TIMES MALANG, MALANG – Akhir-Akhir ini jagat maya dihebohkan dengan adanya Korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pria difabel tanpa lengan yaitu tersangka IWAS alias Agus sebanyak 17 orang dilansir dari media detik sumut. Agus kini menjadi sorotan publik setelah terjerat kasus kekerasan seksual.
Meski kasusnya memiliki dimensi yang kompleks, keadilan hukum tetap harus ditegakkan. Di sisi lain, kondisi disabilitas Agus menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana hukum seharusnya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial.
Agus difabel, seorang pria dengan keterbatasan fisik, ditetapkan sebagai tersangka dalam melakukan kekerasan seksual terhadap beberapa korban. Fakta-fakta dalam kasus ini menyebutkan bahwa Agus secara sengaja memanfaatkan kelemahan korban untuk melancarkan aksinya.
Tidak tanggung-tanggung, ia menghadapi tuduhan pelanggaran Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perkosaan, serta Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa melakukan tindak perkosaan diancam dengan pidana penjara selama 12 tahun. Dalam kasus Agus, pasal ini menjadi dasar jeratan hukum karena ada unsur paksaan terhadap korban.
Selain itu, jika ditemukan bukti bahwa Agus melakukan kekerasan seksual secara berulang, ancaman hukumannya dapat diperberat sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan.
Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyatakan bahwa setiap orang yang memaksa atau menyesatkan seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau persetubuhan, dapat diancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00.
Namun, proses penegakan hukum dalam kasus ini menjadi lebih rumit karena status Agus sebagai penyandang disabilitas. Pengacara Agus menyatakan bahwa keterbatasan fisik kliennya membuatnya tidak mungkin melancarkan aksinya tanpa bantuan orang lain, yang membuka kemungkinan bahwa Agus adalah korban eksploitasi pihak ketiga.
Dari segi dimensi hukum dalam menangani kasus ini, aparat penegak hukum dihadapkan pada tantangan besar untuk menerapkan hukum secara adil tanpa mengabaikan aspek kemanusiaan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebenarnya memberikan perlindungan khusus kepada penyandang disabilitas, termasuk dalam sistem peradilan. Agus, sebagai seorang penyandang disabilitas, seharusnya mendapatkan aksesibilitas yang memadai, baik dalam proses hukum maupun dalam pembelaannya di pengadilan.
Namun, dalam kasus ini, masyarakat luas mengharapkan hukuman yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, tanpa terkecuali. Bahasa hukum yang sering digunakan untuk menyatakan prinsip "semua orang sama di mata hukum" adalah: Equality before the law atau dalam bahasa Latin dikenal sebagai equality before lex.
Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip ini tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, agama, atau kondisi fisik, memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, yang dampaknya dapat menghancurkan kehidupan korban secara fisik, mental, dan sosial. Oleh karena itu, penegakan hukum harus tetap memprioritaskan hak-hak korban, sekaligus mempertimbangkan fakta dan bukti secara objektif.
Jika diserap dari perspektif Hak Asasi di balik kasus Agus, terdapat suara korban yang sering kali tenggelam dalam hiruk-pikuk pemberitaan. Korban kekerasan seksual sering kali merasa tidak mendapatkan keadilan, bahkan harus menanggung trauma berkepanjangan. Dalam kasus ini, korban-korban Agus mungkin tidak hanya menghadapi tekanan psikologis, tetapi juga stigma sosial yang membuat mereka enggan berbicara.
Jika Agus terbukti bersalah, hukuman yang setimpal harus diberikan untuk memberikan rasa keadilan kepada korban. Namun, jika terbukti Agus hanya menjadi alat dari pihak lain, penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan untuk mengungkap otak di balik tindakan tersebut.
Kasus Agus juga menimbulkan dilema etis dan hukum yang mendalam. Sebagai penyandang disabilitas, Agus berhak mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan prinsip non-diskriminasi.
Dalam konteks peradilan pidana, penyandang disabilitas harus diberikan fasilitas yang memadai, termasuk penerjemah, aksesibilitas fisik, dan pengacara yang memahami kondisi mereka.
Namun, dalam praktiknya, sering kali penyandang disabilitas diperlakukan tidak adil dalam sistem hukum. Keterbatasan mereka sering kali diabaikan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk membela diri secara maksimal. Agus, sebagai pelaku, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, termasuk dalam pemeriksaan, persidangan, hingga penjatuhan hukuman.
Kasus ini menunjukkan betapa sulitnya mencari keseimbangan antara keadilan bagi korban dan kemanusiaan terhadap pelaku. Di satu sisi, korban berhak mendapatkan keadilan penuh atas tindakan yang telah merenggut martabat mereka. Di sisi lain, pelaku yang memiliki keterbatasan fisik harus diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan kondisinya, tanpa mengurangi bobot hukum yang berlaku.
Jika Agus terbukti bersalah, pengadilan harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan tingkat keterlibatannya dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini, penggunaan Pasal 285 KUHP dan UU TPKS harus dikaji dengan seksama untuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga edukatif.
Kasus Iwas Alias Agus menjadi momentum bagi sistem hukum di Indonesia untuk mengevaluasi cara menangani kasus yang melibatkan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sering kali berada dalam posisi yang rentan, baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan.
Dalam konteks ini, aparat penegak hukum harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang disabilitas, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih sensitif dan profesional.
Selain itu, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual juga harus ditingkatkan. Pemerintah dan masyarakat perlu memastikan bahwa korban mendapatkan akses penuh terhadap keadilan, termasuk layanan psikologis dan hukum yang memadai.
Kasus Agus membuka mata kita semua bahwa keadilan bukanlah perkara hitam-putih. Di satu sisi, hukum harus ditegakkan untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. Di sisi lain, aspek kemanusiaan terhadap pelaku yang memiliki keterbatasan fisik tidak boleh diabaikan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih peka terhadap persoalan keadilan, baik bagi korban maupun pelaku. Dalam mencari kebenaran, penting bagi kita untuk tidak hanya melihat dari satu sisi, tetapi juga mempertimbangkan seluruh dimensi yang ada, termasuk aspek sosial, hukum, dan kemanusiaan. (*)
***
*) Oleh : Abdul Manan, S.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |