TIMES MALANG, SITUBONDO – Sejak tahun 1950, Irak memberlakukan usia minimal menikah untuk laki-laki dan perempuan 18 tahun. Namun laki-laki dan perempuan boleh menikah pada usia 15 tahun asalkan ada surat izin dari wali hakim dan orang tua atau keluarga.
Beberapa hari terakhir ini, parlemen Irak menyetujui tiga Undang-undang, salah satunya ialah berpotensi melegalkan anak berusia 9 tahun untuk menikah.
Hal tersebut tentu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan saat ini, karena menuai kontroversi dari berbagai pihak terlebih bagi aktivis hak perempuan yang berpendapat bahwa Undang-undang tersebut telah merampas hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Para aktivis tersebut juga berpendapat bahwa hal ini dapat melemahkan Undang-undang Status Pribadi Irak tahun 1959 yang menyatukan hukum keluarga dan menetapkan perlindungan bagi perempuan.
Dilansir dari The Guardian, Undang-undang ini menetapkan usia minimum pernikahan bagi masyarakat Muslim Syiah untuk anak perempuan ialah 9 tahun, sementara bagi Muslim Sunni, usia minimum ditetapkan pada 15 tahun.
Mereka yang mendukung perubahan ini, khususnya anggota parlemen syiah yang merupakan anggota mayoritas di sana, mengklaim amandemen ini bertujuan untuk menyelaraskan dengan nilai Islam dan untuk menangkal masuknya budaya negara Barat di Irak.
Sering kali pernikahan dijadikan sebagai solusi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan namun terkadang mereka juga lupa bahwa tanpa kesiapan fisik, mental dan finansial banyak pernikahan yang berujung pada kegagalan dan jika hal tersebut terjadi tentu akan membawa konsekuensi seumur hidup khususnya bagi para perempuan.
Karena mereka harus meninggalkan pendidikan mereka, mereka harus menguburkan mimpi mereka, merelakan banyak kesempatan di usia muda demi sebuah pernikahan yang katanya menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan ternyata justru membuat mereka kehilangan masa depan.
Adapun hak-hak yang dilanggar apabila terjadi pernikahan dini dalam perkawinan anak yaitu hak tumbuh kembang anak, hak pendidikan, hak atas sumber penghidupan, hak sosial-politik, hak bebas dari kekerasan dan hak lainnya sebagai anak maupun sebagai perempuan.
Di sisi lain perkawinan usia anak di bawah umur 18 tahun dinilai sebagai pengingkaran negara terhadap kerentanan setiap anak, sekaligus pengabaian terhadap hak perlindungan bagi anak dari segala bentuk diskriminasi. Pasalnya, ketika negara membuka peluang terjadinya perkawinan anak, hal tersebut bertentangan dengan upaya negara melakukan pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM).
Perkawinan anak juga disebut sebagai bentuk pemaksaan bagi anak perempuan untuk memikul tanggung jawab secara fisik atau psikologis di mana kondisi mereka sesungguhnya tidak siap. Sehingga, perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak-hak anak, terutama anak perempuan.
Dengan melegalkan anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun sama halnya dengan negara menghilangkan jaminan bagi anak perempuan untuk terbebas dari kekerasan dan diskriminasi.
Hal ini sama saja memperluas jumlah perempuan yang menjadi korban KDRT baik berupa kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran ekonomi.
Melihat dari penjelasan di atas sebaiknya Irak memperketat undang-undang yang melarang pernikahan di bawah umur sesuai dengan peraturan sebelumnya dan membantu anak-anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan mereka.
Namun justru Undang-undang sebelumnya dihapus dan di ganti dengan UU yang berpotensi melegalkan pernikahan anak usia 9 tahun untuk menikah.
Amandemen tersebut memungkinkan akan memperburuk ketimpangan sosial di Irak maupun di negara lain dan juga memungkinkan untuk memperkuat pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Irak.
Sedang dalam kancah internasional saat ini masih menunggu langkah konkret untuk menanggapi kebijakan yang dinilai sangat kontroversial ini, dan juga langkah tersebut disiapkan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak di Irak serta di seluruh dunia.
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Magister Hukum Asal Kota Situbondo Jawa Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |