TIMES MALANG, MALANG – Akreditasi semestinya menjadi cermin kejujuran institusi pendidikan: memantulkan mutu, memperlihatkan kekurangan, sekaligus menuntun arah perbaikan. Namun di banyak kampus, cermin itu berubah menjadi kaca rias. Yang dipoles bukan wajah sesungguhnya, melainkan topeng sesaat agar tampak menawan di hadapan asesor. Mutu pun direduksi menjadi angka, huruf, dan sertifikat yang digantung rapi di dinding rektorat.
Fenomena ini bukan rahasia umum. Setiap musim akreditasi tiba, kampus mendadak hidup seperti panggung sandiwara. Dokumen disusun tergesa, laporan dipermanis, dan narasi disulap agar terdengar heroik.
Sistem mutu internal yang seharusnya bekerja sepanjang tahun justru absen, digantikan kerja lembur administratif demi satu tujuan: nilai akreditasi tinggi. Seolah kualitas pendidikan bisa dicetak dari printer setelah data diunggah.
Mahasiswa dalam situasi ini kerap berubah fungsi. Dari subjek pendidikan, mereka disulap menjadi properti akreditasi. Disuruh mengisi survei dengan jawaban “yang aman”, diarahkan untuk berkata “baik-baik saja”, bahkan kadang diberi skrip tak tertulis tentang apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan saat asesor datang.
Suara kritis dibungkam dengan dalih menjaga nama baik institusi. Padahal, kampus tanpa kritik ibarat sumur yang airnya keruh karena tak pernah diaduk.
Hari asesmen pun tiba. Kampus mendadak menjelma taman bunga. Dinding dicat ulang, spanduk visi-misi dipasang di setiap sudut, ruang kelas ditata rapi, dan perpustakaan yang biasanya sepi buku tiba-tiba penuh etalase.
Laboratorium yang sehari-hari terkunci mendadak dibuka, meski hanya untuk dipamerkan. Semua tampak sempurna seperti rumah contoh di brosur perumahan, indah dipandang, kosong untuk ditinggali.
Namun sandiwara itu hanya berlangsung sekejap. Ketika asesor pulang dan kamera dimatikan, tirai ditutup. Kampus kembali ke wajah lamanya. Dosen yang tak pernah meningkatkan kompetensi tetap mengajar dengan bahan lama. Perpustakaan kembali sunyi dari buku baru. Laboratorium kembali menjadi gudang peralatan rusak. Akreditasi A pun diraih, tetapi mutu pendidikan tetap berjalan di tempat atau bahkan mundur.
Di sinilah akreditasi kehilangan maknanya. Ia tidak lagi menjadi alat penjaminan mutu, melainkan simbol prestise. Huruf A dipuja seperti gelar kebangsawanan, seolah dengan itu seluruh persoalan selesai. Padahal mutu pendidikan tidak lahir dari sertifikat, melainkan dari proses panjang: dosen yang kompeten, kurikulum yang relevan, fasilitas yang hidup, dan budaya akademik yang jujur.
Lebih ironis lagi, dosen sebagai pilar utama pendidikan sering kali terpinggirkan dalam agenda mutu. Pelatihan minim, riset hanya dikejar untuk angka kredit, dan publikasi sekadar syarat administratif.
Dosen yang tidak berkembang dibiarkan, selama dokumen memenuhi standar. Kampus lupa bahwa kualitas pengajaran tidak bisa dipalsukan. Mahasiswa mungkin bisa diarahkan mengisi survei, tetapi mereka tidak bisa dibohongi selamanya di ruang kelas.
Perpustakaan dan laboratorium pun bernasib serupa. Keduanya sering diperlakukan sebagai pelengkap foto laporan, bukan jantung akademik. Buku-buku usang tetap berjajar, jurnal terkini jarang tersedia, dan laboratorium tak lebih dari ruang pajangan. Dalam kondisi seperti ini, kampus berharap melahirkan lulusan unggul sebuah harapan yang rapuh, seperti membangun menara di atas pasir.
Ketika akreditasi dijadikan satu-satunya tolok ukur, pendidikan kehilangan orientasi. Kampus lebih sibuk memperbaiki narasi ketimbang realitas, lebih rajin menata berkas ketimbang membina manusia. Mutu direduksi menjadi administrasi, sementara esensi pendidikan pencerahan, pembebasan, dan pengembangan daya pikir terpinggirkan.
Kritik terhadap praktik ini bukan penolakan terhadap akreditasi itu sendiri. Akreditasi tetap penting sebagai instrumen evaluasi. Namun ia harus ditempatkan sebagai proses berkelanjutan, bukan perayaan lima tahunan.
Sistem penjaminan mutu internal harus hidup sehari-hari, bukan dibangunkan dadakan menjelang asesmen. Kejujuran institusional menjadi kunci, sebab mutu yang dibangun di atas kepalsuan hanya akan melahirkan lulusan yang rapuh.
Jika kampus terus terjebak pada ilusi akreditasi, mahasiswa akan menjadi korban paling nyata. Mereka lulus dengan ijazah berlabel unggul, tetapi kompetensi pas-pasan. Dunia kerja pun akhirnya membaca ulang makna akreditasi dengan curiga. Saat itu terjadi, yang runtuh bukan hanya reputasi kampus, melainkan kepercayaan publik terhadap pendidikan tinggi.
Sudah waktunya akreditasi dikembalikan ke ruhnya: sebagai cermin, bukan topeng. Kampus harus berani bercermin, meski yang tampak adalah wajah lelah dan penuh cela. Sebab hanya dengan kejujuran itulah mutu sejati bisa tumbuh. Tanpa itu, akreditasi A hanyalah huruf besar yang berisik di kertas, tetapi sunyi di ruang kelas.
***
*) Oleh : Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |