https://malang.times.co.id/
Opini

Filsafat yang Kehilangan Jalan Pulang

Kamis, 25 Desember 2025 - 20:31
Filsafat yang Kehilangan Jalan Pulang Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Filsafat sejak mula lahir sebagai upaya manusia memahami hidup. Ia bukan menara gading yang dibangun untuk memuja istilah, melainkan jalan setapak yang mengantar manusia menafsirkan realitas. 

Namun di ruang-ruang akademik hari ini, terutama di kalangan pelajar filsafat, jalan setapak itu kerap berubah menjadi labirin bahasa. Pikiran dipuja, tetapi kehidupan ditinggalkan. Filsafat pun kehilangan jalan pulangnya.

Banyak pelajar filsafat larut dalam pesona konsep. Mereka menghafal istilah Yunani dan Jerman seperti mantra sakti, memuja kutipan seolah jimat intelektual. Diskusi menjadi arena pamer referensi, bukan ruang pengujian makna. 

Hidup konkret harga beras, krisis ekologi, ketimpangan sosial, kecemasan generasi muda tersingkir sebagai urusan “praktis” yang dianggap terlalu kotor untuk disentuh pikiran murni.

Akibatnya, filsafat terjebak pada estetika wacana. Ia terdengar indah, tetapi sulit dipijak. Seperti lukisan yang megah namun tak pernah menjadi jendela, filsafat menjadi pajangan intelektual. Pelajarnya fasih berbicara tentang ontologi, tetapi gagap membaca tetangga yang lapar. Mahir membedah etika, tetapi ragu bersikap ketika berhadapan dengan ketidakadilan nyata.

Jarak ini tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari tradisi pembelajaran yang menempatkan filsafat sebagai kumpulan teks, bukan latihan hidup. Ruang kelas menjadi museum pemikiran besar; mahasiswa berkeliling dari satu etalase ke etalase lain Plato, Kant, Nietzsche tanpa pernah keluar untuk melihat dunia yang berubah. Padahal, para filsuf besar menulis bukan dari ruang hampa, melainkan dari pergulatan zaman mereka.

Sokrates berfilsafat di pasar, bukan di menara. Marx membaca penderitaan buruh, bukan sekadar buku. Hannah Arendt menulis setelah menyaksikan kegelapan totalitarianisme. 

Filsafat yang hidup selalu berangkat dari luka sejarah dan kegelisahan manusia. Ketika pelajar filsafat hari ini menjauh dari realitas kekinian, mereka sedang memutus mata rantai terpenting dalam tradisi itu.

Lebih ironis lagi, sebagian pelajar filsafat mengembangkan sikap sinis terhadap praktik. Aktivisme dianggap naif, kerja sosial dinilai banal, dan keterlibatan publik dicurigai sebagai kompromi. Filsafat lalu menjelma menjadi elitisme: merasa lebih tinggi karena “berpikir”, padahal lupa bahwa berpikir tanpa empati hanya melahirkan kesepian intelektual.

Kita hidup di zaman yang berisik oleh persoalan. Krisis iklim, disrupsi teknologi, polarisasi politik, kesehatan mental, dan ketidakpastian ekonomi menuntut pembacaan mendalam. Filsafat justru dibutuhkan untuk menerangi kabut ini. Namun jika pelajarnya memilih bersembunyi di balik jargon, filsafat akan kalah cepat dari opini dangkal dan propaganda emosional.

Masalahnya bukan pada kedalaman teori, melainkan pada keberanian menjahit teori dengan kenyataan. Filsafat tidak kehilangan nilai karena terlalu abstrak; ia kehilangan daya karena tak mau menyentuh tanah. Teori seharusnya menjadi peta, bukan tujuan. Tanpa perjalanan nyata, peta hanya kertas.

Kritik ini tidak bermaksud mengerdilkan studi filsafat. Justru sebaliknya, ia ingin mengembalikan martabatnya. Pelajar filsafat perlu belajar turun ke ruang publik: mendengar, menyaksikan, terlibat. Menguji konsep keadilan di pengadilan rakyat, etika di ruang kerja, dan politik di jalanan demokrasi. Dari sana, filsafat menemukan napasnya kembali.

Diperlukan perubahan cara belajar. Kurikulum perlu membuka ruang praksis: penelitian lapangan, dialog lintas disiplin, dan keterlibatan sosial. Diskusi kelas harus mengundang realitas masuk bukan sebagai contoh tempelan, tetapi sebagai pusat persoalan. Dengan begitu, pelajar filsafat tidak hanya pandai bertanya “apa itu kebenaran?”, tetapi juga berani bertanya “siapa yang dirugikan oleh kebohongan hari ini?”

Filsafat yang dekat dengan kehidupan tidak menjadi dangkal; ia justru menjadi tajam. Ia mampu membongkar asumsi, menantang kekuasaan, dan menumbuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan bukan sekadar tahu, melainkan mampu bertindak dengan pertimbangan etis di tengah kompleksitas.

Akhirnya, filsafat perlu kembali berjalan. Ia harus menyeberang dari buku ke jalan, dari seminar ke pasar, dari jargon ke manusia. Pelajar filsafat yang berani mendekat pada realitas kekinian akan menemukan bahwa dunia bukan mengancam kedalaman pikirannya, melainkan memberinya bahan bakar.

Jika tidak, filsafat akan terus berputar di ruang sunyi cerdas, rapi, dan tak relevan. Dan pelajarnya, meski fasih berbicara tentang hidup, akan tetap jauh dari kehidupan.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.