TIMES MALANG, MALANG – Sains tidak pernah lahir dari keheningan yang steril. Ia tumbuh dari perdebatan, dari keberanian meragukan yang mapan, dari ketegangan antara tesis dan antitesis. Namun perdebatan dalam sains sejatinya bukan sekadar adu argumen, apalagi pertarungan ego intelektual. Ia adalah jalan sunyi menuju kebenaran yang selalu sementara dan karena itu menuntut kerendahan hati. Ketika sains bertumbuh, perdebatan pun seharusnya beradab.
Sejarah sains adalah sejarah silang pendapat. Galileo berhadapan dengan otoritas zamannya, Darwin mengguncang pandangan tentang asal-usul manusia, Einstein menggugat kepastian fisika klasik. Tak satu pun lompatan besar lahir dari kepatuhan membuta. Namun, perdebatan mereka bukan caci maki; ia adalah pertukaran alasan, bukti, dan keberanian intelektual. Sains bergerak maju bukan karena suara paling keras, melainkan karena argumen paling jujur.
Di era kekinian, perdebatan ilmiah justru sering terjebak pada kebisingan. Media sosial dan tuntutan popularitas mempercepat opini, tetapi memperlambat pendalaman. Ilmuwan tergoda menjadi komentator instan, saling menyanggah di ruang publik tanpa waktu cukup untuk menimbang data. Perdebatan berubah menjadi tontonan viral tetapi dangkal. Dalam situasi ini, adab ilmiah terancam oleh ambisi personal.
Padahal, perdebatan ilmiah yang sehat mensyaratkan disiplin etika. Pertama, kesetiaan pada data. Sains bukan panggung retorika; ia laboratorium bukti. Data yang lemah tidak boleh dipaksa menopang kesimpulan yang megah.
Kedua, keterbukaan pada koreksi. Ilmuwan yang matang tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses, bukan aib yang harus disembunyikan. Ketiga, penghormatan pada sesama peneliti bahkan pada mereka yang berbeda pandangan.
Perdebatan yang beradab mengakui batas. Tidak semua pertanyaan bisa dijawab sekaligus; tidak semua hipotesis layak diklaim final. Dalam kesadaran batas itulah sains bertumbuh. Ia seperti pohon yang akarnya menancap pada metode, batangnya tegak oleh verifikasi, dan dahannya melebar oleh dialog. Tanpa dialog, pohon itu kering; tanpa metode, ia rapuh.
Masalah muncul ketika perdebatan diseret keluar dari etika sains menuju politik identitas akademik. Institusi, mazhab, dan kepentingan pendanaan kerap mempengaruhi nada debat. Kritik berubah menjadi delegitimasi, perbedaan menjadi permusuhan. Di titik ini, sains kehilangan ketenangannya. Ia bukan lagi pencarian kebenaran, melainkan perebutan pengaruh.
Kita perlu membedakan antara skeptisisme ilmiah dan sinisme intelektual. Skeptisisme menguji klaim dengan bukti; sinisme meremehkan tanpa dasar. Yang pertama menyuburkan sains, yang kedua meracuni iklim akademik. Perdebatan yang bertumbuh membutuhkan skeptisisme yang disiplin, bukan sinisme yang malas.
Etika perdebatan juga menuntut tanggung jawab sosial. Sains tidak hidup di ruang hampa; dampaknya menyentuh kebijakan publik, kesehatan, lingkungan, dan masa depan generasi. Karena itu, ilmuwan harus berhati-hati ketika berdebat di ruang publik. Perbedaan pendapat boleh tajam, tetapi penyampaiannya harus jernih. Kebingungan publik adalah harga mahal dari perdebatan yang sembrono.
Dalam konteks ini, pendidikan sains perlu menanamkan adab sejak dini. Mahasiswa tidak hanya diajarkan metode dan statistik, tetapi juga etika dialog: cara mengkritik tanpa merendahkan, cara berbeda tanpa memusuhi. Seminar dan konferensi harus menjadi ruang aman untuk bertanya dan salah, bukan arena intimidasi intelektual. Dari sana lahir ilmuwan yang kuat sekaligus bijak.
Sains yang bertumbuh membutuhkan keberanian untuk tidak sepakat, dan kebijaksanaan untuk tetap bersatu dalam tujuan. Tujuan itu sederhana namun luhur: memahami dunia agar manusia dapat hidup lebih baik. Perdebatan adalah alat, bukan tujuan. Ketika alat itu digunakan dengan adab, sains melaju; ketika disalahgunakan, sains tersandung.
Perdebatan ilmiah yang beradab adalah tanda kedewasaan peradaban. Ia menunjukkan bahwa kita mampu berbeda tanpa saling meniadakan, mampu kritis tanpa kehilangan hormat. Di tengah dunia yang cepat menghakimi, sains mengajarkan pelajaran berharga: kebenaran dicari bersama, bukan dimonopoli.
Jika perdebatan ilmuwan dijaga dalam bingkai etika, sains tidak hanya bertumbuh dalam pengetahuan, tetapi juga dalam kemanusiaan. Dan di sanalah peradaban menemukan arah bukan pada siapa yang menang debat, melainkan pada seberapa jauh kebenaran didekati dengan rendah hati.
***
*) Oleh : Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |