TIMES MALANG, MALANG – Pedagang kaki lima selalu hadir dalam denyut kehidupan kota. Mereka bukan sekadar pelengkap trotoar atau pemandangan pinggir jalan, melainkan bagian penting dari sistem ekonomi rakyat yang menopang jutaan keluarga.
Ironisnya, di tengah narasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kota modern, posisi pedagang kaki lima justru kian terpinggirkan. Mereka tetap ada, tetap bekerja, tetapi nyaris tak pernah benar-benar diakui.
Kondisi terkini pedagang kaki lima menunjukkan paradoks yang mencolok. Di satu sisi, krisis ekonomi berkepanjangan, inflasi bahan pokok, dan terbatasnya lapangan kerja formal membuat sektor informal semakin gemuk.
Banyak orang “turun kelas” menjadi pedagang kaki lima sebagai strategi bertahan hidup. Di sisi lain, ruang kota justru semakin sempit bagi mereka. Trotoar dipoles, taman dipercantik, dan kawasan publik ditata, tetapi sering kali tanpa memikirkan keberlangsungan hidup para pedagang kecil.
Masalah pedagang kaki lima tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berkelindan dengan kebijakan tata kota, logika ekonomi, dan cara negara memandang warganya. Sayangnya, dalam banyak kebijakan daerah, PKL masih diposisikan sebagai masalah ketertiban, bukan sebagai subjek ekonomi. Bahasa yang digunakan pun cenderung represif: penertiban, relokasi, penataan. Jarang sekali terdengar bahasa perlindungan atau penguatan.
Relokasi menjadi contoh paling klasik. Dengan dalih keteraturan kota, pedagang dipindahkan ke lokasi baru yang sering kali jauh dari arus konsumen. Secara administratif, pemerintah merasa telah menyelesaikan masalah. Namun secara sosial-ekonomi, relokasi kerap mematikan penghidupan. Lapak sepi, omzet turun, dan pada akhirnya pedagang kembali ke jalan. Siklus ini terus berulang, seolah kebijakan tak pernah belajar dari kegagalan sebelumnya.
Tekanan ekonomi juga semakin berat. Kenaikan harga bahan baku, biaya sewa lapak tidak resmi, hingga pungutan liar membuat margin keuntungan pedagang kaki lima semakin tipis. Mereka bekerja lebih lama, tetapi hasilnya stagnan.
Dalam situasi ini, pedagang kaki lima tidak hanya berhadapan dengan pasar, tetapi juga dengan struktur ekonomi yang timpang. Mereka menjadi buffer krisis, tetapi tanpa jaring pengaman.
Di tengah gempuran digitalisasi, pedagang kaki lima juga tertinggal. Narasi ekonomi digital sering dibungkus sebagai solusi, tetapi realitasnya tidak semua PKL memiliki akses, literasi, atau modal untuk masuk ke platform daring.
Banyak dari mereka bergantung pada interaksi langsung dan pelanggan tetap. Ketika ruang fisik dibatasi, mereka kehilangan segalanya. Negara terlalu cepat mengagungkan inovasi, tetapi lambat memastikan inklusivitas.
Lebih jauh, problem pedagang kaki lima juga mencerminkan wajah birokrasi kita. Pendataan PKL masih lemah, kebijakan sering berubah tergantung kepala daerah, dan koordinasi antar dinas tidak sinkron. Satu sisi dinas koperasi bicara pemberdayaan, sisi lain Satpol PP bergerak dengan pendekatan koersif. PKL menjadi korban tarik-menarik kewenangan yang tak pernah selesai.
Padahal, pedagang kaki lima memiliki potensi besar. Mereka menciptakan lapangan kerja, menjaga sirkulasi ekonomi lokal, dan menyediakan barang serta makanan terjangkau bagi masyarakat urban. Banyak kota besar dunia justru menjadikan street vendor sebagai identitas kota, bukan ancaman estetika. Di Indonesia, potensi ini sering diabaikan karena pendekatan pembangunan masih terlalu elitis dan berorientasi visual.
Persoalan mendasarnya terletak pada cara pandang. Selama pedagang kaki lima dilihat sebagai gangguan, maka kebijakan apa pun akan berujung pada konflik. Kota dibangun untuk terlihat rapi, bukan untuk hidup. Trotoar diprioritaskan untuk foto, bukan untuk aktivitas ekonomi warga kecil. Ini bukan semata soal tata kota, melainkan soal keberpihakan.
Kondisi terkini PKL juga menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Di tengah tekanan, mereka tetap beradaptasi: mengubah jam jualan, memodifikasi produk, hingga berbagi ruang dengan pedagang lain. Namun daya tahan ini tidak boleh terus dieksploitasi. Ketahanan bukan alasan untuk membiarkan mereka berjuang sendiri.
Ke depan, kebijakan terhadap pedagang kaki lima harus bergeser dari penertiban menuju perlindungan dan integrasi. Kota perlu dirancang sebagai ruang bersama, bukan hanya ruang bersih. Penataan harus melibatkan pedagang sejak awal, bukan setelah keputusan diambil. Regulasi perlu sederhana, biaya perizinan terjangkau, dan akses pembiayaan benar-benar bisa dijangkau.
Pedagang kaki lima bukan masalah yang harus disingkirkan, melainkan realitas yang harus dikelola secara adil. Jika negara serius bicara ekonomi kerakyatan, maka keberpihakan pada PKL adalah ujian paling nyata. Tanpa itu, pembangunan kota hanya akan menjadi proyek kosmetik yang indah di permukaan, tetapi rapuh di dalam.
Pertanyaannya sederhana: kota ini dibangun untuk siapa? Jika jawabannya adalah untuk semua, maka pedagang kaki lima harus berhenti diperlakukan sebagai warga kelas dua. Mereka bukan pengganggu kota, mereka adalah bagian dari denyut hidupnya.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |