TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Baru-baru ini wajah media sosial sempat dihiasi dengan viralnya lagu “Bayar-Bayar-Bayar” yang secara eksplisit mengkonstruksi kritik terhadap isntitusi kepolisian. Meski pada akhirnya dua personal Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis), menyatakan permohonan maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian.
Namun gagasan dalam lagu tersebut setidaknya menjadi pemantik bagi kesadaran kolektif untuk selalu kritis terhadap tindak penyimpangan bagi oknum tertentu. Fenomena ini seolah menjadi peringatan bagi pihak berwenang untuk menjaga kapabilitas dan menjalankan tugas utama sebagai institusi yang mengayomi, bukan sebaliknya, menjadi lembaga yang alih-alih partikular.
Dapat dikatakan, lagu Sukatani telah menjadi medium ekspresi kultural sekaligus sarana resistensi terhadap dominasi kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa institusi kepolisian menjadi salah satu kelompok dominan dan eksklusif dalam sistem tatanan kultural di negeri ini.
Untuk itulah, sebagai salah satu superordinat yang memiliki kapital dan posisi yang strategis, secara laten menjadi rawan terjadi manipulasi dan pelanggaran kekuasaan.
Apalagi tidak sedikit peristiwa destruktif yang melibatkan berbagai oknum dari institusi tersebut telah menjadi konsumsi media dan masyarakat kolektif. Namun, karena dominasi simbolik dan kuasa itulah, sebagian besar kelompok subordinasi tidak mampu untuk resistensi dan menyampaikan ketimpangan.
Hegemoni Konsensus
Untuk itu, lagu “Bayar-Bayar-Bayar” menunjukkan situasi anomali bagi sikap submisif dan konsensus yang ada. Lagu ini memang tidak secara kuat menyajikan ekspresi artistik, namun ungkapan-ungkapannya yang disfemisme justru memposisikannya sebagai representasi wacana perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan, termasuk institusi negara seperti Polri.
Sebab sebagaimana pandangan Gramsci melalui tilikan Nezar Patria & Andi Arief dalam Antonio Gramsci Negara & Hegemoni (2015), masyarakat yang terhegemoni justru menjalankan perannya sebagai bagian dari konsensus. Padahal hal inilah yang menjadi square one bagi klas berkuasa melegitimasi kedudukannya.
Konsensus sebagaimana perspektif Gramsci, dapat dimaknai sebagai sikap spontanitas bersifat psikologis yang mencakup penerimaan aturan sosiopolitis dan berbagai bentuk aturan lainnya yang seringkali bersifat totalitarianisme.
Sebab, hegemoni tidak hanya berlangsung dalam dominasi koersif, tetapi juga melalui persetujuan sosial yang dibangun oleh kelompok penguasa.
Media massa, sebagaimana diungkapkan oleh Althusser (1971), sering menjadi alat legitimasi kekuasaan yang membentuk kepatuhan publik. Hal ini menunjukkan bahwa sikap konsensus tersebut cukup berbahaya bagi kedudukan kelompok subordinasi, seperti masyarakat bawah yang cenderung tidak mampu menunjukkan oposisinya.
Dinamika Sosial dan Media Alternatif
Dari segi teks, lirik lagu menampilkan pilihan kata yang konfrontatif, seperti "bayar terus sampai mampus", yang menunjukkan pengalaman kolektif rakyat dalam menghadapi beban finansial akibat pungutan liar.
Dalam perspektif praktik kewacanaan, Sukatani tidak hanya menciptakan wacana perlawanan melalui musik, tetapi juga menyalurkan interpretasi masyarakat terhadap realitas yang diciptakan oleh institusi kekuasaan. Praktik sosial dalam lagu ini hadir dalam bentuk representasi pengalaman nyata rakyat kecil terhadap dominasi struktur negara.
Melalui teori hegemoni Gramsci, kita mulai menyadari bahwa kelompok subordinat pun dapat membangun "counter-hegemony" atau hegemoni tandingan melalui berbagai medium budaya. Sukatani, melalui "Bayar-Bayar-Bayar", bukan sekadar menyuarakan keresahan, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang ketidakadilan sistemik.
Lagu ini berfungsi sebagai sarana konsensus alternatif yang membangun oposisi terhadap narasi dominan yang sering kali direkonstruksi untuk sublimasi praktik eksploitatif dalam masyarakat. Melalui narasi lagu, “Mau bikin SIM bayar polisi/Ketilang di jalan bayar polisi/Touring motor gede bayar polisi/Angkot mau ngetem bayar polisi”.
Kesadaran konsensus seolah digugat dan memaksa pembaca untuk menanggalkan kebiasaan aksiomatik yang selama ini diterima secara taken for granted. Dalam situasi itulah, paling tidak akan muncul berbagai ruang kontemplatif.
Musik sebagai Medium Perlawanan
Jika merujuk pada pandangan Fairclough mengenai praktik sosial dalam wacana, lagu ini tidak hanya mereproduksi pengalaman ketidakadilan, tetapi juga berupaya mengubah tatanan sosial melalui kesadaran publik. Dalam hal ini, musik menjadi alat komunikasi yang lebih efektif dibandingkan media konvensional yang sering kali terkooptasi oleh kepentingan penguasa.
Kita tahu bahwa media juga dapat menjadi gelanggang pertarungan ideologi. Sebagaimana ungkapan Fairclough melalui telaah Jorgensen & Philips (2007), wacana sebagai praktik sosial tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk dan mempengaruhi struktur sosial.
Sebagaimana lagu "Bayar-Bayar-Bayar", Sukatani menggunakan bahasa dan simbolisme yang kuat untuk menggambarkan ketidakadilan sistemik, khususnya dalam praktik pungutan liar dan ekses kekuasaan aparat. Lirik lagu yang repetitif menyoroti struktur kewacanaan yang membangun opini publik mengenai realitas yang dihadapi masyarakat kecil.
Lirik dalam "Bayar-Bayar-Bayar" juga memperlihatkan gaya penyampaian khas yang menyoroti ketimpangan sosial secara langsung tanpa eufemisme. Hal ini menandakan bahwa musik bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi sarana edukasi politik bagi pendengar.
Fairclough dalam analisisnya menekankan bahwa teks dan praktik kewacanaan memiliki hubungan erat bagi individu dan masyarakat dalam memahami realitas sosial. Dalam hal ini, Sukatani berperan dalam membangun kesadaran kritis melalui musik yang mereka ciptakan.
Dalam konteks lebih luas, peran media alternatif menjadi semakin penting dalam menghadirkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan oleh media arus utama. Seperti yang dikemukakan dalam survei IKP 2023.
Media massa arus utama sering kali terjebak dalam kepentingan ekonomi dan politik, sehingga sulit bagi mereka untuk benar-benar mewakili suara rakyat. Dalam situasi ini, musik dan media alternatif menjadi alat yang efektif untuk menyuarakan ketidakpuasan publik.
Sukatani, dalam hal ini, adalah contoh dari bagaimana kelompok yang tidak memiliki akses besar terhadap media arus utama tetap dapat menyuarakan perlawanan melalui medium musik. Meskipun pada akhirnya, sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan, mereka pun harus ditaklukkan.
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi, UAD.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |