TIMES MALANG, JAKARTA – Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan “hak” bagi warga negara, masyarakat adat, serta badan hukum untuk melakukan challenge terhadap produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang dianggap merugikan dan bertentangan dengan UUD ataupun undang-undang. Mekanisme tersebut diatur oleh Pasal 24A dan Pasal 24C UUDNRI 1945.
Menyeimbangkan Posisi Warga Negara
Berdasarkan data pada laman mkri.id, sejak 2003 terdapat 338 perkara dikabulkan. Meskipun tidak semua perkara dikabulkan secara keseluruhan, data tersebut menggambarkan bagaimana proses pembuatan undang-undang yang dapat dilakukan proses challenge dan berhasil dimenangkan oleh peradilan.
Dalam praktiknya, MK tidak hanya memutus pengujian materil yakni berkenaan tentang isi dari undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Melainkan MK juga berwenang menguji undang-undang secara formil yakni berkenaan dengan prosedur pembentukan dari undang-undang.
Pengujian formil di sini melihat apakah pembentukan undang-undang sudah dilakukan dengan ccara yang tepat, oleh lembaga yang tepat, dan dalam kewenangan yang tepat.
Sebagai contoh, MK pernah menyatakan UU Mahkamah Agung yang diajukan oleh Zainal Arifin Mochtar dkk. yang menguji prosedur pembentukan Undang-Undang Mahkamah Agung di tahun 2009.
Meskipun pada akhirnya MK tetap menguatkan keberlakuan hukum dari UU MA dengan alasan menghindari kekosongan hukum, namun satu hal penting ialah MK menyatakan pembentuk undang-undang dalam hal ini telah melakukan kesalahan prosedur dengan minimnya partisipasi publik.
Contoh lain adalah ketika MK menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat pada 2021. MK dalam hal ini menyatakan pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) telah melakukan kesalahan prosedur dalam hal minimnya partisipasi publik yang bermakna dan kesalahan penggunaan metode omnibus dalam pembentukan undang-undang yang tidak pernah diatur oleh UU Pembentukan Perundang-Undangan sebelumnya.
Pada akhirnya, selain menyatakan pembentuk undang-undang melakukan kesalahan prosedural dalam pembentukan undang-undang, MK pun juga menyatakan keberlakuan UU Ciptaker sebagai inkonstitusional bersyarat.
Proses serupa pun juga terjadi di MA, meskipun belum tersedia statistik mengenai berapa jumlah perkara hak uji materi yang ditangani oleh MA, namun dalam sejarahnya MA pernah memenangkan perkara yang diajukan oleh masyarakat.
Sebagai contoh ialah MA memenangkan hak uji materi terhadap perkara 27 P/HUM/2016 yang membatalkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di tujuh kota.
Dalam beberapa contoh kasus di atas, membuktikan bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan pun dalam hal ini dapat melakukan kesalahan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Kesalahan tersebut bisa disebabkan baik karena faktor substansi dari peraturan tersebut, maupun cara pembentukan peraturan yang mengabaikan partisipasi yang bermakna ataupun menerabas ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengujian UU vs Penindakan TIPIKOR
Perlu kiranya dipikirkan strategi tatkala pembentuk perundang-undangan yang melakukan kesalahan baik substantif dan prosedur pembentukan perundang-undangan.
Sebagai perbandingan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 telah diatur mengenai pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
PP tersebut memberikan pedoman masyarakat yang berperan aktif dalam melaporkan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan yang diberikan dalam bentuk sertifikat dan premi yakni sebesar 2 persen dari kerugian negara ataupun hasil pemulihan dari hasil tindak pidana korupsi paling besar sejumlah 200 juta rupiah.
Adapun besaran pemberian penghargaan tersebut didasari pada putusan pengadilan yang dilakukan berdasarkan penilian terhadap hal yang dilaporkan.
Dalam konteks kesalahan pembentuk peraturan perundang-undangan, kiranya dapat mencontoh pemberian penghargaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal demikian didasari pada kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pembentukan perundang-undangan dan tindak pidana korupsi adalah sama-sama masyarakat luas.
Terlebih, posisi yang tidak seimbang antara pemohon dengan pembentuk perundang-undangan pun dapat dijadikan alasan kuat bagaimana dalam meng-challenge peraturan perundang-undangan yang membutuhkan effort dan strategi yang lebih.
Di akhir, upaya tersebut juga dimaksudkan sebagai langkah penghukuman terhadap kesalahan pembentuk undang-undang terhadap produk hukum yang dihasilkan.
Sekaligus menuntut supaya pembentuk perundang-undangan dapat membentuk aturan yang tepat guna, tepat prosedur, dan tidak mengabaikan hak konstitusi warga negara.
***
*) Oleh : Nur Fauzi Ramadhan, Co-Founder dan Direktur Desk Polhukam Asah Kebijakan Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |