TIMES MALANG, MALANG – Keinginan berwirausaha tidak pernah datang dengan suara gemuruh. Ia lahir pelan, seperti bisikan kecil di sudut batin, sering kali diabaikan karena terdengar terlalu sederhana. Namun justru dari bisikan itulah perjalanan besar dimulai. Sebab wirausaha bukan semata perkara modal dan keberanian, melainkan soal panggilan jiwa untuk berdiri di atas kaki sendiri, menantang nasib dengan tangan dan pikiran sendiri.
Pada mulanya, keinginan itu hanya berupa gelisah. Ada resah yang tak bisa dijelaskan ketika rutinitas terasa sempit, ketika mimpi terasa lebih besar dari ruang yang tersedia. Gelisah ini bukan tanda ketidaksyukuran, melainkan tanda kehidupan yang ingin bertumbuh. Ia adalah benih. Dan seperti semua benih, ia membutuhkan tanah, waktu, dan kesabaran untuk berubah menjadi sesuatu yang nyata.
Memulai usaha adalah keberanian menapakkan kaki pada anak tangga pertama. Tangga itu tidak selalu terlihat kokoh. Kadang licin, kadang goyah, bahkan sering kali tampak terlalu tinggi untuk diraih. Di titik inilah banyak orang mundur, bukan karena tak mampu melangkah, tetapi karena terlalu sibuk membayangkan jatuh. Padahal, tidak ada tangga yang bisa dinaiki tanpa risiko tergelincir.
Langkah pertama jarang langsung menghasilkan tepuk tangan. Ia lebih sering ditemani keraguan, cibiran, dan kesunyian. Usaha yang baru tumbuh ibarat lilin kecil di tengah angin. Sedikit saja goyah, ia bisa padam. Namun lilin itu tetap menyala bukan karena angin berhenti, melainkan karena nyalanya dijaga dengan kesungguhan.
Ketika satu tangga berhasil dinaiki, perasaan lega pun datang. Bukan karena puncak telah tercapai, tetapi karena keyakinan mulai menemukan bentuk. Tangga pertama itu mungkin berupa pelanggan pertama, keuntungan kecil, atau sekadar keberanian untuk bertahan satu bulan lebih lama dari rencana semula. Kecil di mata orang lain, besar bagi jiwa yang menjalaninya.
Di sinilah banyak orang keliru membaca makna keberhasilan. Mereka mengira sukses adalah lompatan jauh, padahal ia adalah akumulasi langkah-langkah kecil. Satu tangga tidak membawa seseorang ke langit, tetapi tanpanya tak mungkin sampai ke atas. Keberhasilan sejati sering kali tidak berisik. Ia tumbuh diam-diam, menguat di balik rutinitas yang konsisten.
Konsistensi adalah bahasa sunyi dari kesetiaan pada mimpi. Ia tidak glamor, tidak viral, dan jarang dipuji. Namun justru konsistensi itulah yang membedakan antara keinginan dan komitmen. Banyak usaha tumbang bukan karena ide buruk, melainkan karena pelakunya lelah sebelum waktunya. Padahal waktu adalah sekutu paling setia bagi mereka yang sabar.
Kesabaran dalam berwirausaha bukan sikap pasrah tanpa usaha, melainkan keteguhan untuk terus berjalan meski hasil belum tampak. Ia seperti petani yang setiap hari menyiram ladang, meski panen masih berbulan-bulan lagi. Tidak ada jaminan cuaca bersahabat, tetapi petani tetap menanam, karena ia percaya pada siklus kehidupan.
Dalam perjalanan ini, kegagalan bukan musuh, melainkan guru yang datang tanpa undangan. Ia mengajarkan rendah hati, ketelitian, dan kebijaksanaan. Setiap kesalahan adalah catatan kecil di buku pengalaman. Mereka yang membaca catatan itu dengan jujur akan melangkah lebih mantap di tangga berikutnya.
Berwirausaha juga menuntut kedewasaan emosional. Ada hari ketika penjualan sepi, ada malam ketika pikiran penuh tanya. Di titik-titik inilah iman pada proses diuji. Mereka yang bertahan bukanlah yang selalu optimis, melainkan yang tetap melangkah meski optimisme sempat redup.
Keberhasilan sejatinya tidak pernah benar-benar “ditunggu”. Ia sedang berjalan menuju kita, seiring setiap keputusan kecil yang diambil dengan sadar. Selama langkah-langkah itu konsisten dan niatnya jernih, waktu akan bekerja sebagai sekutu. Ia merapikan yang semrawut, mempertemukan peluang, dan memperhalus hasil.
Ketika akhirnya keberhasilan datang dalam bentuk stabilitas, pengakuan, atau kebebasan ia tidak terasa seperti ledakan, melainkan seperti matahari pagi: datang perlahan, hangat, dan menenangkan. Pada saat itu, seseorang menyadari bahwa yang paling berharga bukan hanya hasil akhirnya, melainkan perjalanan yang menempa dirinya menjadi lebih tangguh dan bijak.
Meniti tangga usaha adalah perjalanan sunyi yang penuh makna. Ia mengajarkan bahwa mimpi tidak perlu tergesa-gesa, bahwa satu tangga yang diraih dengan jujur lebih bernilai daripada seribu langkah yang dilompati dengan tergesa. Selama langkah itu konsisten dan sabar, keberhasilan bukan soal “jika”, melainkan soal “kapan”.
***
*) Oleh : Jazuli, S.E. M.E., Pegiat dan Pelaku UMKM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |