https://malang.times.co.id/
Opini

Pendidikan dan Mimpi Mobilitas Sosial yang Retak

Sabtu, 20 Desember 2025 - 15:45
Pendidikan dan Mimpi Mobilitas Sosial yang Retak Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Selama puluhan tahun, pendidikan dipercaya sebagai jalan paling rasional untuk mengubah nasib. Sekolah dipahami bukan sekadar ruang belajar, melainkan tangga sosial: semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar peluang keluar dari kemiskinan. 

Narasi ini diwariskan lintas generasi, diajarkan di ruang kelas, disampaikan di mimbar-mimbar kebijakan, dan diyakini sebagai kebenaran umum. Namun, di tengah realitas hari ini, mimpi mobilitas sosial lewat pendidikan mulai menunjukkan retaknya.

Banyak anak muda yang telah menempuh pendidikan formal hingga jenjang tinggi justru berhadapan dengan kenyataan pahit: ijazah tak selalu sejalan dengan pekerjaan layak. Gelar sarjana tidak otomatis menghadirkan stabilitas ekonomi. 

Sekolah dan kampus kerap menjadi ruang akumulasi harapan, tetapi dunia pasca-pendidikan sering kali menjadi arena kekecewaan. Di titik inilah, pendidikan mulai kehilangan daya magisnya sebagai alat pembebasan sosial.

Masalahnya bukan semata pada individu yang dianggap “kurang kompeten”, melainkan pada struktur yang tidak lagi memberi ruang adil bagi semua. Akses pendidikan memang semakin luas, tetapi kualitas dan manfaatnya tidak terdistribusi secara setara. 

Sekolah unggulan, fasilitas memadai, guru berkualitas, hingga jejaring sosial masih menjadi privilese kelompok tertentu. Sementara itu, sebagian besar siswa lainnya hanya memperoleh pendidikan yang sekadar memenuhi administrasi, tanpa benar-benar memperkuat kapasitas hidup.

Di banyak daerah, sekolah lebih sibuk mengejar kelulusan dan nilai ketimbang membangun kecakapan berpikir kritis dan daya adaptasi. Pendidikan direduksi menjadi rutinitas: masuk kelas, ujian, lulus. 

Padahal dunia kerja dan kehidupan sosial menuntut lebih dari sekadar hafalan dan kepatuhan. Ketika sekolah gagal membaca perubahan zaman, siswa dipaksa membawa beban lama ke dalam realitas baru yang sama sekali berbeda.

Retaknya mimpi mobilitas sosial juga dipengaruhi oleh ketimpangan ekonomi yang semakin lebar. Pendidikan, yang semestinya menjadi alat perata, justru kerap mempertegas jurang. Anak dari keluarga mampu dapat mengakses bimbingan belajar, sekolah favorit, kursus bahasa, hingga pengalaman internasional. Sebaliknya, anak dari keluarga sederhana harus puas dengan pilihan terbatas, bahkan sejak titik awal. Dalam kondisi seperti ini, kompetisi menjadi tidak adil sejak garis start.

Ironisnya, negara sering kali merespons persoalan ini dengan pendekatan teknokratis. Kurikulum diganti, sistem evaluasi diperbarui, istilah kebijakan diperindah. Namun substansi persoalan ketimpangan akses, relevansi pendidikan, dan keterhubungan dengan dunia nyata kerap luput dari pembenahan serius. Pendidikan akhirnya berubah menjadi proyek, bukan proses panjang membangun manusia.

Di sisi lain, tekanan terhadap siswa juga semakin kompleks. Mereka dituntut berprestasi, adaptif, kreatif, sekaligus tangguh secara mental, tanpa dukungan ekosistem yang memadai. 

Banyak anak muda mengalami kelelahan struktural: belajar keras, tetapi tidak yakin ke mana arah hidup akan bermuara. Ketika pendidikan tidak lagi menjanjikan mobilitas sosial, motivasi belajar pun perlahan terkikis.

Kondisi ini berbahaya. Ketika kepercayaan publik terhadap pendidikan melemah, yang runtuh bukan hanya sistem sekolah, tetapi juga harapan kolektif. Masyarakat bisa kehilangan pegangan rasional untuk percaya bahwa kerja keras dan pembelajaran jangka panjang masih relevan. Dalam situasi seperti itu, jalan pintas, pragmatisme ekstrem, bahkan sikap apatis menjadi pilihan yang menggoda.

Maka, membenahi pendidikan hari ini tidak cukup dengan jargon inovasi atau digitalisasi semata. Yang lebih mendesak adalah mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat pembebasan sosial yang nyata. 

Sekolah harus kembali menjadi ruang pembentukan nalar, karakter, dan keberanian menghadapi perubahan. Negara perlu memastikan bahwa kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh latar belakang ekonomi, tetapi oleh komitmen sistemik terhadap keadilan.

Pendidikan juga harus lebih jujur pada realitas. Tidak semua orang harus mengikuti jalur yang sama, dan kesuksesan tidak boleh dimonopoli oleh satu definisi. Ketika pendidikan mampu membuka banyak jalan hidup bukan hanya satu tangga sempit maka mimpi mobilitas sosial bisa diperbaiki, meski tidak sepenuhnya utuh.

Retaknya mimpi mobilitas sosial bukan alasan untuk menyerah pada pendidikan. Justru sebaliknya, ini adalah peringatan keras bahwa sistem yang ada perlu dibongkar dan ditata ulang dengan keberanian politik dan kepekaan sosial. Jika tidak, pendidikan akan terus dipuja dalam kata-kata, tetapi kehilangan makna dalam kenyataan.

 

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.