TIMES MALANG, MAGELANG – Sebagaimana diketahui setiap tanggal 9 Februari bangsa Indonesia memeringati Hari Pers Nasional. Momentum historis untuk mengingatkan bahwa pers memilki peran signifikan dalam proses pembangunan negara dan demokrasi.
Peran pers tidak hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat, mengkritisi kebijakan publik, serta memperjuangkan keadilan sosial.
Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2025 ini memiliki makna yang lebih mendalam. Apabila ditelisik dari pembabakan historisnya yang dimulai pada 9 Februari 1946, ketika koran Fikiran Rakyat, salah satu surat kabar pertama yang muncul setelah kemerdekaan Indonesia, pertama kali terbit di Yogyakarta.
Dari sinilah, peran pers Indonesia mulai dikenali sebagai kekuatan yang tidak hanya mendukung kemerdekaan, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga demokrasi.
Hari Pers Nasional juga dapat menjadi ajang untuk mengingatkan semua pihak bahwa kebebasan pers bukan hanya soal hak untuk menyampaikan pendapat, tetapi juga tanggung jawab besar dalam menjaga kebenaran, mengedukasi komunitas, dan menciptakan ruang dialogis yang sehat.
Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam mengonsumsi berita, menyaring informasi yang datang, dan memberi dukungan kepada pers yang menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Sebab, hanya dengan pers yang kuat dan independen, negara ini dapat berkembang secara transparan dan akuntabel.
Seiring bergulirnya sang waktu, peringatan Hari Pers Nasional 2025 diharapkan tidak hanya sekadar menjadi refleksi, tetapi juga pemantik spirit bagi media di Indonesia untuk terus berkembang dan menghadapi tantangan zaman.
Kebebasan pers harus terus diperjuangkan sebagai bagian dari hak azasi manusia, yang sangat penting untuk membangun negara yang lebih demokratis dan berkeadilan.
Wartawan Tangguh
Eksistensi dan keberlangsungan media massa baik arus utama atau online sangat bergantung dari ketangguhan para wartawan sebagai awak media. Sumber daya wartawan sebagai denyut nadi pers yang terus senantiasa memberikan informasi kepada publik.
Terlebih saat ini dengan membanjirnya teknologi yang tak terbendung dengan berbagai informasi yang bersilewan di dunia maya, menjadikan para wartawan harus tetap tangguh dengan idealisme dan kode etik jurnalistik sebagai pedoman kerjanya.
Profesi wartawan menuntut tanggung jawab yang memerlukan kesadaran tinggi dari pribadi-pribadi wartawan sendiri. Inilah yang disebut dalam dunia jurnalistik sebagai self-perception wartawan atau persepsi diri para wartawan.
Kesadaran tinggi ini hanya dapat dicapai apabila ia memiliki kecakapan dan keterampilan serta pengetahuan jurnalistik yang memadai dalam menjalankan profesinya, baik yang diperoleh melalui pelatihan atau pendidikan khusus.
Ada yang mengumpamakan, wartawan itu tak ubahnya sebagai juru narasi atau narator tentang kehidupan. Mereka berhadapan dengan unsur-unsur dasar yang penting bagi kehidupan masyarakat. Wartawan memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping itu, wartawan mempunyai tugas untuk mewartakan kepada publik pembacanya terkait dengan segala sesuatu yang terjadi di berbagai sektor, baik itu lembaga pemerintahan, bisnis, atau institusi-institusi sosial lainnya.
Pesan yang disampaikan oleh para wartawan melalu media tempat mereka bekerja merupakan perekat yang dapat mempersatukan masyarakat, (Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, 2005).
Dalam persaingan media yang semakin ketat saat ini, ditambah denan munculnya media sosial juga jurnalisme warga yang kadang mampu memengaruhi opini publik, para wartawan di berbagai media harus semakin peka dalam membumikan profesionalisasi.
Acuan profesionalisasi ini, akan menumbuhkan dalam diri wartawan untuk menghormati martabat individual, hak-hak pribadi, juga privasi warga masyarakat yang menjadi nara sumber liputannya.
Demikian pula, para wartawan akan dapat menjaga martabatnya sendiri, karena hanya dengan cara tersebut, mereka akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional.
Untuk mencapai hal tersebut, sudah tentu diperlukan kedewasaan pandangan dan kematangan pemikiran. Implikasinya bahwa wartawan perlu memiliki landasan unsur-unsur yang sehat tentang etika dan akuntabilitas atas elaborasi kultur masyarakat.
Landasan unsur-unsur tersebut, tidak hanya sekadar norma-norma yang tercantum dalam kode etik, tetapi juga berbagai norma-norma teknis yang menjadi pedoman kinerjanya. Seperti dalam mempertimbangkan layak atau tidaknya berita atau opini dimuat.
Salah satunya adalah unsur bahwa berita harus adil dan berimbang, sehingga dapat memberikan pencerahan kepada semua pihak. Hal itu juga sebagai antisipasi dari maraknya berita hoak saat ini yang hanya mengedepankan aspek provokasi.
Substansi utamanya, hendaknya para wartawan jangan terlalu puas diri. Tetapi perlu mempersoalkan yang ditulis secara terus menerus dan tidak berkesudahan. Sebab, kalau sudah dihinggapi rasa puas, para wartawan itu bukan lagi menjadi wartawan sejati.
Paling banter hanya sebagai juru penerang atau juru informasi. Wartawan sejati harusnya mampu menulis dan meliput berita yang bervisi serta mampu melihat peristiwa dalam kerangka kontekstual, bukan melihat peristiwa secara telanjang, tetapi perlunya peristiwa tersebut dielaborasikan secara analitis.
Pers Humanisme
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Jacob Oetama pendiri harian Kompas, bahwa pers akan bisa eksis dan berkelanjutan apabila selalu mengedepankan nilai-nilai humanisme (kemanusiaan).
Kemanusiaan yang dibela bukan sembarang kemanusiaan melainkan kemanusiaan yang ditandai kepapaan atau bisa disebut kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (KLMTD).
Bicara humanisme tidak akan lepas dari aspek sosial dengan segala dinamika secara makro. Karena itu, humanisme selalu akan berkelindan erat dengan solidaritas terhadap sesama dan semesta.
Perpaduan antara humanisme sosial dan kultur anamensis (kepekaaan sosial) akan melahirkan cita-cita dan pengharapan untuk membela masyarakat yang tertindas, menderita, dan dilupakan.
Membela kemanusiaan dengan spirit humanisme yang demikian membuat kita selalu terbuka mencari inspirasi baru dan tidak terjebak pada sikap borjuis. Sikap borjuis ini akan memudarkan cita-cita humanisme yang membela kemanusiaan.
Bisa menggoda siapa saja, termasuk masyarakat pers dan jurnalis, sehingga kehilangan aura mewartakan kebenaran, kebaikan, dan keadilan, (Aloys Budi Purnomo, 2020).
Tantangan membela kemanusiaan melalui karya jumalisme semakin besar pada era global yang ditandai teknologi digital. Menjaga murwah membela kemanusiaan dalam karya jurnalisme menjadi perjuangan siapa saja yang berkomitmen membangun kehidupan manusia melalui media massa, apa pun bentuknya. Kiranya fenomena tersebut menjadi tantangan pers di tengah banjir informasi di era digital ini.
***
*) Oleh : Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang, Alumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |