https://malang.times.co.id/
Opini

Retak Keadilan di Rumah Pendidikan

Senin, 29 Desember 2025 - 16:14
Retak Keadilan di Rumah Pendidikan Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Pendidikan adalah rumah besar bernama peradaban. Di dalamnya, guru dan dosen sejatinya adalah dua pilar yang saling menyangga. Guru menanam benih, dosen merawat dan mengembangkannya. Namun hari ini, rumah itu terasa pincang. 

Ketika sebagian dosen lantang menggugat upah dan tunjangan yang dianggap tidak layak, guru terutama di jenjang dasar dan menengah justru kerap terabaikan dalam senyap. Di sinilah keadilan pendidikan diuji, bukan dalam pidato, tetapi dalam kebijakan nyata.

Fenomena dosen menggugat upah bukan tanpa alasan. Beban kerja dosen hari ini kian kompleks: mengajar, meneliti, mengabdi, mengejar publikasi, memenuhi indikator kinerja, dan bergulat dengan administrasi yang menumpuk seperti berkas tak berujung. 

Dosen dituntut berkelas dunia, tetapi sering kali difasilitasi ala kadarnya. Dalam konteks ini, tuntutan kesejahteraan terdengar wajar bahkan sah sebagai bagian dari hak profesional.

Namun persoalan menjadi getir ketika tuntutan itu berdiri sendiri, terlepas dari potret ketimpangan yang lebih luas. Di lapisan bawah sistem pendidikan, jutaan guru masih berjibaku dengan upah yang jauh dari kata layak. 

Guru honorer bertahun-tahun mengabdi dengan gaji yang nyaris tak mampu membeli buku pelajaran. Mereka mengajar pagi hari, bekerja sambilan sore hari, dan tetap datang ke kelas esoknya dengan senyum yang dipaksakan. Ironisnya, jerih payah mereka jarang masuk headline.

Ketimpangan ini bukan sekadar soal nominal gaji, melainkan soal hierarki perhatian negara. Dosen yang relatif memiliki akses suara, jaringan, dan ruang advokasi lebih mudah terdengar. 

Guru, terutama di daerah dan sekolah swasta kecil, sering kali hanya menjadi angka statistik dalam laporan kebijakan. Suara mereka tenggelam sebelum sempat naik ke permukaan.

Di sinilah ironi pendidikan menampakkan wajahnya. Pendidikan yang mengajarkan keadilan justru mempraktikkan ketimpangan. Guru adalah fondasi awal yang membentuk karakter, literasi, dan daya pikir anak bangsa. 

Tanpa guru yang sejahtera, kualitas pendidikan ibarat bangunan megah yang berdiri di atas tanah rapuh. Dosen mungkin memperindah menara pengetahuan, tetapi guru memastikan pondasinya tidak retak.

Ada persoalan struktural yang tak bisa diabaikan. Sistem remunerasi pendidikan di Indonesia tumbuh dengan logika sektoral, bukan ekosistem. Dosen dan guru diperlakukan seolah berada di dunia yang terpisah, padahal keduanya adalah mata rantai yang tak terputus. Ketika satu mata rantai diperkuat sementara yang lain dibiarkan aus, sistem akan pincang. Keadilan parsial hanya akan melahirkan kecemburuan dan ketidakpercayaan.

Lebih jauh, fenomena ini juga memunculkan pertanyaan etik: apakah perjuangan kesejahteraan dosen telah disertai keberpihakan pada nasib guru? Ataukah perjuangan itu berhenti pada pagar kepentingan sendiri? Kritik ini bukan untuk meniadakan hak dosen, melainkan untuk mengingatkan bahwa pendidikan adalah kerja kolektif. Perjuangan yang etis seharusnya inklusif, bukan eksklusif.

Guru bukan sekadar pelaksana kurikulum. Mereka adalah penjaga nilai, penenun karakter, dan pendamping psikologis generasi muda. Ketika guru diabaikan, yang tergerus bukan hanya kesejahteraan individu, tetapi kualitas masa depan bangsa. Anak-anak belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari teladan. Dan sulit berharap teladan tumbuh subur dari ketidakadilan yang dipelihara.

Negara tidak boleh terus bermain tambal sulam. Kebijakan kesejahteraan pendidik harus dirancang sebagai satu tarikan napas menyeluruh, adil, dan berkelanjutan. 

Reformasi pendidikan tidak cukup dengan menaikkan indikator kinerja atau mengejar peringkat global. Ia harus dimulai dari keberanian menata ulang prioritas: memastikan guru hidup layak, dan dosen bekerja bermartabat.

Di sisi lain, solidaritas antarpendidik perlu dibangun ulang. Dosen dan guru seharusnya berdiri dalam satu barisan moral. Suara dosen yang lantang semestinya menjadi pengeras bagi suara guru yang terpinggirkan. Jika tidak, perjuangan kesejahteraan akan terjebak menjadi kompetisi korban, bukan koalisi perubahan.

Pendidikan tidak boleh menjadi arena ketimpangan yang dilegitimasi. Rumah pendidikan hanya akan kokoh jika semua pilarnya diperlakukan adil. Dosen yang sejahtera dan guru yang dihargai adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Mengabaikan salah satunya berarti merobek wajah keadilan pendidikan itu sendiri.

Pertanyaannya kini bukan siapa yang lebih berhak, melainkan bagaimana negara dan para pendidik bersama-sama merumuskan keadilan yang utuh. Sebab masa depan bangsa tidak lahir dari ruang kelas elit semata, tetapi dari tangan-tangan guru yang setia mengajar dalam keterbatasan dan dari dosen yang memilih memperjuangkan kesejahteraan dengan nurani, bukan ego sektoral.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.