TIMES MALANG, MALANG – Di tengah hiruk-pikuk demokrasi elektoral yang kian gaduh, publik mulai bertanya dengan suara lirih namun tajam: apakah pemilihan kepala daerah secara langsung masih menjadi jalan terbaik bagi demokrasi lokal kita? Ataukah justru telah berubah menjadi panggung mahal yang menguras energi, anggaran, dan persaudaraan?
Wacana pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota melalui DPRD kembali mengapung ke permukaan. Bagi sebagian orang, gagasan ini terdengar seperti kemunduran demokrasi. Namun bagi sebagian publik lainnya, ini justru dianggap sebagai ikhtiar untuk menyelamatkan demokrasi dari luka-luka yang ia ciptakan sendiri.
Pilkada langsung awalnya lahir sebagai janji emansipasi rakyat. Rakyat diberi hak memilih pemimpinnya sendiri, tanpa perantara elit. Namun dalam praktiknya, janji itu kerap terperangkap dalam realitas pahit: politik uang merajalela, polarisasi sosial mengeras, dan kontestasi berubah menjadi ajang adu modal, bukan adu gagasan.
Bagi publik di akar rumput, pilkada sering kali lebih terasa sebagai musim ketegangan ketimbang perayaan demokrasi. Spanduk memenuhi jalan, tetapi ruang dialog kian menyempit. Media sosial menjadi medan tempur, sementara hubungan sosial retak oleh perbedaan pilihan. Demokrasi yang seharusnya mendewasakan, justru kerap memecah-belah.
Belum lagi soal biaya. Pilkada langsung adalah pesta yang mahal. Negara menggelontorkan triliunan rupiah, sementara kandidat menghabiskan ongkos politik yang tak masuk akal. Di ujungnya, publik kerap curiga: bagaimana mungkin biaya sebesar itu tidak “dikembalikan” saat kekuasaan telah diraih? Dari sinilah benih korupsi sering tumbuh, disiram oleh utang politik yang menumpuk.
Dalam konteks inilah, pemilihan kepala daerah melalui DPRD mulai dilihat sebagai opsi yang layak dikaji. Bukan sebagai obat mujarab, tetapi sebagai alternatif di tengah kebuntuan. DPRD, sebagai representasi rakyat hasil pemilu legislatif, dipandang dapat menjadi ruang deliberasi yang lebih rasional—jika dijalankan dengan integritas.
Pandangan publik yang mendukung opsi ini umumnya berangkat dari kelelahan kolektif. Masyarakat lelah dengan konflik horizontal, lelah dengan politik transaksional yang vulgar, dan lelah dengan janji perubahan yang berakhir menjadi kekecewaan. Mereka bertanya: apakah demokrasi harus selalu riuh untuk disebut demokrasi?
Namun kritik terhadap opsi DPRD juga tak kalah keras. Publik yang skeptis mengingatkan bahwa DPRD bukan ruang steril dari kepentingan. Politik dagang sapi, lobi tertutup, dan transaksi kekuasaan bisa saja berpindah dari jalanan ke ruang sidang. Demokrasi berpotensi kehilangan transparansi jika pengawasan publik melemah.
Di sinilah letak persoalan sesungguhnya. Masalah utama bukan semata pada mekanisme langsung atau tidak langsung, melainkan pada kualitas institusi dan budaya politik. Pilkada langsung tanpa pendidikan politik hanya melahirkan kerumunan emosional. Pilkada lewat DPRD tanpa integritas hanya memindahkan arena transaksi.
Dari kacamata publik yang jernih, wacana ini seharusnya tidak dibingkai secara hitam-putih. Demokrasi bukan kitab suci yang tak boleh ditafsir ulang. Ia adalah sistem hidup yang harus dievaluasi sesuai konteks sosial, ekonomi, dan budaya. Ketika satu mekanisme terbukti melahirkan banyak mudarat, mengkajinya ulang bukanlah dosa demokrasi.
Pemilihan melalui DPRD bisa menjadi ruang seleksi yang lebih berbasis kapasitas, jika disertai syarat ketat: transparansi proses, siaran terbuka, partisipasi publik, dan mekanisme akuntabilitas yang kuat. Tanpa itu, wacana ini hanya akan menjadi jalan pintas elit, jauh dari aspirasi rakyat.
Publik juga berhak menuntut agar DPRD dibenahi lebih dulu. Bagaimana mungkin rakyat mempercayakan pilihan kepada lembaga yang masih kerap dipersepsikan sebagai simbol kompromi kepentingan? Reformasi internal partai politik, rekrutmen kader yang meritokratis, dan penegakan etik adalah prasyarat yang tak bisa ditawar.
Di sisi lain, publik perlu diajak jujur bercermin. Pilkada langsung tidak akan sehat jika rakyat mudah dibeli, mudah diadu, dan abai pada rekam jejak. Demokrasi bukan hanya soal hak memilih, tetapi juga tanggung jawab menilai. Tanpa kedewasaan politik, mekanisme terbaik sekalipun bisa runtuh.
Wacana pilkada melalui DPRD adalah cermin kegelisahan publik terhadap praktik demokrasi yang terasa kehilangan arah. Ia bukan seruan untuk kembali ke masa lalu, melainkan ajakan untuk mencari bentuk yang lebih rasional dan beradab.
Demokrasi seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan dan keadilan, bukan arena pertaruhan yang menyisakan luka sosial. Entah melalui pilkada langsung atau DPRD, yang terpenting adalah memastikan satu hal: kekuasaan lahir dari proses yang jujur, diawasi publik, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ritual kosong ramai di awal, sepi dari makna.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |