TIMES MALANG, LAMONGAN – Keberadaan Serikat Pekerja Kampus, belum sepopuler serikat pekerja yang lahir dari perusahaan produksi barang. Para pekerja kampus (Dosen swasta) masih gamang dalam menentukan sikap dan bahkan antipati ketika diajak menjadi bagian dari serikat pekerja.
Hal demikian terjadi karena dampak dari masifnya persepsi bahwa pekerja, karyawan, dan buruh identik dengan pekerja kasar dan uneducated. Secara defacto, buruh atau tenaga kerja lebih terlindungi secara yuridis, karena posisinya secara clear tunduk kepada undang-undang ketenaga kerjaan.
Di banyak belahan dunia, serikat pekerja telah lama menjadi pilar perlindungan dan advokasi pekerja, khususnya di sektor-sektor dengan kerentanan tinggi dan ketidakseimbangan struktural. Namun, satu segmen yang sering diabaikan dalam wacana ketenagakerjaan adalah komunitas dosen perguruan tinggi swasta.
Meskipun peran mereka penting dalam mendidik generasi muda bangsa dan berkontribusi pada produksi pengetahuan, dosen di perguruan tinggi swasta sering menghadapi kondisi kerja yang tidak menentu, gaji yang tidak mencukupi, dan akses terbatas ke jaminan sosial.
Dengan latar belakang ini, pembentukan dan penguatan serikat pekerja kampus muncul sebagai gerakan strategis dan penting untuk mewujudkan dan melindungi hak-hak dasar dosen perguruan tinggi swasta.
Dosen Universitas Swasta tidak seperti rekan-rekan mereka di universitas negeri, dosen universitas swasta sering bekerja dalam kondisi yang jauh dari ideal. Banyak yang dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek, diperbarui setiap tahun atau bahkan per semester.
Ketidakpastian kontrak ini secara langsung memengaruhi tidak hanya stabilitas pekerjaan mereka tetapi juga kemampuan mereka untuk merencanakan masa depan. Selain itu, gaji dosen universitas swasta sering kali di bawah standar nasional, terutama di lembaga yang lebih kecil atau kurang bergengsi.
Tanpa kerangka kerja nasional yang tetap yang mengatur remunerasi, universitas swasta memiliki keleluasaan yang signifikan, yang menyebabkan kesenjangan yang lebar dan terkadang struktur upah yang eksploitatif.
Yang lebih memperburuk hal ini adalah kurangnya tunjangan sosial, seperti asuransi kesehatan, iuran pensiun, atau dana pengembangan profesional. Dalam banyak kasus, dosen tidak memiliki akses ke uang pesangon atau mekanisme keamanan kerja.
Kondisi seperti itu tidak hanya tidak adil-mereka secara aktif menghambat pengembangan akademis dan pribadi dosen itu sendiri, dan dengan demikian, kualitas pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa.
Peran dan Potensi Serikat Pekerja Kampus
Inisiasi lahir dan berdirinya serikat pekerja kampus, telah memiliki legal standingnya sebagaimana dalam Pasal 1;1 Undang-undang No.21 Tahun 2000 Tentang serikat Pekerja/Serikat Buruh. Serikat buruh kampus berpotensi mengubah lanskap ini. Dengan mengorganisasi dosen di bawah satu bendera, serikat buruh ini dapat mengadvokasi kontrak yang lebih adil, transparansi upah, dan akses ke perlindungan sosial.
Dalam gerakan buruh yang lebih luas, serikat buruh berperan penting dalam menegosiasikan perjanjian tawar-menawar kolektif, memastikan standar upah minimum, dan mengamankan hak-hak di tempat kerja. Mekanisme yang sama dapat dan harus diterapkan dalam sektor pendidikan tinggi.
Serikat buruh tidak hanya dapat berfungsi sebagai badan perundingan tetapi juga sebagai pengawas dan pendidik. Mereka dapat memantau kepatuhan universitas terhadap undang-undang ketenagakerjaan, memberikan bantuan hukum kepada dosen yang menghadapi perselisihan, dan mendidik anggota tentang hak-hak mereka dan jalan untuk mendapatkan ganti rugi. Yang terpenting, mereka juga menyediakan platform untuk suara kolektif alat penting dalam sektor tempat dosen sering kali terisolasi atau tidak berdaya.
Dengan mempromosikan dialog antara staf akademik dan manajemen universitas, serikat buruh dapat mendorong struktur tata kelola yang lebih demokratis di dalam kampus. Hal ini khususnya penting dalam institusi tempat pengambilan keputusan sering kali terpusat dan tidak transparan.
Serikat pekerja membantu menyeimbangkan kembali dinamika kekuasaan, memastikan bahwa dosen tidak diperlakukan sebagai pekerja sekali pakai, tetapi sebagai profesional yang dihormati yang kontribusinya penting bagi misi akademis.
Meskipun berpotensi, jalan menuju pembentukan serikat buruh kampus yang efektif bukannya tanpa kendala. Banyak universitas swasta yang menolak upaya pembentukan serikat buruh, karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap otonomi institusional atau kendali finansial.
Dosen yang berupaya untuk berorganisasi mungkin menghadapi intimidasi yang halus atau terbuka, termasuk pembatalan kontrak, penurunan pangkat, atau daftar hitam.
Ada pula tantangan budaya: banyak dosen melihat diri mereka terutama sebagai akademisi, bukan pekerja. Identitas profesional ini dapat menghambat tindakan kolektif, karena beberapa orang mungkin menganggap serikat buruh tidak sesuai dengan prestise atau sifat intelektual pekerjaan akademis.
Mengubah pola pikir ini memerlukan pendefinisian ulang pekerjaan akademis-bukan sebagai hak istimewa atau panggilan, tetapi sebagai pekerjaan yang layak mendapatkan kompensasi dan perlindungan yang adil.
Ambiguitas hukum juga menimbulkan masalah. Di beberapa negara, undang-undang ketenagakerjaan tidak jelas tentang hak dosen universitas-terutama staf berbasis kontrak-untuk membentuk atau bergabung dengan serikat buruh.
Di negara lain, kementerian ketenagakerjaan mungkin enggan untuk campur tangan dalam apa yang mereka anggap sebagai "masalah internal kampus". Ketidakjelasan hukum dan kelembagaan ini harus diperjelas untuk memastikan pengakuan penuh terhadap hak dosen untuk berorganisasi.
Beberapa negara memberikan model tentang bagaimana serikat pekerja kampus dapat secara efektif mengadvokasi hak-hak dosen. Di Amerika Serikat, American Association of University Professors (AAUP) dan Service Employees International Union (SEIU) telah mendukung dosen paruh waktu dan tambahan dalam menegosiasikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik.
Di Korea Selatan, Korean Irregular Professors’ Union telah vokal dalam menuntut perlakuan yang sama bagi dosen kontrak. Di Indonesia, beberapa universitas perintis telah melihat munculnya asosiasi dosen internal, meskipun kekuatan dan jangkauannya masih terbatas.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa dengan organisasi, solidaritas, dan dukungan hukum yang memadai, serikat pekerja kampus dapat membuat langkah signifikan dalam meningkatkan mata pencaharian dosen.
Mereka juga menunjukkan bahwa serikat pekerja pada dasarnya tidak bersifat oposisional; sebaliknya, mereka dapat menjadi mitra dalam pengembangan kelembagaan, memastikan bahwa universitas memenuhi misi pendidikan mereka sambil menjunjung tinggi martabat buruh dalam kontek kemanusiaan.
Dorongan untuk serikat pekerja kampus pada akhirnya merupakan dorongan untuk keadilan dalam dunia akademis. Dosen universitas swasta bukan sekadar pendidik-mereka adalah pekerja. Dan seperti semua pekerja, mereka berhak atas gaji yang adil, keamanan kerja, dan kondisi kerja yang manusiawi. Sistem saat ini, yang terlalu sering memperlakukan mereka sebagai orang yang bisa dibuang, harus direformasi.
Pemerintah dapat berperan dengan memberlakukan peraturan yang lebih jelas tentang standar ketenagakerjaan di universitas swasta dan dengan menegaskan hak staf akademik untuk berserikat.
Universitas sendiri harus merangkul transparansi dan tata kelola partisipatif, dengan mengakui bahwa kesejahteraan fakultas mereka tidak dapat dipisahkan dari kualitas pendidikan yang mereka berikan.
Terakhir, melalui momentum 1 mei (hari buruh internasional) ini, penulis berharap bahwa dosen harus mengakui kekuatan solidaritas. Meskipun upaya individu mungkin goyah, tindakan kolektif melalui serikat pekerja kampus menawarkan jalan nyata ke depan.
Di masa ketidakpastian ekonomi yang meningkat dan transformasi kelembagaan, serikat pekerja ini tidak hanya relevan; tetapi juga penting.Selamat hari buruh semoga para pekerja selalu bahagia dan sejahtera. (*)
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |