TIMES MALANG, MALANG – Ada yang ganjil dalam lanskap keagamaan kita hari ini. Mimbar semakin ramai, panggung semakin terang, tetapi kedalaman ilmu justru terasa menipis. Sosok yang disebut “kiai muda” atau “Gus” bermunculan dengan cepat, dielu-elukan sebelum benar-benar ditempa. Mereka naik ke panggung publik dengan balutan simbol kesalehan, namun sering kali meninggalkan ruang belajar yang seharusnya menjadi rahim lahirnya seorang alim.
Judul ini memang terdengar keras, tetapi kenyataan sering kali lebih keras dari kata-kata. Bukan semua kiai muda kosong ilmu, tentu saja. Namun fenomena kiai muda yang lebih dikenal karena citra, bukan karena kapasitas keilmuan, kini tak bisa lagi diabaikan. Panggung telah menggoda, dan tidak semua orang kuat menolak godaannya.
Dalam tradisi Islam klasik, seorang alim lahir dari proses panjang yang sunyi. Ia duduk berjam-jam dalam halaqah, menekuri kitab demi kitab, menata adab sebelum menguasai dalil. Nabi Muhammad SAW mengajarkan ilmu bukan dari singgasana, melainkan dari lingkaran sederhana, tempat murid dan guru duduk setara. Halaqah bukan sekadar metode belajar, melainkan disiplin spiritual: belajar untuk rendah hati.
Namun hari ini, halaqah sering kalah oleh panggung. Proses dikalahkan oleh popularitas. Ilmu yang seharusnya dipetik dengan kesabaran, kini dipanen secara instan. Seseorang bisa dikenal sebagai penceramah sebelum benar-benar selesai belajar. Sanad keilmuan tak lagi ditanya, yang penting viral dan punya jamaah.
Panggung kiai muda pun menjadi paradoks. Semakin tinggi sorotan, semakin dangkal isi. Dalil dipotong-potong agar cocok dengan selera massa. Tafsir dipermudah hingga kehilangan makna. Agama disulap menjadi pertunjukan retorika, bukan ruang pendalaman makna. Di sinilah ilmu mulai mengosong, digantikan oleh kepercayaan diri yang tak selalu disertai kompetensi.
Lebih berbahaya lagi, sebagian mimbar keagamaan justru menjadi arena polarisasi. Ada oknum kiai dan habib yang bukan meneduhkan, tetapi memanaskan. Bukan menyatukan, tetapi membelah.
Mereka mengutip ayat dan hadis bukan untuk mendidik akal dan akhlak, melainkan untuk membenarkan sikap eksklusif. Agama pun kehilangan wajah rahmatnya, berganti wajah amarah.
Ironisnya, umat sering kali ikut larut. Kita terlalu cepat mengkultuskan figur, terlalu malas menguji isi. Suara lantang dianggap tanda kebenaran. Busana religius disamakan dengan kedalaman ilmu. Padahal, dalam khazanah Islam, ilmu tidak diukur dari kerasnya suara, melainkan dari ketenangan sikap dan keluasan hikmah.
Panggung kiai muda yang kosong ilmu sejatinya adalah cermin kegagalan kolektif. Gagalnya lembaga pendidikan menjaga standar keilmuan. Gagalnya tokoh agama menahan diri sebelum pantas bicara. Dan gagalnya umat dalam membedakan mana ulama, mana selebritas religius. Kita terjebak dalam budaya serba cepat, termasuk dalam urusan yang seharusnya paling hati-hati: agama.
Padahal, para ulama besar dahulu justru dikenal karena kehati-hatiannya. Mereka takut berbicara tanpa dasar. Tak jarang menolak tampil sebelum merasa cukup ilmu. Imam Malik, misalnya, lebih sering menjawab “tidak tahu” daripada memaksakan jawaban. Hari ini, “tidak tahu” justru dianggap kelemahan, bukan kejujuran ilmiah.
Kritik ini bukan ajakan untuk memusuhi kiai muda. Usia muda bukan dosa, dan regenerasi ulama adalah keniscayaan. Yang dikritik adalah mentalitas instan: ingin diakui sebelum layak, ingin didengar sebelum selesai belajar. Kiai muda seharusnya menjadi simbol harapan, bukan simbol kegaduhan.
Maka yang dibutuhkan bukan pembungkaman, melainkan pembenahan. Tradisi halaqah harus dihidupkan kembali, bukan sebagai romantisme masa lalu, tetapi sebagai kebutuhan masa depan. Majelis ilmu harus kembali menjadi ruang belajar, bukan sekadar ruang bicara. Santri dan umat perlu diajak mencintai proses, bukan hanya hasil.
Para kiai muda yang tulus juga perlu berani mundur selangkah dari panggung, kembali ke kitab, kembali ke guru, kembali ke disiplin ilmiah. Tidak semua ilmu harus diumumkan, tidak semua pendapat harus dipublikasikan. Ada fase diam yang justru menyelamatkan.
Sementara itu, umat perlu belajar kritis. Bertanya bukan tanda kurang iman, tetapi tanda tanggung jawab. Menguji otoritas keilmuan bukan sikap durhaka, melainkan adab intelektual. Agama terlalu mulia untuk diserahkan pada figur tanpa fondasi.
Jika panggung terus diisi oleh kiai muda yang kosong ilmu, maka umat akan kenyang oleh kata-kata, tetapi lapar oleh makna. Sebaliknya, jika halaqah kembali menjadi jantung pendidikan Islam, maka panggung akan terisi oleh suara yang jernih, bukan bising.
Panggung hanyalah alat. Ilmu adalah isi. Tanpa ilmu, panggung hanya menyisakan gema kosong. Dan agama, sekali lagi, tak butuh lebih banyak sorotan ia butuh lebih banyak kedalaman.
***
*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |