https://malang.times.co.id/
Opini

Pajak yang Menjadi Beban Dagang

Senin, 29 Desember 2025 - 17:29
Pajak yang Menjadi Beban Dagang Jakfar Shodiq, Mahasiswa Internasional Master Program in National Pingtung University Taiwan.

TIMES MALANG, MALANG – Pajak sejatinya adalah napas negara. Dari sanalah jalan dibangun, sekolah ditegakkan, dan layanan publik dihidupkan. Namun bagi banyak pelaku usaha terutama skala kecil dan menengah pajak kerap terasa bukan sebagai napas, melainkan sebagai beban di dada. Ia hadir bukan sebagai gotong royong kebangsaan, melainkan sebagai angka-angka yang menekan arus kas, menggerus modal, dan menambah kecemasan di tengah iklim usaha yang tak selalu ramah.

Di atas kertas, pajak adalah kewajiban konstitusional yang adil. Setiap warga negara dan badan usaha yang memperoleh penghasilan wajib menyumbang bagi negara. Namun di lapangan, keadilan pajak sering kali terasa timpang. 

Pelaku usaha kecil harus bergulat dengan administrasi yang rumit, tarif yang dirasa memberatkan, serta sanksi yang tegas, sementara pelaku usaha besar kerap memiliki ruang negosiasi, celah regulasi, bahkan fasilitas insentif yang sulit dijangkau usaha kecil.

Bagi pelaku UMKM, pajak kerap datang seperti tamu tak diundang di saat yang tidak tepat. Saat omzet turun, biaya produksi naik, dan pasar lesu, kewajiban pajak tetap mengetuk pintu. Negara menuntut kepatuhan, tetapi sering lupa memastikan kemampuan. Akibatnya, pajak terasa seperti hukum yang dingin tepat secara normatif, tetapi jauh dari empati ekonomi.

Masalahnya bukan semata besaran tarif, melainkan kompleksitas sistem. Formulir, laporan berkala, aplikasi daring, hingga istilah teknis membuat pajak seperti labirin administratif. Bagi pelaku usaha kecil yang lebih akrab dengan kalkulator sederhana ketimbang konsultan pajak, sistem ini bukan sekadar menantang, tetapi menakutkan. Ketakutan melahirkan kepatuhan semu: bayar karena takut sanksi, bukan karena memahami makna kontribusi.

Ironi semakin terasa ketika pajak dipungut tanpa diiringi rasa kehadiran negara. Pelaku usaha membayar pajak, tetapi jalan rusak tetap berlubang, perizinan berbelit, dan perlindungan usaha lemah. Di titik inilah kepercayaan retak. Pajak yang seharusnya menjadi ikatan sosial berubah menjadi transaksi sepihak: negara menagih, pelaku usaha mengalah.

Kritik terhadap pajak sering disalahpahami sebagai sikap anti-negara. Padahal, banyak pelaku usaha tidak menolak pajak, mereka menolak ketidakadilan. Mereka ingin sistem yang proporsional, sederhana, dan manusiawi. Pajak yang tumbuh bersama usaha, bukan pajak yang mencekik saat usaha terengah.

Dalam konteks ini, kebijakan pajak perlu ditinjau bukan hanya dengan logika fiskal, tetapi juga logika keberlanjutan ekonomi. Negara harus menyadari bahwa pelaku usaha adalah mitra, bukan objek pemungutan. Usaha yang sehat akan menghasilkan pajak yang berkelanjutan. Sebaliknya, usaha yang tertekan hanya akan melahirkan kepatuhan semu, penghindaran, atau bahkan gulung tikar.

Ada dimensi moral yang sering terabaikan. Ketika pelaku usaha melihat kasus korupsi, pemborosan anggaran, dan proyek-proyek mubazir, semangat membayar pajak ikut luntur. Pajak kehilangan makna gotong royong ketika hasilnya tidak kembali dalam bentuk pelayanan dan keadilan. Di sinilah transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci. Negara tidak cukup pandai menagih, tetapi harus jujur dalam membelanjakan.

Pajak juga harus adaptif terhadap realitas ekonomi yang dinamis. Di era digital, banyak usaha mikro bergerak cepat, informal, dan fleksibel. Memaksakan pendekatan pajak konvensional pada ekosistem baru hanya akan menimbulkan friksi. Negara perlu merancang skema pajak yang inklusif memberi insentif pada tahap awal, pendampingan administratif, dan tarif yang bertahap seiring pertumbuhan usaha.

Di sisi lain, pelaku usaha juga perlu membangun kesadaran bahwa pajak adalah bagian dari kontrak sosial. Jalan tengah hanya mungkin tercapai jika kedua belah pihak bergerak. Negara memperbaiki sistem dan pelayanan, pelaku usaha meningkatkan kepatuhan berbasis pemahaman, bukan ketakutan.

Pajak tidak boleh dipersepsikan sebagai palu yang menghantam, tetapi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan negara dan dunia usaha. Jembatan itu hanya kokoh jika dibangun dengan keadilan, kepercayaan, dan dialog.

Jika pajak terus diperlakukan sebagai beban, ekonomi akan berjalan tertatih. Namun jika pajak dikelola sebagai instrumen keadilan, ia akan menjadi energi kolektif yang menggerakkan bangsa. 

Kini, apakah negara siap mendengar keluhan pelaku usaha, dan apakah pelaku usaha siap melihat pajak sebagai investasi sosial? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan arah ekonomi kita ke depan.

***

*) Oleh : Jakfar Shodiq, Mahasiswa Internasional Master Program in National Pingtung University Taiwan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.