TIMES MALANG, JOMBANG – Tahun baru Imlek 2576 ini tidak hanya disambut sukacita oleh etnis Tionghoa saja. Banyak masyarakat di negeri ini menyambut riang gembira. Ini karena di tahun 2025 ini dirangkai dengan libur nasional Peringatan Isra Miraj dan cuti bersama.
Alhasil, libur panjang pun terjadi. Sejak hari Senin (27/1) sampai Rabu (29/1). Berbagai lokasi rekreasi pun jadi ramai dikunjungi para wisatawan. Memanfaatkan momentum libur tiga hari berturut-turut.
Memanusiakan Manusia
Etnis Tionghoa masih belum bisa bebas menyambut tahun baru Imlek di masa Orde Baru. Mereka dengan segala kebijakan pemerintah saat itu harus tiarap untuk sementara waktu. Berbagai tradisi mereka pun tidak bisa diekspresikan di depan khalayak ramai.
Saat masih menjadi presiden keempat, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur maka mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2000. Dalam PP ini, tahun baru Imlek ditetapkan menjadi hari libur nasional. Atas dasar gebrakan ini, tidak heran jika etnis Tionghoa di Indonesia tidak akan melupakan jasa besar Gus Dur ini.
Bahkan pada tanggal 10 Maret 2004, sejumlah tokoh Tionghoa di Semarang berkumpul di Kelenteng Tay Kek Sie guna mentahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
Gus Dur diminta mengenakan baju kebesaran Tionghoa (congsan) dengan warna merah menyala bermotif kuning. Gus Dur lalu diajak berfoto bersama dengan para tokoh Tionghoa dan hadirin di depan kelenteng itu.
Saat mengetahui telah ditahbiskan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, Gus Dur berkata, saya mau dijadikan apa saja tidak masalah. Bahkan mau dijadikan penjaga gerbang pun tidak apa-apa.
Apalagi saya juga keturunan etnis Tionghoa dari marga Tan. Mendengar pernyataan itu, semua hadirin segera memberikan tepuk tangan yang meriah.
Saat mengenang wafatnya Gus Dur, di Jombang juga digelar pawai barongsai. Pesertanya dari berbagai kabupaten/kota dari seluruh Jawa Timur. Pawai dimulai dari lapangan Diwek hingga berakhir di area makam Gus Dur di Tebuireng.
Rangkaian ini berlangsung beberapa tahun menyongsong peringatan hari wafatnya Gus Dur. Masyarakat tentu merasa terhibur dengan kegiatan ini. Di samping juga mengenang perjuangan Gus Dur dalam mengakui eksistensi minoritas. Namun sayang, hal itu kini sudah tidak terlihat lagi.
Dalam buku Bapak Tionghoa Indonesia (2012), MN Ibad dan Ahmad Fikri memposisikan Gus Dur sebagai tokoh multikultural. Termasuk perjuangan Gus Dur dalam menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, hukum, pluralisme dan penghormatan yang besar kepada kemanusiaan manusia.
Terutama dalam hal toleransi terhadap etnis Tionghoa dan kaum minoritas lainnya di Indonesia. Sebagai hasil penelitian dan pemikiran, buku ini berhasil menelusuri raison detre di balik ketokohan Gus Dur.
Pergaulan dan perjuangan Gus Dur yang luwes dan beyond syombols, termasuk dengan etnis Tionghoa, telah dimulai secara aktif sejak era 1970-an. Yaitu sejak Gus Dur pindah ke Jakarta setelah malang melintang di luar negeri.
Lebih tegas lagi sejak Gus Dur aktif menulis di jurnal-jurnal dan koran-koran serta menjadi narasumber di berbagai forum seminar. Perjuangan dan konsistensi keberpihakan ini terus berlanjut sampai Gus Dur wafat.
Tugas Bersama
Ketua Umum PBNU tiga periode kelahiran Jombang ini tidak pernah mengedepankan kepentingan pribadi. Secara garis besar, pembelaan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa dapat ditinjau dari empat sudut pandang.
Perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan etnis Tionghoa, perjuangan Gus Dur dari sisi keyakinan dan tradisi kelompok etnis Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok etnis Tionghoa serta sisi pelengkap yang masih bersifat kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa juga.
Keberanian Gus Dur untuk membela kaum minoritas, jika ditelisik lebih jauh, merupakan refleksi dari konsep pemikirannya yang sangat menghargai pluralisme.
Menurut Greg Barton (2000), dosen senior di Deakin University, mengkategorikan Gus Dur sebagai sosok intelektual Muslim non-chauvinis. Yaitu figur yang memperjuangkan diterimanya realitas sosial bahwa Indonesia itu beragam.
Pada titik tertentu, kecintaan Gus Dur yang mendalam terhadap nilai-nilai budaya tradisional dan doktrin Islam ini telah menjadikan Gus Dur sebagai sosok demokrat liberal. Sangat sulit ditemukan ulang pada masa sekarang sosok tokoh Indonesia yang sekaliber Gus Dur.
Kedepan, konsistensi Gus Dur ketika menimba ilmu dari semua golongan masyarakat harus tetap dilestarikan guna membentuk karakter inklusif dengan open mind sebagai ujung tombak.
Keberanian Gus Dur untuk membela kepentingan rakyat kecil dan kaum minoritas patut tetap dijaga dalam melakukan cheks and balances terhadap sikap yang represif dan otoriter.
Kesederhanaan Gus Dur sudah saatnya dijadikan new spirit bagi para aparatur pemerintahan dalam melayani rakyat. Netralitas Gus Dur dari ambisi kekuasaan patut ditiru oleh para calon pemimpin negeri ini sebelum terjun ke dunia politik.
Sudah saatnya para elit di negeri ini tidak terjebak kepada pemenuhan aksesoris sosial, seperti kekayaan, jabatan dan popularitas, tetapi lebih berorientasi kepada melayani rakyat.
Perayaan tahun baru Imlek tidak hanya mengingatkan jasa besar Gus Dur dalam menghargai kaum minoritas. Tapi juga menjadikan tugas bersama agar karakter-karakter yang sudah dicontohkan Gus Dur terus dilestarikan. Agar ke depan Indonesia terus menapaki sejarahnya dengan berbagai torehan prestasi yang diraih. Semoga segera mewujud.
***
*) Oleh : Mukani, Dosen STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |