TIMES MALANG, NUSA TENGGARA BARAT – Masa sekolah sungguh adalah waktu yang mungkin semua orang tidak bisa lupakan. Sekurangnya 9-12 tahun orang menghabiskan waktu untuk membumbui hidup dengan berbagai macam cerita dan pengalaman.
Kesan itu akan terus menjadi cerita bahkan untuk generasi berikutnya. Tidak heran jika kita sering mendengar ungkapan “dulu saat bapak/ibu sekolah” dari para orang tua.
Dahulu, pelajaran pertama dalam sekolah adalah tentang rasa hormat dan budi pekerti. Tidak sulit bagi guru untuk mengajarkan ini. Sebab, mayoritas anak telah dibekali dengan rasa hormat dan budi pekerti itu sendiri dari rumah.
Setiap anak juga memahami bahwa jika ilmu dari dua pelajaran ini tidak dijalankan, maka mereka akan dihadiahkan penggaris oleh guru, atau rotan dari bapak.
Hampir semua orang tua terutama bapak mengizinkan dan menganjurkan anaknya dipukul oleh guru jika melanggar aturan. Atas alasan inilah sekolah menjadi lebih tertib dan anak menjadi lebih patuh dan disiplin.
Situasi serupa juga tergambar dalam lingkungan masyarakat. Pola ajar semacam ini bahkan menjadi cerita menarik di media sosial masa ini.
Di sisi yang lain, dahulu orang dipaksa untuk belajar dan berteman dengan buku. Sebagian kita mungkin merasakan bagaimana kening menghitam karena membaca di depan pelita minyak tanah.
Aturan ketat tentang jam tidur juga tidak luput. Lagi pula zaman dulu kita belum terkontaminasi gadget yang menyebabkan insomnia.
Sebagaimana ketatnya waktu tidur, demikian juga wajibnya bangun subuh untuk ibadah. Setelah itu ada juga yang membantu orang tua menimba air, mengurusi ternak, atau aktivitas pertanian sebelum ke sekolah.
Sebagian persen dari kegiatan ini adalah kegiatan bermasyarakat. Mau tidak mau anak akan terjun dalam etika dan etos kerja masyarakat kala itu karena bersentuhan dengan aktivitas profesi mayoritas orang.
Tentu akan menjadi pembahasan tersendiri tentang bagaimana relasi sosial dalam kearifan lokal petani maupun peternak. Tapi yang penulis maksudkan, apa pun yang menjadi ‘titah’ orang tua kala itu tidak jauh dari bagaimana anaknya bisa membaur dengan lingkungan. Sehingga tidak bisa dipungkiri, generasi zaman dahulu tampak lebih memiliki etika sosial dari pada anak zaman sekarang.
Padahal jika kita telaah, zaman dahulu orang berada dalam banyak keterbatasan. Akses terhadap sekolah dan ketersediaan media pembelajaran begitu sulit di jangkau. Akan tetapi ‘angkatan lama’ ini lebih memiliki daya tahan dalam bekerja maupun berinovasi. Maka kita bisa membangun hipotesis bahwa ini adalah persoalan karakter.
Penelitian oleh Gallup (2013) menemukan bahwa 60% karyawan dipecat bukan karena alasan kinerja. Mereka diberhentikan akibat konflik dengan rekan kerja atau manajer. Selaras dengan itu, Society for Human Resource Management (SHRM) (2017) juga mewawancarai profesi manajer. 95% dari yang diwawancarai mengatakan bahwa karakter karyawan sangat penting dalam menentukan keberhasilan mereka dalam pekerjaan.
Persoalan akibat kehilangan karakter ini menjadi sangat kompleks melampaui persoalan keprofesian. Pembaca sekalian agaknya dapat menerka sendiri apa yang penulis maksudkan. Karena itu narasi pendidikan karakter di Indonesia secara berkelanjutan dimunculkan. Bersama itu pula setiap formulasi terus dihadirkan dalam setiap model pembelajaran.
Kali ini Kemendikdasmen meluncurkan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (KAIH). Gerakan ini meliputi bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Ada banyak kajian yang menjelaskan betapa banyak manfaat dari upaya pembiasaan ini. Bahkan di beberapa negara maju dengan SDM tinggi, pola ini telah diterapkan.
Penulis justru melihat bahwa pendidikan kini dikembalikan pada bagaimana bapak dan guru zaman dulu mendidik. Hanya saja cara ini mungkin tidak menyentuh aspek kekerasan. Kali ini, Pemerintah juga menyertakan adanya makanan bergizi gratis bagi peserta didik. Olahraga seperti Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) juga dikembalikan.
Semua kini dihantarkan menuju definisi bahwa belajar adalah perkara disiplin yang didasarkan pada pemahaman terhadap etika sosial, etika rumah tangga, bahkan kaidah beragama.
Dalam gerakan ini juga kita mampu melihat bagaimana filosofi ketimuran terkait tata krama dikembalikan. Hanya saja yang menjadi tantangan gerakan 7 KAIH, dewasa ini tidak semua orang tua mampu seperti bapak yang dulu.
***
*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang, Pegiat Media NTB.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |