https://malang.times.co.id/
Opini

Normalisasi Ketidakadilan yang Kian Akut di Indonesia

Sabtu, 20 Desember 2025 - 16:39
Normalisasi Ketidakadilan yang Kian Akut di Indonesia Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Di Indonesia, ada satu ungkapan yang terdengar santai tetapi menyimpan luka sosial yang dalam: “asal ada orang dalam.” Kalimat ini kerap meluncur ringan dalam percakapan sehari-hari saat mengurus pekerjaan, mencari sekolah, masuk birokrasi, hingga menembus ruang-ruang kekuasaan. Ia bukan lagi rahasia, bahkan nyaris menjadi kebiasaan kolektif. Jalur kilat orang dalam telah menjelma praktik sosial yang diterima, dinormalisasi, dan jarang dipersoalkan secara serius.

Masalahnya, ketika jalur kilat itu menjadi kebiasaan, keadilan justru menjadi barang langka. Prosedur resmi berubah menjadi formalitas belaka, sementara relasi personal, kedekatan, dan koneksi informal menjadi mata uang paling berharga. Yang punya akses melaju cepat, yang tidak punya terpaksa tertinggal. Negara hukum yang seharusnya menjamin kesetaraan justru beroperasi dengan logika patronase.

Fenomena ini tidak lahir dalam ruang hampa. Jalur orang dalam tumbuh subur di tengah birokrasi yang berbelit, layanan publik yang lamban, dan sistem yang sering kali tidak ramah warga. Ketika prosedur resmi dianggap menyulitkan, masyarakat mencari jalan pintas. Ironisnya, jalan pintas itu lama-kelamaan dianggap solusi rasional, bukan penyimpangan. Di sinilah problem kultural mulai mengeras.

Yang lebih berbahaya, praktik ini tidak lagi terbatas pada level kecil. Ia menjalar ke sektor strategis: rekrutmen kerja, promosi jabatan, proyek pemerintah, hingga akses pendidikan. Anak muda tumbuh dengan pesan implisit bahwa kompetensi saja tidak cukup. Prestasi bisa kalah oleh koneksi. Usaha keras sering kali tak sebanding dengan satu nomor telepon “orang dalam.” Dalam kondisi seperti ini, meritokrasi hanya menjadi slogan.

Normalisasi jalur kilat menciptakan ketimpangan psikologis dan struktural. Mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan akan terus merasa asing di negerinya sendiri. Rasa keadilan publik tergerus pelan-pelan. Kepercayaan pada institusi melemah, karena institusi tidak lagi dipersepsikan bekerja atas dasar aturan, melainkan relasi. Ketika kepercayaan runtuh, yang tumbuh adalah sinisme.

Ironi terbesar adalah ketika praktik ini justru dibela dengan alasan pragmatis. Ada yang berkata, “semua orang juga begitu,” atau “kalau tidak pakai orang dalam, urusan tidak jalan.” Alasan ini terdengar masuk akal di permukaan, tetapi sesungguhnya berbahaya. Ia mengubah pelanggaran menjadi kewajaran, ketidakadilan menjadi tradisi. Negara kemudian kalah oleh pembenaran kolektif warganya sendiri.

Dalam jangka panjang, jalur kilat orang dalam merusak kualitas kepemimpinan dan pelayanan publik. Ketika jabatan diisi bukan oleh yang paling mampu, melainkan yang paling dekat, maka yang dipertaruhkan adalah masa depan bersama. Keputusan publik menjadi miskin perspektif, pelayanan tidak inovatif, dan kebijakan kerap jauh dari kebutuhan masyarakat. Sistem berjalan, tetapi tanpa kualitas.

Lebih jauh, praktik ini juga memperlebar jurang sosial. Mereka yang lahir dari keluarga dengan modal sosial kuat akan terus unggul, sementara yang datang dari latar belakang biasa harus bekerja dua kali lebih keras untuk hasil yang belum tentu setara. Mobilitas sosial menjadi ilusi. Negara yang seharusnya menjadi tangga justru berubah menjadi tembok.

Yang patut dicermati, jalur orang dalam bukan hanya soal individu serakah atau pejabat culas. Ia adalah refleksi dari sistem yang gagal membangun keadilan prosedural. Ketika aturan tidak ditegakkan secara konsisten, ketika sanksi hanya tajam ke bawah, dan ketika transparansi berhenti di dokumen, maka praktik informal akan selalu menemukan celah. Selama itu pula, orang dalam akan tetap dicari.

Memutus mata rantai ini tentu tidak mudah. Dibutuhkan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh, bukan sekadar perubahan istilah atau digitalisasi semu. Prosedur harus sederhana, layanan harus cepat, dan pengawasan harus nyata. Yang tak kalah penting, penegakan etika harus dimulai dari elite. Selama para pemegang kuasa masih memanfaatkan jaringan pribadi, publik akan menirunya.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu berani mengubah cara pandang. Menggunakan jalur resmi tidak boleh lagi dianggap sebagai kebodohan, dan menolak jalur orang dalam bukan sikap naif. Tanpa keberanian moral ini, praktik lama akan terus diwariskan lintas generasi. Anak-anak akan tumbuh dengan keyakinan bahwa koneksi lebih penting daripada integritas.

Jalur kilat orang dalam bukan sekadar soal cepat atau lambat. Ia adalah soal arah bangsa. Apakah Indonesia ingin dibangun di atas keadilan dan kemampuan, atau terus berjalan dengan logika kedekatan dan privilese? Selama jalur orang dalam tetap menjadi kebiasaan yang dimaklumi, selama itu pula keadilan hanya menjadi cita-cita yang selalu tertunda.

 

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.