TIMES MALANG, MALANG – Di tengah gemuruh pembangunan yang kerap berpusat di kota, desa sering kali hanya menjadi gema yang terlambat sampai. Padahal, di sanalah denyut awal ekonomi bangsa berdegup. Sawah, ladang, pasar tradisional, dan kerja gotong royong adalah fondasi yang selama ini menopang Indonesia.
Kehadiran Koperasi Merah Putih di ruang ekonomi desa sesungguhnya bukan sekadar program kelembagaan, melainkan upaya menyalakan kembali api kemandirian yang lama redup tertiup arus kapitalisme besar.
Koperasi, sejak awal kelahirannya, adalah bahasa ekonomi rakyat. Ia lahir dari kesadaran bahwa kesejahteraan tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas yang dingin dan eksklusif.
Koperasi Merah Putih membawa simbol yang tegas: merah sebagai keberanian, putih sebagai kejujuran. Dua warna yang semestinya menjadi etika dasar pengelolaan ekonomi desa berani berpihak pada rakyat kecil, jujur dalam tata kelola.
Namun, kehadiran koperasi di desa bukan tanpa sejarah kelam. Tak sedikit koperasi yang tumbuh sekadar papan nama, hidup di atas kertas, tetapi mati dalam praktik. Ada koperasi yang berubah menjadi “bank kecil” dengan bunga mencekik, ada pula yang menjadi alat elite lokal untuk menguasai sumber daya.
Karena itu, Koperasi Merah Putih harus berangkat dari refleksi kritis: apakah ia akan menjadi lokomotif ekonomi desa, atau sekadar gerbong tambahan dalam birokrasi pembangunan.
Secara ideal, koperasi desa adalah ruang kolektif untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi warga. Petani tidak lagi berdiri sendiri menghadapi tengkulak, nelayan tidak sendirian melawan fluktuasi harga, pelaku UMKM tidak tercekik modal dan distribusi.
Koperasi menjadi jembatan antara produksi dan pasar, antara keringat rakyat dan nilai tambah yang adil. Dalam koperasi, keuntungan bukan milik segelintir, melainkan kembali ke anggota sebagai pemilik sejati.
Koperasi Merah Putih memiliki peluang besar untuk menjadi episentrum ekonomi lokal. Desa hari ini tidak lagi miskin potensi, yang kerap miskin adalah sistem. Hasil pertanian melimpah, tetapi harga jatuh.
Produk UMKM kreatif tumbuh, tetapi pasar terbatas. Di sinilah koperasi seharusnya hadir sebagai arsitek distribusi dan nilai tambah mengelola pascapanen, membuka akses pasar, hingga memanfaatkan teknologi digital secara kolektif.
Namun, koperasi tidak boleh sekadar meniru logika korporasi besar. Jika koperasi berubah menjadi miniatur kapitalisme, maka ruh kebersamaan akan mati.
Koperasi harus menjaga prinsip demokrasi ekonomi: satu anggota satu suara, transparansi pengelolaan, dan akuntabilitas yang bisa diawasi bersama. Tanpa itu, koperasi hanya akan menjadi simbol kosong yang kehilangan kepercayaan warga.
Kritik juga perlu diarahkan pada pola pendampingan. Koperasi desa sering kali dibebani target administratif tanpa dibekali penguatan kapasitas. Pengurus dipilih tanpa pelatihan memadai, laporan keuangan menjadi beban, dan semangat gotong royong tergilas oleh urusan teknis. Koperasi Merah Putih harus didampingi bukan sekadar diawasi. Negara dan pemerintah daerah perlu hadir sebagai fasilitator pengetahuan, bukan sekadar regulator.
Lebih jauh, koperasi desa harus berani membaca zaman. Ekonomi lokal hari ini tidak bisa menutup diri dari arus global dan digital. Namun, digitalisasi harus dipahami sebagai alat, bukan tujuan.
Koperasi bisa memanfaatkan platform digital untuk pemasaran, pencatatan keuangan, dan jaringan distribusi, tanpa kehilangan akar lokalnya. Teknologi seharusnya memperpendek rantai distribusi, bukan memperlebar jarak antara pengurus dan anggota.
Di sisi lain, warga desa pun harus ditempatkan sebagai subjek, bukan objek. Koperasi tidak bisa dipaksakan dari atas. Ia harus tumbuh dari kebutuhan nyata warga, dari kesadaran bahwa bersatu lebih kuat daripada berjalan sendiri. Pendidikan koperasi menjadi kunci bukan sekadar sosialisasi, melainkan proses membangun kesadaran ekonomi kolektif.
Koperasi Merah Putih juga memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan ekonomi desa. Di tengah gempuran modal besar dan ekspansi ritel modern, koperasi bisa menjadi benteng yang melindungi ekonomi lokal agar tidak tersedot keluar desa. Ketika uang berputar di desa, kesejahteraan tidak lagi menjadi ilusi, melainkan pengalaman nyata.
Koperasi Merah Putih adalah ujian bagi keseriusan kita membangun ekonomi dari pinggiran. Ia bukan obat mujarab yang bekerja instan, tetapi proses panjang yang menuntut konsistensi, kejujuran, dan keberanian. Jika dikelola dengan benar, koperasi bukan hanya menggerakkan roda ekonomi, tetapi juga menumbuhkan martabat warga desa sebagai pelaku utama pembangunan.
Desa yang kuat secara ekonomi akan melahirkan bangsa yang berdaulat. Dan koperasi, jika kembali pada jati dirinya, adalah lentera yang mampu menerangi jalan itu pelan, tetapi pasti.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif ATI 2024 TIMES Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |