TIMES MALANG, JAKARTA – Usulan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat di tengah diskursus politik Indonesia.
Dalam peringatan ulang tahun ke-60 Partai Golkar, Presiden Prabowo Subianto mewacanakan agar Pilkada dilakukan oleh DPRD, merujuk pada efisiensi yang diklaim diterapkan di negara-negara seperti Malaysia dan Singapura. Argumen utama dari usulan ini adalah menekan tingginya biaya Pilkada langsung yang dinilai tidak efisien.
Pertanyaannya, apakah wacana Pilkada di tangan DPRD kebijakan ini benar-benar menjawab tantangan dan efisiensi, atau justru membawa Indonesia pada kemunduran demokrasi?
Sejarah mencatat, sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Pada masa awal kemerdekaan, kepala daerah dipilih oleh DPRD atau ditunjuk oleh pemerintah pusat sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948.
Reformasi politik pada 1998 membuka jalan bagi desentralisasi dan demokratisasi, yang berpuncak pada penerapan Pilkada langsung pada 2005 melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Pilkada langsung dirancang untuk memberikan hak politik kepada rakyat dalam memilih pemimpin mereka, sekaligus memutus rantai oligarki politik yang telah lama mengakar. Harapan besar yang dibawa oleh sistem ini adalah meningkatnya akuntabilitas kepala daerah terhadap rakyat yang mereka pimpin.
Meski demikian, Pilkada langsung bukan tanpa tantangan. Proses kampanye yang intensif dan logistik yang rumit membuat pelaksanaannya membutuhkan anggaran besar. Biaya politik yang tinggi kerap menjadi beban bagi kandidat dan partai politik, yang kemudian berpotensi memicu praktik politik uang.
Inilah yang menjadi alasan utama sebagian pihak mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dengan asumsi bahwa pengalihan mekanisme ini dapat mengurangi pengeluaran besar yang terjadi dalam Pilkada langsung.
Gagasan ini mengabaikan implikasi yang lebih besar terhadap kualitas demokrasi. Pemilihan melalui DPRD berisiko memindahkan arena transaksi politik dari ruang publik ke ruang elit. Alih-alih mengurangi praktik politik uang, sistem ini justru dapat mempersempit partisipasi rakyat dan memperkuat dominasi elite politik dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai hasilnya, kepala daerah yang terpilih cenderung lebih bertanggung jawab kepada kelompok politik yang mendukungnya daripada kepada rakyat yang seharusnya mereka layani. Hal ini dapat melemahkan legitimasi demokratis kepala daerah sekaligus merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
Menghapus Pilkada langsung dan mengembalikannya ke tangan DPRD juga dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam upaya demokratisasi Indonesia. Sistem ini mengurangi keterlibatan rakyat dalam proses politik, yang seharusnya menjadi esensi demokrasi. Ketika suara rakyat dikesampingkan, risiko meningkatnya apatisme politik dan alienasi terhadap pemerintahan menjadi semakin nyata.
Daripada menghapus Pilkada langsung, langkah yang lebih bijak adalah melakukan reformasi terhadap sistem yang ada. Efisiensi dapat dicapai tanpa mengorbankan hak politik rakyat.
Salah satu solusi adalah memperketat regulasi terkait pengeluaran kampanye.
Membatasi biaya politik dapat meringankan beban kandidat dan mengurangi ketergantungan pada pendanaan besar yang sering kali memicu korupsi. Transparansi dalam setiap tahap proses pemilihan juga harus diperkuat untuk mencegah manipulasi dan penyimpangan.
Selain itu, penggunaan teknologi seperti e-voting dapat diintegrasikan untuk mengurangi biaya logistik sekaligus meningkatkan efisiensi dan akurasi Pilkada.
Ala Kulli Hal, Efisiensi dalam penyelenggaraan Pilkada adalah hal penting, tetapi kualitas demokrasi tidak boleh dikorbankan demi alasan anggaran. Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam demokratisasi, dan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD hanya akan menghapus capaian tersebut.
Reformasi yang berorientasi pada peningkatan partisipasi dan pengawasan publik adalah jalan tengah yang dapat menjaga keseimbangan antara efisiensi biaya dan kualitas demokrasi.
Dalam hal ini, mempertahankan Pilkada langsung adalah pilihan yang harus diperjuangkan, bukan hanya sebagai simbol demokrasi, tetapi juga sebagai sarana untuk memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi penentu utama dalam proses politik di negeri ini.
***
*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |