeda dengan perusahaan asing yang tidak bisa dijangkau oleh hukum Indonesia. Dalam konteks ini saja kita bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dianggap sebagai proteksionisme namun lebih kepada upaya pemerintah dalam melindungi kepentingan ekonomi nasional.

Dalam teori strategic trade policy dijelaskan bahwa setiap negara memiliki hak untuk membangun industri strategisnya dengan tujuan mendukung pengusaha lokal. Globalisasi yang menjadi nilai universal semua negara harus juga memiliki aturan yang berkeadilan dengan memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan nasional mereka. 

Jika Amerika Serikat bisa menerapkan larangan terhadap beberapa perusahaan asing seperti Huawei atas dasar kepentingan nasional, mengapa Amerika keberatan jika Indonesia berusaha untuk melindungi informasi strategis nasionalnya. 

Mengapa Indonesia tidak boleh membangun sistem pembayaran digitalnya dan berusaha bersaing dari perusahaan asing yang selama ini sudah mendominasi. Kritik Amerika terhadap QRIS dan GPN sangat ironis dan paradoksal jika bercermin terhadap kebijakan mereka sendiri. 

Indonesia sebagai negara besar harus mampu menjawab kritik ini secara strategis alih-alih reaktif apalagi defensif. Selayaknya pemerintah memiliki dokumen penjelasan yang komprehensif berdasarkan hukum, akademik dan juga praktik internasional yang bisa menjadi alasan hadirnya QRIS dan GPN untuk pembangunan kemandirian nasional.

Indonesia bukan anti terhadap kerja sama global. Akan tetapi bukankah kerja sama juga harus dibangun berdasarkan asas kesetaraan, bukan subordinasi apalagi penjajahan. Karena bangsa yang merdeka bukan hanya tentang mandiri mengelola tanah dan airnya, namun juga mandiri dalam menguasai informasi dan teknologinya sendiri. 

Pemerintah juga bisa memanfaatkan hal ini sebagai momentum untuk meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia terhadap produk dan sistem keuangan dalam negeri. Pemerintah harus dengan tegas membela keberadaan QRIS dan GPN agar masyarakat yakin bahwa apa yang mereka pergunakan sehari-hari adalah produk asli dalam negeri. Hal itu perlu digencarkan agar masyarakat Indonesia lebih terdorong memilih transaksi sehari-hari melalui QRIS dan GPN daripada produk asing.

Hal ini penting, karena tantangan besar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah jebakan inferioritas. Selama ini kita sudah dicekoki produk-produk asing dan mengidentifikasi diri kita tidak mampu berdiri sendiri dan menjadi pasar dari produk-produk negara maju. 

Dalam teori Dependency Theory dijelaskan bahwa sistem globalisasi cenderung membuat negara berkembang bergantung pada negara maju. Oleh karena itu, ketika Indonesia berusaha membangun kemandirian, negara-negara maju akan bertindak agresif adalah hal yang bisa dipahami. Walaupun demikian bukan menjadi alasan bagi kita untuk mundur. 

Kritik Amerika terhadap QRIS dan GPN sebenarnya bisa dianggap bahwa apa yang dibangun oleh Indonesia sudah benar dan substantif. Semakin besar penolakan dari asing artinya semakin penting keberadaan sistem tersebut. 

Dalam hal ini pemerintah harus satu suara bersama masyarakat untuk mempertahankan produk keuangan digital Indonesia yang menjadi kebanggan nasional. Perjuangan inilah yang menjadi simbol perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan di era digital.

***

*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.