TIMES MALANG, JAKARTA – Dalam dua pekan terakhir, Patani kembali diguncang serangkaian insiden berdarah. Dari penembakan tokoh agama, serangan terhadap anak-anak samanera, hingga ledakan di acara pendidikan anak-anak Islam, rakyat sipil menjadi korban utama dalam konflik yang tak kunjung usai ini.
Di tengah derasnya pemberitaan, muncul satu pola yang mencolok: setiap insiden langsung dikaitkan dengan gerakan Barisan Revolusi Nasional (BRN), tanpa penyelidikan yang transparan atau bukti yang diumumkan kepada publik.
Kasus pembunuhan Ustaz Abdulroning Late pada 18 April 2025 menjadi salah satu contohnya. Mantan guru agama ini ditembak mati sepulang salat Jumat di Su-ngai Kolok, Narathiwat. Hingga hari ini, pihak berwenang belum mengumumkan siapa pelaku maupun motifnya.
Tidak ada kamera pengawas, tidak ada laporan balistik, dan tidak ada kemajuan investigasi. Namun di tengah kekosongan ini, opini publik mulai mengarah ke aparat negara sebagai tersangka potensial. Dugaan ini mungkin keliru, tapi ketiadaan transparansi hanya memperkuat kecurigaan.
Sebaliknya, saat terjadi serangan terhadap rombongan biksu dan anak-anak samanera pada 22 April, aparat bergerak cepat. Beberapa pemuda Melayu Patani langsung ditangkap.
Penahanan ini dilakukan secara besar-besaran, melibatkan operasi militer di dini hari. Nama-nama mereka diumumkan, usia mereka dicatat, tetapi lagi-lagi, tanpa bukti yang jelas. Ketika hukum bekerja hanya ke satu arah, keadilan menjadi barang mewah.
Situasi ini kian kompleks ketika BRN mengeluarkan pernyataan resmi pada 5 Mei 2025. Dalam dokumen bertulis yang dikonfirmasi keasliannya oleh juru bicara rundingan damai, BRN menyatakan dukacita atas kekerasan yang terjadi.
Serta menegaskan bahwa mereka tidak menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Mereka menyeru semua pihak, termasuk kelompok perjuangan dan pemerintah Thailand, untuk menghentikan kekerasan terhadap rakyat biasa.
“Kami menolak sebarang bentuk keganasan terhadap orang awam,” tegas pernyataan BRN. “Perjuangan kami adalah demi kebebasan dan maruah rakyat Patani, bukan untuk menyebar ketakutan.”
Pernyataan ini jelas mempersoalkan narasi tunggal yang selama ini dikemukakan oleh negara. Jika BRN bukan pelaku, lalu siapa? Jika negara tak membuka ruang penyelidikan independen, bagaimana publik bisa percaya?
Ledakan di flat polisi, penembakan terhadap nenek buta, pembantaian satu keluarga saat menonton TV, hingga ledakan di dekat acara perhimpunan Tadika, semuanya terjadi dalam rentang dua minggu.
Delapan orang tewas—termasuk anak-anak dan samanera—dan setidaknya sepuluh lainnya luka. Namun tidak satu pun insiden ini diselidiki secara terbuka dan adil. Yang ada hanya tudingan, penahanan tanpa putusan, dan ketakutan yang semakin membesar.
Sementara itu, perundingan damai antara BRN dan pemerintah Thailand diklaim segera berjalan. Namun sayangnya, proses perundingan damai yang sempat diharapkan sebagai jalan keluar kini mandek.
Pemerintah Thailand berdalih bahwa mereka belum bisa melanjutkan rundingan karena perlu memastikan siapa BRN yang “sebenarnya.” Dalih ini menjadi alasan utama stagnasi, seolah melupakan bahwa rakyatlah yang terus menjadi korban.
Sementara itu, berbagai organisasi masyarakat sipil (CSO) dan lembaga swadaya masyarakat (NGO), baik lokal maupun internasional, terus menyerukan agar proses damai segera dilanjutkan.
Mereka mendesak negara untuk berhenti mempersulit dialog, dan memulai kembali langkah politik demi masa depan Patani yang lebih aman dan bermartabat.
Tapi apa makna damai jika darah warga terus tertumpah, jika hukum hanya tajam ke satu sisi? Rakyat Patani tidak menolak perdamaian, justru mereka yang paling menginginkannya. Tapi damai harus berarti keadilan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi.
Jika negara serius ingin menyelesaikan konflik ini, maka harus dimulai dengan satu prinsip sederhana: berhenti memperlakukan rakyat sebagai musuh. Hentikan penangkapan tanpa bukti, buka penyelidikan atas semua insiden, dan biarkan kebenaran tampil tanpa manipulasi.
Tanpa itu, damai hanya akan menjadi slogan kosong yang dikalahkan oleh suara peluru.
***
*) Oleh : Husasan Tayeh, Mahasiswa Pascasarjana Asal Patani di UII.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |