https://malang.times.co.id/
Opini

Guru vs Konten TikTok

Sabtu, 20 Desember 2025 - 17:25
Guru vs Konten TikTok Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Hari ini, ruang kelas tidak lagi menjadi satu-satunya arena pendidikan. Di luar sekolah, bahkan di genggaman tangan siswa, ada dunia lain yang bekerja tanpa jam pelajaran, tanpa kurikulum, dan tanpa rapor: media sosial. 

TikTok, dengan video singkatnya yang adiktif, telah menjelma menjadi “guru alternatif” bagi generasi muda. Persoalannya, guru di sekolah harus berhadapan dengan arus konten yang jauh lebih cepat, lebih menarik, dan sering kali lebih meyakinkan, meski belum tentu benar.

Perbandingan ini tidak sepenuhnya adil, tetapi nyata. Guru berbicara dengan metode, struktur, dan tujuan pendidikan jangka panjang. Sementara TikTok menyampaikan pesan secara instan, emosional, dan visual. Di kelas, siswa diminta fokus selama 45 menit. Di TikTok, perhatian mereka direbut hanya dalam 15 detik. Dalam pertarungan atensi ini, guru kerap berada di posisi yang lemah.

Masalahnya bukan semata karena guru “kalah kreatif”. Ini adalah benturan dua logika yang berbeda. Pendidikan bekerja dengan proses, kesabaran, dan kedalaman. Sementara algoritma media sosial bekerja dengan sensasi, repetisi, dan kecepatan. Apa yang viral belum tentu bernilai, tetapi apa yang bernilai belum tentu viral. Sayangnya, generasi muda hidup di ekosistem yang lebih sering memberi ganjaran pada yang viral.

Konten TikTok tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga pengetahuan versi ringkas: tips cepat, motivasi instan, bahkan tafsir moral dan agama. Banyak di antaranya bermanfaat, tetapi tidak sedikit pula yang menyesatkan, dangkal, atau manipulatif. Ketika potongan informasi dianggap cukup sebagai pengetahuan, proses berpikir kritis perlahan tergerus. Siswa merasa “sudah tahu”, padahal baru menyentuh permukaan.

Di sinilah posisi guru menjadi semakin berat. Guru bukan hanya dituntut mengajar materi, tetapi juga meluruskan informasi yang keliru, membongkar mitos digital, dan menanamkan kesabaran intelektual. Ironisnya, tugas tambahan ini sering tidak diiringi dengan dukungan sistem yang memadai. Guru diminta adaptif, kreatif, dan melek digital, tetapi dibebani administrasi yang menyita energi.

Alih-alih menjadi sekutu, media sosial kerap diposisikan sebagai musuh. Banyak sekolah memilih jalan pintas: melarang ponsel, membatasi akses, dan menegakkan disiplin ketat. Kebijakan ini penting, tetapi tidak cukup. Melarang tanpa membekali hanya akan menciptakan jarak. Siswa patuh di sekolah, tetapi kembali tenggelam dalam algoritma di luar pagar pendidikan.

Yang lebih mengkhawatirkan, relasi otoritas juga ikut bergeser. Guru yang berbicara berdasarkan ilmu dan pengalaman panjang bisa kalah pengaruh dibanding kreator TikTok yang tampil percaya diri dan retoris. Validasi berpindah dari otoritas ke popularitas. Ukuran kebenaran tidak lagi pada argumen, melainkan pada jumlah penonton dan komentar. Dalam situasi ini, wibawa pendidikan menghadapi ujian serius.

Namun menyalahkan TikTok sepenuhnya juga keliru. Platform ini hanyalah cermin dari kebutuhan zaman. Generasi hari ini tumbuh dalam dunia visual, cepat, dan interaktif. Jika pendidikan bersikeras bertahan dengan cara lama tanpa refleksi, maka jarak dengan siswa akan semakin lebar. Tantangannya bukan memilih antara guru atau TikTok, melainkan bagaimana guru tetap relevan di tengah banjir konten.

Guru tidak harus meniru TikTok, apalagi mengejar viralitas. Yang lebih penting adalah memperkuat apa yang tidak dimiliki algoritma: kedalaman, empati, dan kemampuan membimbing nalar. 

Guru adalah satu-satunya figur yang bisa menemani proses berpikir siswa dari salah menuju benar, dari ragu menuju paham. TikTok tidak mengenal proses itu; ia hanya menyajikan hasil instan.

Pendidikan juga perlu mengajarkan literasi digital secara serius, bukan sekadar slogan. Siswa harus diajak memahami cara kerja algoritma, kepentingan ekonomi di balik konten, dan risiko manipulasi informasi. Ketika siswa sadar bahwa apa yang mereka tonton tidak netral, maka posisi guru sebagai penuntun nalar akan kembali menemukan relevansinya.

Pertarungan antara guru dan konten TikTok sejatinya bukan soal siapa yang lebih menarik, tetapi siapa yang lebih membentuk masa depan. Jika pendidikan menyerah pada logika viral, maka sekolah akan kehilangan ruhnya. Sebaliknya, jika pendidikan menutup mata dari realitas digital, maka ia akan ditinggalkan.

Di tengah arus konten yang terus mengalir, guru adalah jangkar. Tidak selalu populer, tidak selalu disukai, tetapi penting agar generasi muda tidak hanyut tanpa arah. Tantangannya berat, tetapi justru di situlah peran pendidikan diuji: bukan sekadar mengajar di kelas, melainkan menjaga akal sehat di zaman algoritma.

***

*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.